"Taufan, sedang melakukan apa?" Suara tua itu terdengar di ruang tamu, menatap anak kecil berpakaian biru tua yang sedang menulis."Menulis surat, Tok! Ibu Guru Taufan berkata, jika kita berjauhan dengan orang yang kita sayangi, kita bisa menulis surat. Jadi, Taufan menulis untuk ayah dan yang lainnya!" Taufan menjawab sembari mendongak untuk melihat kakeknya.
Tersenyum sedih, kakeknya hanya menganggukkan kepalanya, lalu mengacak-acak rambut Taufan pelan.
"Nanti akan kita kirim ke kotak pos, ok? Jika sudah selesai, ke kamar Atok untuk memberikan suratnya." Taufan hanya menganggukkan kepala, tidak mengerti apa itu kotak pos.
Kakeknya pergi, meninggalkan bocah berumur 7 tahun itu melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Bermenit-menit berlalu, Taufan berdiri dengan 7 amplop ditangannya. Berjalan pelan ke arah kamar kakeknya, ia lihat pintu tersebut terbuka kecil. Kakinya yang tadi berjalan pelan, sekarang berhenti mendengar suara kakeknya berbicara dengan seseorang didalam, dengan telepon genggam menempel di telinganya.
"Tapi, Amato! Taufan tetaplah anakmu! Kau tidak bisa menyerah terhadapnya begitu saja!" Taufan mendengar kakeknya bersuara dengan nada tinggi.
"Taufan memiliki penyakit mental! Ia akan menghambat saudaranya yang lain!"
"Itu tidak bisa menjadi alasanmu untuk menyerah terhadapnya."
"Aku tidak peduli." Suara dingin itu terdengar tidak ragu.
"Amato..." ada serak dan getar dalam suara beratnya, "setiap kata yang kau ucapkan adalah doa, ia layaknya pedang bermata dua, berhati-hatilah saat berbicara.
"Omong kosong!" Suara desisan diseberang telepon itu terdengar. "Jika setiap ucapan adalah doa, Taufan tidak akan memiliki penyakit."
Dari tempatnya sekarang, ada tangis dalam diam saat suara anaknya menghilang saat percakapan jarak jauh itu berhenti.
"Taufan adalah anakmu, malaikatmu. Setidaknya, perlakukan dia dengan baik sebelum ada yang mengambilnya."
Memeluk surat kecil itu di dadanya, lalu berlari cepat dengan bulir air mata terjatuh, hati dan harapannya yang kecil hancur saat itu juga.
Kelopak mata itu terbuka layaknya seorang yang tidak tidur, lalu mengedarkan pandangan ke arah kakinya yang di gigit kucing. "Kucing sialan! Awas kau!" Desisnya kesal.
Hiraeth
All part of this stories is belongs to Nathan
Don't take out without permission!
Slow update, read at your own risk!
Happy reading fellas~***
Bukan sekali atau dua kali, kucingnya membangunkannya dengan menggigitnya. Ia masih kesal karena dibangunkan, walau ia tidak marah karena dibangunkan disaat mimpi yang tidak mengenakkan, ia tidak akan mengaku untuk itu. Mencoba beranjak turun dari kasurnya setelah kucingnya turun lalu bergelung di karpet bulu, Taufan dapati lengan kokoh memeluknya serta hembusan hangat dibelakang tengkuknya. Lemparkan pandangan ke belakangnya, Taufan dapati saudaranya tidur tanpa memakai atasan dengan memeluknya erat. Rasakan pipinya menghangat hanya untuk melihat tubuh atletis dengan lengan melingkari pinggangnya. Tidak seatletis Frostfire atau Supra-pikirnya kemana-mana.
Kilasan balik dimana saudaranya selalu tidur terlintas dalam kepalanya, Ice sudah memiliki kebiasaan malas dan tidur di manapun, Taufan berani bertaruh dia bisa jatuh tertidur saat berjalan. Menggelengkan kepalanya menghapus pemikiran absurd, mengangkat lengan kokoh dari pinggangnya, lalu menukarnya dengan guling. Taufan beranjak turun, mengambil handuk dan pakaian untuk dibawa ke kamar mandi, ia tidak ingin kejadian kemarin malam terulang kembali. Lebih baik mencegah daripada mengobati, begitu pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fanfiction(n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. (nomina.) Sebuah kerinduan untuk sebuah rumah yang tidak bisa anda datangi, Sebuah ruma...