Bab 12

21 21 5
                                    

Hari ini Amira tidak melakukan apa-apa, kedua orang tuanya membawa neneknya ke rumah sakit. Ia ingin ikut menemani sang nenek. Namun, uminya melarang, sedangkan kedua kakaknya juga sama seperti dirinya, tidak boleh ikut dan sekarang entah kemana mereka pergi.

Amira menghela napas pelan, memandangi langit biru dari kaca kamarnya, ia juga libur kuliah, mau ngerjain tugas sedang tidak mood, karena pikirannya tertuju pada sang nenek.

Ia memejamkan mata, teringat keadaan neneknya saat ia dan uminya ke kamar sang nenek yang sudah kesakitan dan terus memegang dadanya, beruntung Abi dan kedua kakaknya telah pulang dari masjid. Sehingga kedua orang tuanya bisa segera membawa neneknya ke rumah sakit.

Gadis itu membuka mata, lalu kembali memandangi langit biru. Apa sebaiknya ia keliling kompleks saja? Jujur jika ia sendirian seperti ini, membuat dirinya makin teringat pada neneknya.

Amira mengangguk. Iya. Lebih baik seperti itu. Setidaknya ia tidak kepikiran sang nenek. Ia yakin neneknya akan sembuh.

***

Amira berjalan pelan, melihat orang-orang kompleks yang bercanda ria. Membuat ia sedikit menyunggingkan senyumnya.

"Mira?"

"Iya, Bu." Ia tersenyum, meski ia selalu disakiti oleh orang-orang, Amira tidak pernah membenci dan menjadi pendiam ... ia tetap ceria dan selalu mempunyai topik pembicaraan. Meski, sekali-kali jika ada seseorang yang menyinggung dirinya. Membuat ia terdiam namun ia selalu bisa menutupi hatinya dan akan memikirkannya saat sedang sendirian.

"Tadi Ibu lihat pagi-pagi, orang tuamu panik, ada apa, Nak?"

"Ah, itu ke rumah sakit, Bu. Nenek drop."

"Ya Allah, semoga lekas sembuh, ya sudah, Ibu duluan."

"Aamiin, ya, Bu."

Amira kembali berjalan, sepanjang perjalanan tidak ada yang terlalu menarik baginya. Pikirannya masih tertuju pada sang nenek.

Kriuk ... kriuk ...

Gadis itu berdeham pelan, ia lupa sarapan hari ini. Ia mengelus lembut perutnya dan melihat sekeliling tempat ia berdiri sekarang. Hingga, dari kejauhan ia melihat soon sosok lelaki yang ia kenali. "Bukankah dia?"

Amira mengucek-ngucek matanya untuk memastikan dan ternyata benar itu Kak Azka.

Hatinya berdetak tak karuan. Ia meremas ujung bajunya mengatasi kegugupan. "Kenapa Kak Azka, harus ada di sini?" Amira menetralkan detak jantungnya, ia berbalik arah, kembali ke rumah.

***

Azka menatap lurus ke depan, menikmati siomay pinggir jalan, tempat di mana ia ditelantarkan.

"Den Azka?" panggil seseorang yang sangat ia kenali suaranya. Perempuan paruh baya yang merupakan pembantu yang selalu sabar menghadapi tingkahnya dulu.

"Iya, Bude," ujar Azka sopan menatap perempuan paruh baya itu. Lalu ia berkata, "Panggil Azka saja, Bude."

Wanita paruh baya itu tersenyum tulus, membuat Azka ikut menyunggingkan senyumannya. "Udah biasa manggil Den, canggung kalau harus manggil Azka."

Azka terdiam dan mengangguk.

"Ini, Den. Es teh buat Aden." Azka tersenyum menatap satu cup es teh yang dijual oleh lelaki paruh baya yang ia panggil Pakde. Tangan kanannya mengambil es teh itu dan menyesapnya. Rasanya benar-benar melegakan kerongkongan ia saat ini.

Sang bude tersenyum dan duduk di sebelah laki-laki yang sekarang sudah mulai berpikiran dewasa. Tanpa Azka sadari selama ini ia selalu memperhatikan Azka, sesuai janjinya pada seseorang yang telah tenang di surga.

"Gimana keadaan Aden sekarang, jarang lagi ke sini?"

"Maaf, Bude. Biasa ... kerjaan."

"Sibuk banget, sih, Den. Jaga kesehatan."

Azka mengangguk. Dulu ia pernah ditawarkan untuk tinggal bersama sang  bude, tetapi ia menolak, ia tidak ingin merepotkan perempuan yang masih mempunyai tiga orang anak yang masih sangat kecil.

"Dan satu lagi jangan sungkan untuk minta bantuan sama Bude yah, Den."
Azka mengangguk sebagai jawaban, ia berdiri dan menyalami tangan budenya. "Azka pulang, Bude. Masih ada kegiatan di kantor."

"hati-hati, ya, Den."

"Iya Bude." Azka tersenyum dan menatap ke arah gerobak yang berada di sebelahnya. Melihat pakdenya yang masih sangat sibuk. Membuat ia mengurungkan niatnya untuk menghampiri pakdenya itu.

Azka berdiri, sedikit membungkukkan tubuhnya, melangkah menuju tempat parkir yang sedikit jauh dari tempat ia berdiri sekarang.

***

Azka berjalan pelan, sesekali menyesap es teh yang berada di tangannya. Wajah datar ia perlihatkan, sama sekali tidak ada senyuman, meski menampilkan wajah seperti itu, ia selalu menjadi pusat perhatian kemana pun ia pergi. Seperti sekarang para wanita yang ia lewati terang-terangan menatap dirinya dengan tatapan kagum.

Akan tetapi, tidak satu perempuan pun yang bisa membuat ia tersenyum dan jantung berdebar seperti Amira. Seorang perempuan yang ia dengar sangatlah manja. Namun, tidak pernah berani pacaran, dengan alasan dalam agama islam tidak ada yang namanya pacaran.

Membuat ia sedikit tertawa saat mendengar alasan dari beberapa orang yang pernah mendekati perempuan itu dan berakhir dengan penolakan. Bersyukur ia tidak pernah menyatakan cinta pada Amira, ia hanya memendam perasaan dan menjaga perempuan itu dari kejauhan.

Bersyukurnya lagi, Allah berbaik hati pada dirinya. Dini. Sepupunya itu berteman baik dengan Amira. Membuat ia mempunyai kesempatan untuk mendekati tanpa ketahuan bahwa ia menyukainya sejak lama.

Selintas bayangan tiba-tiba menghampiri dirinya kembali, teringat akan ibu dan ayahnya.

Azka mengembuskan napasnya perlahan. jika mengingat mereka, membuat hatinya benar-benar terasa sesak. Membuat ia mempercepat langkahnya untuk segera ke apartment sekarang.

Ia mengedarkan pandangannya mencari sopirnya. Azka menarik napas kemudian mengembuskannya secara perlahan. Ia terus melakukan hal itu. Setelah sedikit tenang. Azka mengambil ponsel yang berada di saku celananya, mencari kontak sang sopir.

Tut ... Tut ...

Panggilan itu terus saja berdering, tetapi tidak diangkat-angkat. Membuat amarahnya mulai memuncak. Lelaki itu menyenderkan punggungnya pada kaca mobil sembari melihat sekitar. berharap sopirnya itu datang, sebelum ia kehilangan akal sehatnya.

Azka menatap kosong ke depan. Matanya menangkap sosok perempuan yang sangat ia kenali. Perempuan itu sedang menangis dan meniup pelan lututnya yang ... berdarah.

"Mira?"

Next ❤❤❤

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang