Dari balik jendela apartemennya, Azka menatap kosong lautan manusia yang berpergian ke sana kemari menggunakan kendaraan mereka. Ia hanya terdiam dengan gelas yang berisi air putih di tangan kanannya.
Lelaki berparawakan atletis itu termenung menikmati semilir angin yang berembus siang ini. Ia mengusap wajahnya kasar. Memikirkan Amira yang menangis karena perkataannya yang menyudutkan perempuan itu.
Azka menutup mata sesaat. Memikirkan semuanya terutama trauma yang ia miliki. Bahkan, tanpa sadar ia telah membuat gadis yang ia cintai menangis, memori perceraian kedua orang tuanya kembali merayapi pikirannya sekarang. Trauma yang terus menjalar dipikiran dan hatinya seolah tidak membiarkan ia tenang walau hanya sebentar.
Tes ... tes ....
Buliran bening itu telah jatuh di pipinya, meluncur dengan bebas. Azka meremas dadanya yang terasa menyempit. Hatinya benar-benar sakit. Kenangan buruk itu terus menerobos di pikirannya.
"Kenapa gue harus dilahirrin?" Azka menangis, tangannya menarik rambutnya, lalu menghantamkan kepalanya ke dinding. "Gue benci."
Ia menghentikan tangisannya, membanting gelas yang ia genggam dan mengiris tangannya menggunakan pecahan gelas kaca itu. Ia mengiris-iris tangannya. Darah yang mengucur deras dan rasa sakit tak ia hiraukan. Ia benar-benar menikmatinya.
Lelaki itu tertawa hambar. "Manusia menjijikan seperti gue seharusnya nggak usah dilahirrin."
Semakin lama ... tawanya semakin keras, menertawakan hidupnya yang sangat menyedihkan. Kehidupan yang tidak pernah manusia inginkan bahkan ia sekalipun.
Ia menginginkan kasih sayang orang tuanya. Namun, sejak kecil hingga dewasa kasih sayang itu tidak pernah ia rasakan.
Dulu sewaktu SD, ia melihat orang tua temannya mengambil rapot anaknya dan begitu bangga ketika anaknya mendapatkan juara kelas, ia tersenyum berpikir jika mendapatkan juara kelas, orang tuanya akan memperhatikan dirinya, ia belajar mati-matian untuk mendapatkan juara kelas . Namun, naas sedikitpun ia tidak diperhatikan oleh ibu dan papanya.
Beranjak SMP, ia melihat para orang tua begitu bangga melihat anak mereka yang mendapatkan mendali olimpiade sampai ke tingkat nasional. Ia bekerja keras untuk mendapatkan hal itu, tetapi lagi-lagi ... tidak ada yang peduli pada dirinya.
Beranjak SMA, ia berubah menjadi anak berandalan dan ketua geng di SMA-nya, membully adalah hal yang paling ia sukai dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama akhirnya kedua orang tuanya datang. Hanya datang tanpa menegurnya. Ia terus menjadi anak berandalan, tetapi keajaiban itu tidak pernah menghampiri dirinya kembali.
Azka menangis, tangisan yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya, tangisan meminta belas kasih seorang anak yang membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya.
Tanpa sadar ia telah memejamkan matanya dengan kedua tangan yang penuh luka.
***
Amira mendengarkan shalawat Nariyah, menggunakan headset yang menempel di telinganya. Bibirnya sekali-kali ikut menyenandungkan shalawat yang ia dengarkan.
Perempuan itu berguling ke sana kemari sedari tadi. Memikirkan ucapan Azka pada dirinya. "Apakah benar ia tidak pernah bersyukur?"
Amira menatap langit-langit kamarnya. Darimana lelaki itu tahu, bahwa selama ini ia selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dan selalu melakukan sesuatu secara sendirian sebagai pembuktian?
Dahi Amira berkerut. Lalu ia menggeleng. "Udahlah, nggak usah dipikirrin."
Tangannya mengambil jam waker di atas nakas, matanya melihat jam yang ternyata masih menunjukkan pukul 1 siang, masih dua jam lagi untuk mengajar les privat.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Azka benar adanya, ia selalu mencoba melakukan sesuatu secara sendirian, seperti saat ini, ia mencari uang dengan mengajar privat sebagai bukti bahwa ia bukanlah anak manja, ia bisa bekerja, dan menghasilkan uang dengan tangannya sendiri.
Tok ... tok ....
Ketukan itu membuyarkan lamunan Amira.
Ia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu, tidak perlu berpikir keras siapa dalang yang menggedor pintunya sekarang. Kalau bukan salah satu dari kedua kakaknya.
Ia membuka kunci pintu kamarnya dan saat terbuka, matanya langsung melihat kakak sulungnya yang tersenyum dengan tangan yang sudah memegang gunting rambut di tangan kanan lelaki itu.
Amira mengembuskan napas pelan, ia sangat tau apa yang diinginkan oleh sang kakak. Membuat ia menggeleng. "Nggak bisa, Kak. Bentar lagi gue mau ngajar."
"Bentar doang, lo mah gitu."
Amira tetap menggeleng. "Nggak bisa." Lalu ia menunjuk pintu di sebelah kamarnya. "Kak Devan aja."
"Gitu amat, sih, nanti Kak Kev belikan Boneka Hello Kitty."
"Mau."
"Gitu dong dari tadi."
"Bukan mau potong rambutnya, mau bonekanya, aja."
"Ban*ke, Lo. Bentar doang."
“Ihh, Kak Kev. Enggak bisa, bentar lagi gue mau ngajar.”
"Kan jam 3 sore, ini masih jam 1 siang."
"Iya, tapi, 'kan nanti mau siap-siap juga."
Kevin menggerutu lalu pergi dengan wajah kesalnya menuju pintu kamar adik keduanya.
***
Amira hanya mengangkat bahu, tangannya mengunci pintu kamar dan duduk di meja belajar dengan headset yang kembali menempel di telinganya yang kali ini Shalawat Badriyah yang terdengar.
Sebenarnya ia mau saja memotong rambut kakaknya itu, tetapi untuk saat ini ia benar-benar sedang tidak mood. Memikirkan perkataan Kak Azka dan ... uminya yang belum memberi kabar tentang keadaan sang nenek. Ia dan kedua kakaknya pun tidak diperbolehkan untuk datang.
Perempuan itu mengembuskan napas pelan, matanya melirik jam waker yang sudah menunjukkan pukul 2 siang.
Ia melepaskan headsetnya untuk bersiap-siap mengajar. Saat ia melepaskan headsetnya sebuah teriakan membuatnya menyemburkan tawa.
"Ya Allah, tolong berikan hamba kedua adik yang baik dan penurut!" teriak Kevin dengan sangat keras dan bergema di seluruh ruangan.
Next ❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Istikharah Cinta
ДуховныеJangan lupa follow ig: @Imajinasi_Ar, ya😁 Blurb Menjadi anak perempuan satu-satunya, tidak semenyenangkan yang ada dipikiran orang-orang. Terlalu dimanja. Hingga tidak bisa mandiri. Hal itu yang dialami oleh Amira. Membuat ia melarikan diri dari ru...