Mata birunya menatap gedung bercat warna-warni tersebut, berisi teriakan anak-anak dan orang dewasa yang mengisi gendang telinganya."Nah, Taufan, ini adalah Sekolah Dasar. Di sini, Taufan akan menghabiskan waktu untuk belajar." Kakeknya berucap tenang, sembari tersenyum sayang pada Taufan yang memegang lengan besarnya.
"Atok, bagaimana jika Taufan tidak pandai, seperti Halilintar atau Solar? Apa Atok akan meninggalkan Taufan seperti ayah?" Manik bulatnya menatap balik kakeknya, raut wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun, hal yang tidak normal untuk anak seumurannya. Sedangkan kakeknya melototkan matanya, ngeri mendengar pertanyaan tersebut terlontar dari mulut cucunya.
"Tidak! Atok tidak akan meninggalkan Taufan. Tidak akan." Kakeknya menjawab pertanyaannya dengan cepat, raut wajah tuanya tampak mengeras.
"Apa mereka akan menyukai Taufan?" Pertanyaan itu berlanjut dari si manik biru, tidak melepaskan pandangannya sama sekali dari gedung sekolah tersebut.
"Mereka akan, karena Taufan adalah anak yang manis. Jadi, ayo Taufan masuk ke dalam." Kakeknya mendorong pelan pundak kecil tersebut, berusaha berikan dukungan fisik secara tidak langsung, sedang si manik biru hanya tersenyum simpul tipis, lalu memegang kedua sisi tas ranselnya, melambaikan pandangannya, Taufan melenggang masuk ke dalam.
Satu hal yang ia pelajari dari lingkungan sekolah adalah; mereka tidak menerima perbedaan.
"Taufan, ayo bergegas. Masa Orientasi mu akan di mulai sesudah upacara bendera, Atok akan datang untuk melepas kalian sebagai wali kalian." Ucapan kakeknya menyentak Taufan dari lamunannya, dirinya masih berdiri di ujung dapur dengan cangkir kopi hitam panas yang menguap didepan mesin kopi kakeknya. Semoga tidak ada yang menatap aneh dengan helaian putih rambutku-Taufan berpikir dalam hati, menjejakkan kakinya ke arah luar.
Hiraeth
All part of this stories is belongs to Nathan
Don't take out without permission!
Slow update, read at your own risk!
Happy reading fellas~***
Itu sudah beberapa hari yang lalu semenjak Taufan mengalami serangan panik, dan dirinya selalu menghindar dari para saudaranya, terutama Halilintar. Terkecuali, Thorn. Saudaranya itu selalu mengikutinya kemanapun semenjak dirinya terkena serangan panik, entah menungguinya yang sedang memasak, menyiram kebun kecil dihalaman belakang, bahkan ke kamar mandi! Dia tidak habis pikir dengan otak saudaranya itu, apakah dia bodoh atau mental sepertinya? Semenjak dirinya terkena serangan panik, Thorn menjadi lebih protektif, dan sering menggeram saat dirinya menggigil akibat kedinginan. Tapi Taufan bersyukur, saudaranya yang lain tidak memaksanya untuk berbicara kembali semenjak itu.
Hari ini hari Senin, udara pagi dan langit yang masih berawan karena hujan semalam membuat udaranya semakin dingin. Menggosok lengannya mencoba mencari penghangatan, Taufan berdiri di depan pagar hitam rumah kakeknya, sedang kakeknya pergi membuka kedai, dirinya sedang menunggu saudaranya yang memakai sepatu atau bahkan berlarian sembari menggigit roti tawar di mulut mereka.
Menghirup aroma kopi hitam yang masih hangat ditangannya, pikirannya membawanya ke memori masa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, dimana ia dilihat aneh akibat helaian rambut putihnya. Beruntungnya, ia tidak dijadikan bahan olokan dan rundungan karena Frostfire dan lainnya. Bagaimana tidak? Tubuh besar mereka dan kekayaannya membuat mereka ditakuti, tapi dirinya tidak takut pada mereka.
Lemparkan pandangan ke depan, dirinya melihat Thorn bergerak ke arahnya, Taufan secara refleks mundur perlahan. Masih tidak terbiasa dengan sentuhan dan keberadaan saudaranya di sekitar tubuhnya. "Taufan, dingin? Butuh jaket Thorn?" Thorn bertanya khawatir, mata hijaunya merefleksikan diri Taufan didalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fanfiction(n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. (nomina.) Sebuah kerinduan untuk sebuah rumah yang tidak bisa anda datangi, Sebuah ruma...