Amira menatap langit biru dan tersenyum tipis. "Entahlah, Kak."
Azka tertawa dengan mata yang masih menatap langit biru. "Kodratnya manusia, tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka miliki, selalu membandingkan diri dengan kehidupan orang lain. Lalu menyalahkan Allah yang tidak adil."
Amira terdiam, kata-kata itu menohok hatinya. Ia membenarkan ucapan lelaki itu.
"Lo pernah bersyukur, Amira?"
Dahi Amira berkerut, bingung. "Gue selalu bersyukur, Kak."
"Lo belum bersyukur."
"Maksud, Kak Azka?"
Azka mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya secara teratur. "Lo selalu merasa hidup lo terlalu mudah dan ingin seperti orang lain."
Tubuh Amira menegang, mendengar tutur kata lelaki di sebelah kanannya. Dari mana lelaki itu tau?
"Gue hanya ingin melakukan sesuatu dengan tangan gue sendiri, bukan selalu dibantu."
"Tapi nyatanya ... saat lo dibiarkan untuk melakukan sesuatu, apa pernah berhasil?"
"Kak Azka sedang meremehkan."
"Nggak, gue ingin lo sadar."
Amira membuang wajahnya ke sebelah kiri, tidak ingin memandang Azka sekarang.
"Maaf, kalau kata-kata gue nyakitin, tapi itu demi kebaikan, Lo."
Amira tidak menggubris permintaan maaf itu, ia hanya memandang aspal yang jauh lebih menarik perhatiannya daripada lelaki di sebelah kanannya.
***
Azka menanggapinya dengan senyuman tipis, ia kembali menatap ke depan, dan ternyata sudah ada sopirnya di sana.
"Maaf, Tuan. Saya terlambat."
Tidak ada senyuman. Azka menatap lelaki paruh baya dihadapannya dengan tatapan datar, lalu menoleh ke arah Amira yang juga menatap ke arah sopirnya.
"Ayo, gue anterin."
Amira hanya mengangguk, berusaha untuk berdiri, tetapi kembali terjatuh. Perempuan itu kembali mencoba, tetapi dihentikan oleh Azka.
"Jangan dipaksain. Tunggu sebentar."
Amira kembali mengangguk. Azka berjalan ke belakang mobil dan mengambil tongkat kayu yang selalu ada di belakang mobilnya.
"Pakai ini, aja."
Melihat Amira yang selalu menurut seperti ini, membuat dirinya heran. Amira sedikit menegakkan kepalanya yang sedari tadi sedikit tertunduk dan betapa terkejutnya Azka melihat wajah perempuan itu yang sudah basah.
"Lo, nangis—"
"Kak, Ayo pulang. "
Azka meneguk ludahnya, lalu mengiakan ajakan Amira, ia berjalan di belakang tubuh Amira tanpa menyentuh, hanya mengawasi.
***
"Kak Mira ...," teriak seorang gadis kecil, membuat Amira menegakkan kepalanya.
"Masya Allah, Dek Nissa."
Anak kecil yang bernama Nisa itu menyengir, menampilkan deretan gigi putihnya. "Kaki Kak Mira kenapa?"
Senyuman kembali terukir di wajah Amira. "Jatoh, Dek."
Mata gadis kecil itu berkaca-kaca, ia bergeser lalu menepuk pelan bangku di samping tubuhnya. "Sini, Kak. Nanti Nisa bantu tiuppin lukanya."
Amira tertawa pelan, ia mengangkat kakinya membuat pelan dan duduk di sebelah gadis yang merupakan anak didiknya di tempat les itu.
***
Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Suasana benar-benar hening, membuat anak kecil itu tidak betah, ia ingin bercerita. Terlebih ada Ibu gurunya di sini.
"Kak Mira?"
"Iya, Sayang."
"Kakak berdua pacaran, ya?"
Pupil mata Amira membesar. Sedangkan, Azka tersedak air liurnya sendiri, saat mendengar pertanyaan anak kecil itu. Namun, tak ubah perkataan anak kecil itu di Aamiin 'kan oleh Azka.
Sang sopir yang merupakan Ayah dari anak kecil itu pun, berdeham pelan. "Dek," tegurnya.
Tangan Amira terangkat, ia membelai lembut rambut hitam Nisa. "Nggaklah, Sayang, kak Mira sama Kak Azka cuma temenan, lagi pula dari mana Nisa tahu tentang pacaran?" tanya Amira menatap anak didiknya itu dengan tatapan lembut.
Nissa melintir rok merah yang ia kenakan. Saat melihat tatapan ibu gurunya. "Anu ... dari kedua kakak yang pernah Nissa lihat di depan SD Nissa, mereka berdua duduk berdua, terus beberapa orang dewasa lainnya yang melihat hal itu mengatakan bahwa mereka berpacaran."
Amira menghela napas pelan, ia tidak menyangka karena ulah beberapa orang yang tidak mengenal aturan dan berpacaran tidak mengenal tempat, membuat anak kecil seperti Nisa menyerap hal itu secara mentah-mentah di dalam memorinya.
"Nggak ada yang namanya pacaran, ya, Sayang."
Nisa mengerjap beberapa kali. "Terus ... pacaran itu apa, Kak?"
"Sesuatu perbuatan buruk yang tidak boleh Nissa lakukan."
"Kenapa, Kak?"
"Karena Allah membenci hal itu."
"Iyakah?"
"Nisa nggak mau pacaran, Nisa nggak mau dibenci oleh Allah."
Senyuman Amira merekah dan mengangkat dua jempol tangannya. "Bagus."
***
Azka tersenyum simpul mendengar cerita kedua perempuan yang berbeda usia di belakang kemudi itu.
Pikirannya kembali tertuju pada Amira yang menangis tadinya. Apakah perkataan dirinya tadi benar-benar menyakiti gadis itu? Sebenarnya ia hanya ingin mengatakan bahwa Amira tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dan terus menyakiti diri untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa ia lakukan sebagai pembuktian.
Azka terus menatap ke depan. Mereka baru dekat seperti ini saja ... ia sudah membuat Amira menangis, lalu bagaimana jika mereka membangun rumah tangga.
Benar kata orang, anak hasil broken home seperti dirinya tidak akan pernah bisa hidup berumah tangga dengan bahagia. Ia pasti akan mengalami perceraian seperti kedua orang tuanya dan membuat Amira terluka. Rasa trauma itu benar-benar telah mengakar di pikiran dan hatinya.
"Ya Allah," Azka mengusap wajahnya kasar lalu sebuah tepukan dari sang sopir menyadarkan dirinya.
"Udah sampai, Tuan."
Azka berdeham pelan, matanya melirik ke sebelah tubuhnya dan sudah ada Amira di sana yang menatap dirinya.
"Terima kasih, Kak," ujar Amira dengan senyum yang dipaksakan.
Azka hanya mengangguk, matanya berubah sendu saat Amira memaksakan senyumnya.
Next ❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Istikharah Cinta
SpiritualJangan lupa follow ig: @Imajinasi_Ar, ya😁 Blurb Menjadi anak perempuan satu-satunya, tidak semenyenangkan yang ada dipikiran orang-orang. Terlalu dimanja. Hingga tidak bisa mandiri. Hal itu yang dialami oleh Amira. Membuat ia melarikan diri dari ru...