Bab 2

60 52 24
                                    

Amira meneguk ludah susah payah.

"Kamu kan nggak bisa kemana-mana kalau sendirian?! Benarkan?!"

Perkataan tersebut menusuk hati Amira, entah apa yang harus ia lakukan. Itu benar namun hatinya terlalu sakit untuk mengakui hal tersebut. Ia memang selalu tidak bisa melakukan apapun jika sendirian.

Tapi, Amira juga bukanlah wanita yang penuntut akan suatu hal. Jika, keinginan tersebut belum bisa ia dapatkan, ia akan bersabar, ia percaya jika hal tersebut akan selalu Allah berikan yang terbaik. Namun, entah kenapa? Apa yang selalu Amira inginkan pasti ia dapatkan sedari kecil. Orang tuanya selalu berusaha memenuhi keinginan dirinya.

Karena hal tersebutlah beberapa orang tidak menyukai dirinya, menganggap ia tidak akan bisa apa-apa tanpa bantuan kedua orang tuanya. Teman-temannya pun sedari dulu, selalu menganggap ia manja dan sangat ceroboh saat melakukan suatu hal.

Seperti sekarang. Salah satu keluarga dari pihak ibunya pun selalu saja, menyudutkan dirinya yang tidak pernah bisa melakukan apa-apa. Berbeda sekali dengan anaknya yang seumuran Amira, yang sekarang pun kuliah di luar negeri, dan juga mendapatkan beasiswa kuliah sampai tamat dari pemerintah.

Berbeda sekali dengan Amira, yang hanya bisa kuliah disini dan mengambil jurusan PGSD yang telah ia pilih. Itupun Amira harus mati-matian meyakinkan kedua orang tuanya jika jurusan yang ia pilih, adalah jurusan terbaik yang sangat cocok untuk dirinya.

Alhamdulillah. Qadarullah kedua orang tuanya pun menyetujui hal itu. Meski, Amira harus melewati banyak hal dan perdebatan kecil.

Sekarang tangan Amira mencengkram erat gamis yang ia kenakan. Tidak ada yang bisa ia lakukan, ia hanya terdiam, ia tidak ingin memancing keributan disini jika ia menyauti ucapan dari wanita paruh baya yang ia panggil Tante Tessy.

***

Amira berdiri dan ingin beranjak pergi. Hingga suatu perkataan menahan kembali dirinya untuk tetap duduk.

Napas Amira sudah tidak beraturan. Tutur kata wanita dihadapannya ini benar-benar tidak bisa ia toleransi. "Maksud tante apa?"

Tante Tessy mengembuskan napas pelan.  "Benarkan? Apa yang tante katakan. Kamu itu hanya menjadi beban kedua orang tuamu. Padahal, kodratnya wanita tidak harus terus bermanja ria bukan?!"

"Te? aku nggak ngerti kenapa tante begitu membenci diriku. Sebaik apapun diriku, akan selalu buruk di mata tante."

"Iya kamu memang seperti itu hanya bisa menjadi anak manj–"

Ucapan tante Tessy terpotong saat Ummi datang dan berteriak memanggil tante Tessy. Membisikkan suatu hal yang entah apa yang Umminya bisikkan. Namun, yang jelas tatapan Tante Tessy berubah seketika menjadi kesal. Kepada Umminya.

Namun, berbeda dengan sang Ummi yang tersenyum puas saat reaksi Tessy seperti itu.

Tante Tessy langsung melangkah pergi. Sedangkan, Ummi menghampiri Amira yang masih terdiam menatap Umminya, dengan tatapan tolong jangan membuat keadaan dirinya akan lebih parah dari hal ini.

"Dek?"

Amira tersenyum.

"Maafin Ummi yah, harusnya Ummi nggak ajak adek kesini."

Amira membulatkan kedua matanya. "Ini bukan salah Ummi kok, Amira sendiri yang menginginkan untuk datang kesini Ummi."

Sang Ummi menghela napas pelan dan memeluk anaknya. "Ya udah kita pulang aja. Yah dek?"

"Tapikan baru sebentar Ummi."

"Udah nggak apa-apa. Ayo cepat pergi!"

Amira mengangguk pasrah, tanpa sengaja tatapan Amira jatuh kepada tante Tessy yang menatap dirinya dengan sorot yang tidak bisa ia artikan.

***

Amira menghempaskan dirinya di kasur berukuran king size itu dengan latar warna serba pink, yang benar-benar menjelaskan bahwa kamar tersebut benar-benar kamar yang dimiliki oleh seorang wanita yang sangat ceria.

Belum lagi boneka-boneka hello kitty yamg terpajang di dalam lemari, di atas kasur, beberapa di atas lemari, dan ada juga yang berada di meja belajar dirinya.

Amira memejamkan kedua matanya. Mengingat hal-hal yang ia lakukan selama ini. Terkadang memang harus ia akui beberapa hal memang tidak bisa ia lakukan secara sendirian, sangat berbeda sekali dengan kedua kakaknya yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus membebankan kedua orang tua.

Sedangkan, Amira seberapa coba ia untuk melakukan suatu hal secara sendirian dan mencoba mandiri. Ia tidak pernah bisa lepas dari namanya campur tangan kedua orang tua dirinya. Membuat Amira selalu dispesialkan saat melakukan suatu hal.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Amira. Apakah ia terlalu manja? Apakah ia memang tidak akan bisa melakukan suatu hal secara sendirian?

Amira memejamkan kedua mata, memikirkan jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya sangat mudah ia jawab. Namun, semua itu terhentikan saat ponsel Amira berdering, suatu panggillan video call, dari nomor yang sangat Amira kenal.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap Amira seraya memberikan senyuman terbaiknya. Membuat kedua orang yang berada di panggillan tersebut tersenyum senang.

"Gimana dek? Lancar tadi acara tempat Tante Tessy?" tanya salah satu kakak pertama Amira, yang bernama Kevin Hariston.

Amira menampilkan senyuman terbaiknya. "Alhamdulillah lancar, Kak."

Kakak laki-laki pertama Amira, mempunyai kepribadian yang sangat dewasa namun mudah di ajak bergaul, berbeda dengan kakak keduanya yang lebih mempunyai sifat dingin, namun sangat loyal kepada dirinya. Wajar saja seseorang yang akan menjadi dokter memang beda. Kejeniusan kakak keduanya memang sangat jenius.

Akan tetapi meskipun begitu, bukan berarti kakak pertamanya tidak jenius juga. Sebaliknya kakak pertamanya juga tidak kalah jenius dari kakak keduanya. Hanya saja kejeniusan mereka, di bidang yang telah mereka pilih.

Kakak pertamanya dibidang perusahaan dan kakak keduanya dibidang kedokteran.

"Alhamdulillah," ujar kedua kakaknya secara bersamaan.

"Gue tebak, pasti lo makan banyakkan di rumah tante Tessy?" tanya Kevin sang kakak pertama kembali.

"Nggak juga biasa aja."

"Masa?"

"Beneran ...."

"Percaya nggak lo, es batu?" tanya Kevin yang dihadiahi tatapan kesal dari kakak keduanya itu yang bernama Devan Denatario.

"Nggak jelas lo, Kev!"

"Nggak jelasnya dimana sih batu es ...."

"Gue manusia, bukan batu!"

Amira tersenyum sekali-kali tertawa mendengar argumen dari kedua kakaknya itu. Membuat hatinya benar-benar menghangat. Allah memang selalu bisa membuat hatinya yang tadi panas, menjadi dingin seketika, dengan menghadirkan saling ejek kedua kakaknya, yang benar-benar sangat ia rindukan.

Mengingatkan Amira tentang masa kecil yang sangat ia rindukan. Masa dimana mereka tidak mengetahui apa-apa. Namun, selalu tertawa lepas. Tanpa memikirkan hal-hal, yang membebankan pikiran dan menyakiti hati. Benar-benar sangat berbeda saat mereka sudah menjadi dewasa.

"Dek?"

"Iya kak Devan?"

"Tadi nggak terjadi sesuatukan?"

Amira tersenyum hangat. Jika kak Kevin akan memancing dirinya, untuk mengatakannya sendiri. Berbeda sekali dengan kak Devan, yang akan to the point pertanyaannya.

"Nggak ada kok Kak, lancar."

"Beneran?"

"Iya."

Kedua kakak Amira terdiam, bergelut dengan pikiran mereka masing-masing.

"Ta–tapi, tadi Tante Tessy, nelpon kita dek," ucap Kak Kevin, yang membuat jantung Amira berdetak kencang.

"Apa yang dikatakan tantenya itu."

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang