Bab 6

43 40 31
                                    

Lelaki yang bernama Azka itu mendengarkan dengan seksama. "Bagus! Kita akan menangkan tender hari ini!"

Lelaki yang berperawakan atletis dengan tinggi 175 cm, alis tebal, hidung mancung, serta bola mata hitam legam dengan sorot mata tajam, itu tersenyum senang, menatap para klien, yang terpana melihat akan ketampanan yang terpancar dari lelaki itu.

Azka Wildan Pratama, nama yang diberikan kedua orang tua lelaki itu, pada dirinya. Nama yang indah sekaligus menjadi doa baginya.

Jika ada yang bertanya apakah Azka menyayangi kedua orang tuanya? Jawabannya, Iya. Tapi, semua itu sebelum kedua orang tuanya memilih untuk bercerai, dengan mengatasnamakan itu jauh lebih baik bagi mereka. Benar. Bagi karir mereka.

Akan tetapi, Tidak! Bagi Azka, yang masih seorang anak yang masih berusia 17 tahun, yang tidak mengerti apa-apa, yang masih butuh orang tuanya untuk menjadi tumpuan.

Lebih hebatnya, Azka dibiarkan terlantar tanpa sepeser pun uang, tidak ada yang bisa ia lakukan, tidak ada yang mau menerima dirinya. Azka hanya bisa berdiri di depan rumah yang sudah memiliki label dari bank itu.

Tidak ada yang bisa dilakukan anak itu, tidak ada yang memberikan belas kasih pada dirinya. Satu keluarga pun tidak ada yang mau menerima dirinya. Azka bisa terdiam, menggepalkan kedua tangannya. Merasa ini benar-benar tidak adil bagi dirinya!

Tapi, tidak ada yang bisa Azka lakukan, selain menerima segala hal itu. Ia mulai berjalan meninggalkan rumah besar nan mewah yang memiliki sejuta kenangan dari masa kecil yang indah baginya itu. Sebelum semuanya menjadi neraka saat ia menginjak usia 17 tahun.

Perut Azka keroncongan, ia belum makan sejak tadi. Hanya bisa meneguk ludah saat melihat orang-orang makan di hadapan dirinya.

Dulu, Azka tidak pernah kelaparan, semua makanan akan tersaji dengan banyaknya di atas meja makan. Berbagai, menu kesukaan dirinya tersaji rapi di sana. Bahkan, banyak yang terbuang karena Azka tidak menyukai makanannya.

Sekarang lelaki itu memahami, di saat ia membuang makanan, di saat itu juga banyak telapak tangan yang menengadahkan kepada sang pemilik semesta untuk memberikan mereka makanan.

Azka mengusap perutnya yang terus berbunyi. Hingga, dari arah depan ada seorang lelaki paruh baya yang memberikan ia satu plastik makanan.

"Ini untuk mu," ujar lelaki paruh baya mengulurkan tangannya memberikan Azka satu plastik makanan.

Azka tersenyum senang dengan mata yang berbinar bahagia, mengucapkan kata terima kasih, yang disambut lelaki paruh baya itu dengan anggukan dan melangkah pergi meninggalkan Azka, yang sudah terduduk di emperan, dan memulai memakan makanan nasi uduk, yang bahkan dulu tidak pernah ia sentuh.

***

Azka. Lelaki dewasa itu berjalan tegap dengan sorot mata tajam. Ketampanan dari diri lelaki itu sangat menawan bagi kaum hawa yang melihat dirinya.

Dengan setelan kemeja putih, jas hitam, dasi serta celana dasar hitam yang ia kenakan, sangat pas di tubuh lelaki itu.

Azka berjalan dengan langkah mantap, menuju lift yang akan membawa dirinya ke ruang meeting atas proyek baru yang ia jalani. Ia menginginkan tambang minyak yang berada di Kalimantan.

Lift yang hanya bisa dinaiki Azka itu telah terbuka, lelaki itu langsung menginjakkan kakinya dan mulai memencet tombol menuju lantai 47, lantai tertinggi dari cabang perusahaan yang ia tempati.

"Bismillah," ucap lelaki itu setelah sampai di depan ruangan yang telah diisi oleh para rekan bisnis yang akan bersaing mati-matian untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang