Mata bermanik merah itu terbuka, Halilintar melempar pandangannya ke arah ranjang di seberangnya, tidak menemukan saudara bermanik birunya, membuatnya menaikkan alis. Ranjangnya kosong, dingin seperti tidak digunakan sama sekali. Mencari ayahnya, Halilintar dapati ekspresi ayahnya kosong."Ayah, dimana Taufan?" Halilintar bertanya tenang, masih tidak terbiasa tidak melihat atau mendengar Taufan disekitarnya.
Ayahnya yang mendengarnya hanya menghela nafas, menutup wajahnya menggunakan tangan besarnya, Amato lalu berusaha tersenyum.
"Taufan bersama Atok Aba, nanti akan segera kembali. Segera." Halilintar yang mendengar jawabannya tidak segera puas, tapi tidak memaksanya untuk bertanya kembali. Hingga waktu bergulir menjawab dengan efek kupu-kupu sebagai hasil akhirnya.
-
"Dia menunggumu, tapi kau membuangnya! Kau seharusnya malu pada dirimu! Aku bahkan tidak tahu bagaimana dia akan bereaksi saat melihat dirimu dan kami para saudaranya!" Halilintar berteriak kesal; ngeri bagaimana ayahnya membuang saudaranya dengan alasan yang begitu tidak masuk akal.
"Halilintar! Jangan naikkan nada suaramu pada ayahmu sendiri!" Amato kembali mendebatnya, berusaha mencari pembenaran. Sedangkan anaknya yang berusia 15 tahun hanya memandangnya dingin.
"Dan berdoalah, jika ia masih menunggumu. Aku tidak akan kaget jika ia tidak peduli kepada kami." Halilintar berucap dingin, hampir meninju ayahnya tapi segera ditarik oleh Gempa yang berada dibelakangnya. Yang lain hanya dapat melihat dengan ekspresi ngeri dan marah.
"Cukup Halilintar, tidak peduli seberapa ayah kita bersalah, kau tidak bisa main hakim sendiri. Kita bukan ayah kita." Gempa berucap tenang, berusaha berpikir bijak dan positif walau itu susah.
Menyentakkan tangan Gempa, Halilintar menatap marah. Matanya memerah menahan tangis dengan sekuat tenaga, ayahnya yang ia jadikan panutan adalah seorang yang berhati dingin.
"Halilintar? Wajah dan tubuhmu basah dengan bau amis. Apa kau mimpi basah atau semalam kau masturbasi lalu tidak membersihkannya?" Mata Halilintar melotot kaget mendengar suara Gempa, dirinya lalu bergegas lari ke kamar mandi sembari membawa handuk, meninggalkan Gempa yang menatapnya aneh.
Hiraeth
All part of this stories is belongs to Nathan
Don't take out without permission!
Slow update, read at your own risk!
Happy reading fellas~***
Suasana hati Halilintar buruk. Semenjak ia dibangunkan oleh Gempa disaat-saat yang terbaik dan puncak klimaksnya, ia merasa dirinya aneh. Memori di kepalanya terus memutar bagian dimana Taufan menjilat darahnya, lalu menjilatinya. Bahkan memikirkannya sudah membuatnya keras! Ugh, sial! Ada apa dengan diriku!-Menggigit pipi dalamnya, Halilintar menutup matanya berusaha merilekskan otot-otot tubuhnya.
"Aku tidak tahu jika kakakku menjadikan diriku sebagai objek fantasinya." Suara dan kekehan itu seperti lonceng di telinga Halilintar. Membelalakkan matanya, ia melihat Taufan berdiri di pintu yang terbuka sedikit. Halilintar yang ketahuan melakukan hal tidak senonoh-masturbasi sambil mendesahkan dan menggeram memanggil nama Taufan-segera membenahi dirinya.
Berjalan mendekatinya, Taufan mendorong tubuh Halilintar jatuh berbaring ke ranjang. Sedang Halilintar yang melotot kaget, Taufan hanya duduk diatas tubuh keras berotot kakaknya. "Tidak baik loh menahan klimaks, kakak. Karena Taufan anak baik, ingin Taufan bantu?" Suara manis dengan aksen kekanakan itu membuat Halilintar keras kembali, membuatnya menggeram dalam-dalam berusaha tidak melakukan apapun yang akan membuatnya terkena masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fanfiction(n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. (nomina.) Sebuah kerinduan untuk sebuah rumah yang tidak bisa anda datangi, Sebuah ruma...