Bab 9

28 29 10
                                    

Setelah salat Magrib dan Isya tadi, Amira langsung masuk ke kamar. Hatinya benar-benar tidak karuan sekarang. Ia meneguk saliva susah payah. Lalu, kakinya melangkah mengambil ponsel yang ia taruh di atas nakas. Tangannya mulai gemetar.

[Jangan lupa, ya. Aku ingin menemuimu besok.]

Tubuhnya gemetar hebat. Kata-kata 'jangan lupa, ya.' membuat Amira bingung sekaligus ketakutan.

"Eng-Enggak, mungkin dia!" cicitnya pelan dengan nada gemetar.

Ia tidak pernah jahat pada orang lain. Malah orang-orang yang sering memanfaatkan dirinya. Mereka selalu merasa tersaingi dengan segala hal yang ada di dirinya.

Amira cantik, tubuhnya tidak terlalu tinggi namun juga tidak terlalu pendek, wajahnya chubby sangat terlihat menggemaskan, bibirnya mungil, bola matanya cokelat terang, memiliki orang tua dan kedua kakak laki-laki yang begitu menyayangi dirinya.

Akan tetapi, mereka salah, Amira tidak bahagia, ia ingin menjadi seperti mereka, yang bisa mandiri dan memikirkan apa yang akan mereka lakukan untuk melawan kejamnya dunia. Bukan semuanya sudah dipersiapkan dengan sebaik mungkin.

Amira tersenyum miris, perempuan berusia 21 tahun itu mengambil jilbab rabbani berwarna pink, ia berjalan menuju jendela kamarnya menikmati similir angin dan melihat langit malam yang ditaburi bintang-bintang.

Setidaknya, untuk sesaat ia bisa melupakan siapa yang mengiriminya pesan, apakah orang itu atau orang lain yang ingin mengerjai dirinya.

Amira tersenyum dengan mata yang masih memandangi bintang yang sangat banyak pada malam ini.

Perempuan itu mengangkat ponselnya ke atas, ia mulai berfoto. Jujur saja sejak dulu ia benar-benar menyukai dunia fotografis. Namun, wajah itu langsung pucat pasi, saat melihat notifikasi kembali muncul di layar ponselnya.

[Aku merindukanmu.]

Amira meneguk ludah susah payah, tubuhnya menegang, kakinya tidak bisa berpijak pada lantai, irama jantungnya kian berpacu dengan cepat.

"Ternyata benar, dia telah kembali."

Amira mencengkram erat piyama yang ia kenakan, mengigit bibir bawahnya, untuk mengatasi rasa takut yang membuncah di dada.

"Mau apa lagi dia sekarang?"

Amira memejamkan mata, lalu menggeleng, menepis semua pikiran buruk yang terus bergerilya di kepalanya.

"Iya, dia cuman ingin menemui, tidak ada yang ingin lelaki itu lakukan."

Amira mengangguk mantap dan tersenyum tipis. Ia kembali masuk ke dalam kamar.

Dini. Amira tau perempuan itu yang memberikan kontaknya pada lelaki itu.

***

Amira telah siap untuk kuliah. Ia tidak akan terlambat lagi seperti kemarin. Perlahan ia berjalan keluar dari kamar, matanya mengitari setiap sudut rumah. Mencari-cari di mana kedua orang tuanya.

"Ini, udah pergi semua?"

Ia terus melangkah, hingga sampai di meja makan, ada sebuah rantang besar di sana, tak lupa sebuah note kecil di atasnya membuat Amira menghela napas pelan.

[Umi sama Abi, harus berangkat pagi-pagi sekali, Nak. Nenek sakit. kemungkinan nanti malem Umi baru pulang, tapi kamu tenang aja, Kevin sama Devan akan pulang.]

Wajah Amira tersenyum senang. Saat mengetahui kalau kedua kakaknya yang super sibuk itu akan pulang. Bukannya apa-apa, ia bersama kedua kakak laki-lakinya itu tidak pernah  bermain lagi, setelah sekian lama. Dikarenakan kesibukan yang kedua kakaknya itu jalani. Membuat Amira  merasa kesepian di rumah. Tidak ada yang bisa ia ajak bermain.

Nenek. Raut wajah senang itu berganti menjadi wajah sedih. Mendengar bahwa neneknya sedang sakit dan sedang sendirian di desa. Berulang kali neneknya itu diajak Umi untuk tinggal bersama. Namun, selalu berakhir dengan  penolakan. Takut merepotkan.

Padahal, Umi sama sekali tidak merasa direpotkan. Justru Umi sangat senang, begitupun dengan Amira. Ia sangat menyayangi neneknya, tetapi neneknya itu lebih memilih untuk tetap tinggal di desa.

Amira mengambil ponsel yang berada di saku roknya, mengetik sebuah pesan pada sang umi.

[Umi? Ajak nenek kesini aja. Amira kangen.]

Tidak ada pesan balasan, hanya centang satu.

Amira mengembuskan napas pelan dan berdo'a di dalam hati. "Ya Allah, sembuhkanlah nenek. Aamiin."

***

Jam, menit dan detik pun berlalu. Sang dosen sama sekali tidak memunculkan wujudnya. Membuat satu kelas ribut dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Para perempuan sibuk bermake up dan membahas drakor yang mereka tonton, para lelaki yang hanya beberapa itu bermain game, ada yang baca buku. Bahkan, ada yang sudah pergi ke kantin untuk mengisi perutnya. Wajar saja jurusan yang Amira pilih banyak diisi oleh perempuan daripada laki-laki.

"Guys!" teriak sang korlas yang membuat semua orang menatap dirinya.

"Hari ini, Bu Mita nggak bisa masuk. Lagi ada urusan di rektorat, jadi libur, tapi tetap kerjain tugas makalah kelompok, minggu depan langsung dua kelompok yang maju."

Semua mata mahasiswa-mahasiswi itu berbinar bahagia. Terlebih jam mata kuliah Bu Mita adalah jam mata kuliah terakhir.

Begitupun dengan dirinya, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sangat jarang ini. Ia melangkah keluar kelas, menuju kantin taman untuk makan, bekal yang telah dipersiapkan uminya.

Amira berjalan pelan dengan wajah ceria. Hingga, seorang lelaki berdiri di hadapannya.

"Hai, Mir." Lelaki itu menyapa dengan senyuman yang terbit di bibirnya. Namun, justru terlihat mengerikan bagi Amira.

"Kenapa, Gara?"

Lelaki yang bernama Gara itu tertawa terbahak-bahak. Mendengar pertanyaan perempuan yang sangat ia sukai sejak dari bangku SMA.

"Enggak ada, gue rindu."

Mata Amira menyorot tajam, dengan yang tangan terkepal kuat hingga kuku jarinya memutih.

"Ya sudah, kalau hanya itu. Gue mau pergi. Minggir!"

Gara tersenyum nakal, saat Amira melewati tubuhnya, tangannya hampir merangkul Amira. Namun, semuanya sirna. Saat seseorang menendang tubuhnya, hingga membuat ia terjerembab di atas rerumputan.

Gara menatap Laki-laki itu tajam, yang dibalas dengan tatapan yang jauh lebih mengerikan. Serta, membuat siapapun yang memandang lelaki itu sekarang, akan ketakutan, tatapannya benar-benar menunjukkan kemarahan yang meledak-ledak.

"Jangan pernah sentuh Amira, dengan tangan kotor dan rendah lo itu!"

Amira menatap laki-laki itu dari samping, membuat jantungnya bergemuruh cepat.

"Kak Azka!"

Next ❤❤❤

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang