Manik cokelat itu berikan pandangan kosong saat warna putih dan bau tidak mengenakkan masuk ke penghidunya.Tatkala mata itu menatap tubuh ringkih yang terbaring bersama mimpi-mimpi yang bahkan nalar tak bisa mencapai, ia temukan matanya berair, lalu tumpah dengan rasa hampa. Bias bening itu jatuh, terhanyut dengan putihnya pijakan yang buat ia membumi dengan kenyataan.
Pria tua itu berbalik pergi, meninggalkan tempat jutaan orang meregang nyawa dengan metafora yang mengerikan. Meninggalkan tubuh ringkih yang manik birunya menatap sayu mengikuti langkah jenjang kakinya.
"Kau ingin memberiku hadiah, karena diriku mendapatkan peringkat pertama paralel? Jangan konyol." Cela remaja tersebut, mata biru tua itu berikan pandangan menghina. Amato hanya dapat melihat anaknya pergi dengan mata kosong.
Hiraeth
All part of this stories is belongs to Nathan
Don't take out without permission!
Slow update, read at your own risk!
Dark plot, teen mature and a bit gore, this is a warning!
Happy reading fellas~***
"Apa ini saja yang kau inginkan dari hadiah kemenangan kita bertaruh?" Tanya gadis tersebut, Taufan hanya berikan anggukan singkat sebagai balasannya.
"Ya, lagipula itu hal umum, benar?" Sahut Taufan pelan, tangannya mengambil kertas kecil dari tangan gadis tersebut.
Gadis tersebut hanya menghela napasnya pelan, tidak mencoba mendebat temannya yang terlalu banyak akal. "Kau bisa datang ke rumahku jika banyak waktu, aku tidak memaksa." Katanya, lalu melenggang pergi.
Taufan mengangguk, lalu bergumam 'terimakasih, Ying' kepada temannya yang menjauh. Kertas itu ia lipat lalu kantongi, dirinya berjalan ke arah tangga. Berkelok saat temukan ruangan besar dengan air conditioner didalamnya, ia berjalan masuk ke arah yang lebih dalam. Matanya menyapu tumpukan kertas atau mungkin perkamen yang aromanya tua termakan usia, lalu tersenyum tipis. Berjalan ke arah staf perpustakaan, ia membuka mulut, "Apakah tumpukan lusinan eksemplar ini masih terpakai, pak?" katanya sopan, sembari menunjuk hal yang ia tanyakan.
Pria tua dengan uban dikepalanya hanya menggelengkan kepalanya, "Itu tidak terpakai, apakah kau menginginkannya, nak?" Tanyanya. Taufan menganggukkan kepalanya, lalu staf tersebut pergi ke arah komputer administrasi, mengambil lembar kertas lalu memberikannya.
"Tanda tangani ini, dan kau dapat memilikinya." Staf itu berujar, tanpa tedeng aling-aling Taufan segera melakukannya tanpa berbicara. "Ada lagi yang kau butuhkan, nak?" Kembali bertanya, staf tersebut mengambil dokumen yang sudah tertanda tangani lalu menatap Taufan dengan senyum kebapakan.
"Apakah saya boleh meminjam komputer yang ada disini, pak?" Lontarkan kalimat, staf tua tersebut menjawab dengan baik lalu mengarahkannya ke arah komputer yang dapat terpakai dengan baik.
Berjalan ke arah komputer yang ditunjukkan pustakawan tersebut, ia segera tarik kursi dan jatuhkan bokongnya. Menyalakan teknologi tersebut, tangannya ia ketuk-ketukkan pada meja dekat keyboard yang terpajang apik. Saat tampilan monitor sudah keluar, tangannya meraih benda kecil didalamnya. Memasangnya pada mesin kecil tersebut, kursor ia gerakkan untuk menyegarkan laman rumah. Jemarinya ia tekan tuts lalu muncul tab command, ketikan itu yang awalnya lembut kini dengan cepat ia tekan. Flashdisk yang ia pasang kini tampilkan beberapa cuplikan, dokumen dan data-data lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Hayran Kurgu(n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. (nomina.) Sebuah kerinduan untuk sebuah rumah yang tidak bisa anda datangi, Sebuah ruma...