Hiraeth : 03. "Taufan, We need to talk"

1.5K 174 74
                                    


Mata hijau, ekspresi polos dan senyum riang diwajahnya. Thorn. Taufan menyayanginya, sampai kejadian naas menimpa.

"Taufan, apa yang kau lakukan pada Thorn?" Suara berat penuh kemarahan itu menggelegar memenuhi halaman belakang mansion besar tersebut. Tidak normal menemukan orang tua membentak anak berumur 5 tahun, senakal apapun mereka.

"Aku, aku tidak bermaksud membuat Thorn menangis. Taufan hanya mendorong ayunan sesuai permintaan Thorn." Manik biru si kecil menatap balik obsidian hitam tersebut, berusaha tidak menangis.

Tangis itu pecah dengan darah mengalir dari luka di dahi bermata hijau, mengangkat tubuh kecil Thorn, Amato menatap terakhir kali Taufan yang menundukkan kepalanya. Dirinya melenggang pergi, meninggalkan halaman belakang luas itu.

Manik biru itu berair, sedang suaranya teredam akibat giginya menggigit bibir merah pucatnya. Saat eksistensi ayah dan saudaranya menghilang dari sudut pandang matanya, lalu tangis itu pecah. Tangan kecilnya meremas kemeja satin biru gelap tersebut,lalu menatap langit biru dengan angin berhembus kencang.

Burung gagak terbang dari pekarangan tersebut, meninggalkan suaranya bersama tangisan pilu bagi yang mendengarnya. Untuk pertama kalinya, Taufan menginginkan sesuatu.

Ia ingin terbang, terbang bebas menikmati hembusan angin, pergi dari sarang.

"Taufan? Kau melamun?" Suara berat terdengar beberapa langkah didepannya, pikirannya terhenti dari melanglang buana, masih dapati dirinya berdiri membelakangi pintu.

Hiraeth
All part of this stories is belongs to Nathan
Don't take out without permission!
Slow update, read at your own risk!
Happy reading fellas~

***

Mengedipkan matanya berusaha mencerna semuanya, Taufan berusaha tutupi ekspresinya, tidak datar atau ramah, hanya ekspresi netral terlihat.

Taufan bersitatap dengan manik hijau yang menatapnya tanpa berkedip, berdeham untuk membuat si empu berhenti menatapnya, yang berhasil ia lakukan. Taufan berjalan ke arah hanger untuk menanggalkan hoodienya, lalu menatap jam dinding yang menempel diruang tamu.

"Dimana yang lainnya? Apakah kalian sudah makan siang?" Taufan bertanya sembari melangkah mendekati Thorn, saudaranya hanya menatapnya dengan tangannya yang sibuk mengelus kucingnya.

"Blaze pergi berolahraga sejak pagi, Ice tertidur di ruang keluarga dan Solar kurasa di kamarnya. Dan tidak, kami belum makan siang." Tangannya yang mengelus kucing peliharaan Taufan terhenti, menoleh ke arah Taufan yang berdiri. Merasa malu akibat merepoti saudaranya, Thorn buang pandangan ke arah lain.

Mengeluarkan suara 'hum', Taufan membuka mulut. "Bisa kau beritahu mereka yang diluar rumah untuk kembali? Aku akan ke atas untuk menaruh ini-" Taufan mengangkat bingkisan warna cokelat itu hingga setinggi dadanya. "-dan menyuruh Solar untuk ke bawah." Katanya, lalu berjalan ke arah tangga dengan santai.

"Kukira Taufan akan pulang bersama Halilintar dan Gempa?" Thorn berhenti mengetik pesan yang akan ia kirim, hanya untuk melihat Taufan yang menjauh.

Mengangkat bahunya acuh tak acuh, Taufan berkata pelan. "Mereka sedang mengakrabkan diri di sekitar sini, kurasa." Lalu melenggang pergi meninggalkan Thorn yang terdiam.

Hening meninggalkan Thorn dan kucing Persia tersebut, sedang Thorn berpikir keras mengapa Taufan berbeda. Tidak ada senyum, suara riang atau tawa. Ia dingin...-Thorn berpikir sedih, ia merindukan Taufannya.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang