Azka tersenyum tipis, ia melangkah mendekati Amira yang sedang meniup luka di lututnya. Bisa Azka tebak perempuan itu pasti terjatuh tadi. Langkahnya semakin mendekat. Membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dan ia menyukai sensasi itu.
Lelaki dengan kulit putih itu berdeham pelan. Menyadarkan gadis yang berada di hadapannya yang sama sekali tidak mengetahui kehadiran dirinya.
Amira mengerjap beberapa kali, ia merasa takut jika di hadapannya sekarang, seseorang yang berniat jahat pada dirinya. Perlahan ia meraba sebelah tubuhnya, mencari sesuatu yang bisa membantu dirinya.
Azka mencoba menahan tawanya, tetapi ia tidak bisa menahannya lagi, hingga ia tertawa dengan kerasnya.
Amira yang merasa mengenal suara itu pun, langsung mengangkat kepalanya dan betapa malunya ia sekarang, seseorang yang berada di hadapan dirinya sekarang adalah lelaki yang ia hindari tadi.
"Hai, Mira?" Lelaki itu tersenyum dan duduk di sebelah gadis yang ia sukai dengan jarak yang sedikit jauh.
“Hai, juga, Kak."
Azka kembali menahan tawanya saat melihat batu yang masih digenggam. "Lepasin aja batunya, nggak niat jahat gue, tenang aja."
Amira malu sendiri dan melepaskan batu yang ia genggam.
"Kak Azka, ngapain ke sini?"
"Jalan-jalan aja."
"Jalan-jalan mulu, sih, Kak?"
Azka terkekeh. "Kalau kali ini, gue benar-benar jalan-jalan."
"Emang kemarin bukan jalan-jalan?"
"Jalan-jalan juga, sih."
"Kak Azka, aneh."
"Iya."
Dahi Amira bergelombang, tanda ia bingung saat Azka mengiakan, ketika ia mengatakan lelaki itu aneh.
"Kenapa?" tanya Azka.
Amira hanya menggeleng, ia tidak ingin memperpanjang cerita mereka, terlebih mereka sedang berdua di tempat yang sedikit sepi ini.
"Lutut lo berdarah?"
"Iya, Kak. Tadi jatoh."
Azka mengembuskan napasnya, melihat luka yang sudah merembes hingga ke celana training perempuan itu, ia mengambil sapu tangan di saku kemejanya. "Kebat, gih.
Amira menggeleng dengan cepat. "Nggak usah, Kak."
"Kebat."
"Nggak usah, Kak."
"Kebat."
Amira menghela napas dan mengambil sapu tangan dari lelaki yang ingin selalu dituruti perintahnya itu. "Kak Azka, nggak berubah."
"Ya, dong. Harus."
"Jalan-jalan, yuk. Entar gue ajak Dini."
Amira langsung menghentikan aktivitasnya, saat lelaki itu menyebut nama seseorang yang sudah menjadi orang asing yang sering membullynya.
"Kapan-kapan aja, ya, Kak."
"Kalian ribut?"
Amira menggeleng. "Nggak, Kak."
Azka tersenyum tipis. "Udah, 'kan. Gue anter pulang."
"Nggak usah, Kak. Gue masih bisa jalan sendiri, kok."
Azka merotasikan bola matanya. "Coba tegak."
"Nanti, setelah kakak pulang, gue berdiri sendiri."
"Sekarang."
"Nanti aja, Kak."
"Sekarang."
Amira kembali menghela napasnya, ia mencoba berdiri, tetapi tidak bisa. Membuat ia menyengir menatap Azka yang sudah menatap sinis padanya itu.
Azka mengambil ponsel yang berada di saku celananya menghubungi seseorang yang membuat ia marah sedari tadi. Beruntung ada Amira yang berada tidak jauh dan membuat ia sedikit tenang. Jika, tidak ... mungkin ia sudah kehilangan akal sehatnya ketika mengingat kedua orang tuanya tadi.
Tut ... tut ....
Panggilan akhirnya tersambung. "Di mana, kamu sekarang?" tanya Azka ke inti pembicaraan, dengan gigi bergemelatuk menahan amarah.
"Maaf, Tuan. Tadi saya ke tempat anak saya yang tidak jauh dari parkiran mobil, ia menelpon saya terus menerus karena tidak tau arah pulang. Sekali lagi maaf, Tuan."
Azka memejamkan mata, mengontrol emosinya. "Segera ke sini, saya tidak jauh dari tempat parkiran, di bawah pohon. Sekalian bawa anakmu." Lalu Azka mematikan ponselnya beralih menatap Amira sekarang.
***
Senyuman terukir dari wajah Amira. Merasa berterima kasih pada lelaki yang kembali duduk di sebelahnya. Sangat ia ingat, bagaimana karakter sepupu dari mantan sahabatnya itu. Laki-laki berandalan, ketua geng dan pembuat onar semasa SMA.
Amira meneguk saliva susah payah. Awalnya ia sangat takut pada Azka, saat Dini memperkenalkan dirinya pada sepupu yang sangat ia sayangi itu. Dini pernah bilang sepupunya itu berbeda dari sepupunya yang lain ... yang tergila-gila pada uang. Lebih tepatnya lelaki itu tidak tergila pada uang karena tidak di anggap di keluarga manapun, bahkan orang tuanya sendiri.
Akan tetapi, saat melihat karakter kakak kelasnya sekarang. Ia tau lelaki itu telah berubah, meski sifat pemarah dan perintah yang harus selalu dituruti itu tidak pernah berubah.
“Maaf," cicit Amira pelan.
Azka mengangkat satu alisnya. "Untuk?"
"Semuanya."
Azka tertawa, membuat Amira bingung.
"Kenapa?"
Lelaki itu menghentikan tawanya dan tersenyum. "Gue dulu nakal banget, Mir. Wajar kalau lo selalu takut sama, Gue."
"Tapi, Kak Azka, udah berubah."
"Nggak ... gue belum berubah."
Amira memperhatikan raut wajah Azka dengan saksama, satu yang dapat ia simpulkan, lelaki itu menahan sakit sendirian.
"Gue, yakin banget, Kak Azka udah berubah." Lalu wajahnya kembali menatap lurus ke depan. "Perbuatan, Kakak. Dari kemarin hingga sekarang, udah menunjukkan semuanya."
"Entahlah, mungkin Allah nyadarin gue lebih cepat," Ia menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit biru. "Sebelum gue mati dan kehilangan segalanya."
Dari semua yang pernah terjadi dalam hidup Azka. Hanya satu hal yang paling ia syukuri yaitu saat Allah menyadarkan dirinya. Meski, ia belum bisa melupakan kenangan buruk yang selalu muncul di kepalanya.
Amira tersenyum tulus. "Setiap orang pasti pernah merasakan kesakitan dalam hidupnya dan dipendam sendirian."
"Iya."
"Dan setiap cobaan yang diberikan, kepada kita itu berbeda. Ada yang kesakitan karena keluarganya jahat pada dirinya, ada juga yang kesakitan karena keluarga yang mengekang dirinya, ada juga yang tidak pernah punya teman dalam hidupnya dan terakhir ada yang tidak mampu melakukan apa-apa, agar semuanya tetap baik-baik saja."
Amira tertawa hambar. "Setidaknya Kak Azka beruntung, bisa menikmati hidup dan melakukan apapun yang kakak suka. Tanpa dilarang."
Azka beralih menatap Amira. "Lo salah, gue nggak suka, gue lebih suka saat orang tua gue ngelarang apa yang gue lakuin, sebagai bentuk peduli mereka pada gue. Sayangnya hingga gue dewasa, gue nggak pernah dapatkan hal itu sama sekali. Mungkin sampai kapanpun nggak akan pernah."
Mereka bertatap sejenak, hingga Amira memutuskan kontak mata mereka dan menatap langit biru.
Next ❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Istikharah Cinta
SpiritualJangan lupa follow ig: @Imajinasi_Ar, ya😁 Blurb Menjadi anak perempuan satu-satunya, tidak semenyenangkan yang ada dipikiran orang-orang. Terlalu dimanja. Hingga tidak bisa mandiri. Hal itu yang dialami oleh Amira. Membuat ia melarikan diri dari ru...