Secara filosofis, nilai-nilai kehidupan tergantung bagaimana pola pikir, logika, cara menalar dan lingkungan habitat semua makhluk hidup. Namun, seiring berjalannya waktu, nilai-nilai pedoman yang menjadi doktrinisasi mulai menipis, menghilang karena maju peradaban. Sebuah pertanyaan hinggap dikepala saudara paling muda;"Jika nilai suatu kehidupan tiada, apakah ada eksistensi untuk nilai kematian?"
Mata laki-laki tanggung itu menatap dalam biru tua, sejenak terlintas dalam pikirnya, "Mengapa memperjuangkan satu kehidupan, jika nilai makhluk tersebut tidak ada? Bukankah suatu pemborosan?"
Mungkin, Taufan harusnya mati sedari lama.
•
•
•
Hiraeth
Where's all part of this stories is belongs to me
Please, kindly do not plagiarism
Slow update, read at your own risk!
There angst we like, because it's good for crying***
Jika mempertanyakan arti dari kehidupan pada Boboiboy Solar, anda tidak akan mendapatkan jawaban yang konkret. Jawabannya akan berubah-ubah tiap kali ditanya, seperti; "Hidup hanya sekali, untuk apa tidak melakukannya dengan sedikit risiko?" atau, "Hidup hanya mungkin terjadi jika berada dalam pelukan kematian."
Maka, saat bola matanya menatap saudara yang lebih tua, dalam keadaan antara hidup dan mati, dia menemukan jawaban lain pasti dalam gelap dan dalamnya ambiguitas, "Hidup seperti gelembung sabun, itu sangat kecil, sangat rapuh, sangat indah. Tenang dan nyaman, bahkan dengan segala kekejian dunia."
Melalui hal tersebut, remaja tersebut dapat memahami dengan jelas satu hal, yaitu kehidupan yang ia yakini damai dan tenang bagaikan gelembung sabun, hanyalah sebuah fasad diantara nasib yang memaksa manusia maju.
Berkedip saat ia bahunya disenggol oleh Thorn, ia menenangkan dirinya dari pikiran-pikiran konyol yang biasa hinggap di kepalanya. Matanya mengarah ke arah ayahnya, Amato, yang mendorong kursi roda. Saudara laki-lakinya, Taufan, duduk dengan layu. Matanya selalu melihat-lihat pemandangan kota modern pasca apokalips. Alasan yang membuat saudaranya hidup selama satu dekade ditopang mesin kedokteran.
"Biar aku saja, Ayah." remaja laki-laki dengan mata bermanik hijau itu berkata, berjalan mendekat. Tubuh tinggi tegap tersebut tidak cocok dengan wajah penuh senyum sakarin yang ia berikan kepada remaja lain yang duduk risih di kursi roda.
Sejenak, Amato berpikir, memberikan pandangan kontemplatif kepada Taufan, sedang yang ditatap hanya memberikan wajah bingung dengan sedikit ekspresi penolakan. Sudut matanya menatap remaja lainnya, Thorn, sebelum mengangguk.
"Tolong jaga saudaramu, ya? Ayah akan mengurus administrasi di lobi rumah sakit." perintahnya dengan nada khawatir, tangannya ia angkat untuk mengelus rambut anak yang duduk di kursi roda tersebut, sedang tangan yang lain memberikan kunci mobil kepada Solar.
"Tolong hangatkan untuk ayah, Solar." pintanya dengan pelan, sebelum menundukkan kepalanya dan mencium dahi Taufan. "Tunggu ayah, ya? Jika membutuhkan sesuatu, pinta kepada saudaramu, mereka tidak menggigit." ucapnya dengan senyum lembut, Taufan melirik Thorn yang membuka mulutnya, memperlihatkan gigi taringnya.
Saat ingin merengek, tangan kurus Taufan diangkat, sebelum punggung tangannya dikecup dengan lembut oleh ayahnya. "Thorn." pria dewasa itu memperingatkan, sedikit banyak tahu kejenakaan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fanfiction(n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. (nomina.) Sebuah kerinduan untuk sebuah rumah yang tidak bisa anda datangi, Sebuah ruma...