Hati Amira sangat tersentuh. Bulir bening dari pelupuk mata mulai berjatuhan. Melihat Umi, Abi, serta kedua kakaknya berkumpul seperti ini. Membuat Amira merindukan kebersamaan yang hanya dapat ia rasakan saat masa kanak-kanak.
Di mana ia berkumpul bersama keluarganya, bercanda ria, saling ejek, dan bermain bersama. Amira sangat merindukan itu semua.
Gadis itu mengembuskan napas pelan. Ia pun tidak bisa memaksakan untuk selalu berkumpul seperti ini. Sebab, pada akhirnya semua pasti akan berpisah.
... Entah itu mengejar cita-cita atau mengejar cinta sejati, tidak ada yang abadi, jikalau pun tidak mengejar kedua hal itu. Pasti tetap akan dipisahkan oleh maut.Ia juga sadar—waktu tidak akan pernah bisa diputar kembali—Kebersamaan mereka dulu tidak akan bisa terulang—satu yang bisa ia lakukan hanyalah mengingat memori indah yang terpatri di hati dan pikirannya. Hingga saat mereka berkumpul seperti saat ini, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Kak," cicit gadis itu pelan dan memeluk kedua kakaknya dengan sangat erat.
"Iya," ucap kedua kakak Amira serentak, membalas pelukan adik kecilnya.
"Kenapa masih kayak anak kecil, ya, Dev?"
"Entahlah, katanya mau dewasa."
Amira hanya diam, mendengar ucapan kedua kakaknya. Lalu ia tersenyum, untuk sekali ini saja dan pertama kalinya setelah sekian lama ia ingin menjadi anak kecil.
Perempuan itu melepaskan pelukannya, teringat keadaan sang nenek.
"Umi?" panggil Amira.
"Iya, Sayang."
"Nenek mana?"
Wanita paruh baya itu tersenyum, hingga matanya tak terlihat. "Alhamdulillah Nenek udah baik-baik aja. Sekarang di kamar lantai bawah. Alhamdulillah juga, Nenek mau Umi bawa ke sini."
Amira tersenyum bahagia, ia berjalan dengan cepat menuju lantai bawah untuk menemui seorang never ... yang selalu membela dirinya sewaktu kecil jika dijahili oleh kedua kakaknya.
Klek!
Amira membuka pintu kamar dengan sangat pelan, ia berjalan mengendap-ngendap agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan neneknya yang sedang istirahat.
Ia berjalan perlahan diikuti oleh sang umi sedangkan yang lain hanya menunggu di depan, lama Amira menatap wajah sang nenek yang sangat tenang.
Gadis itu duduk di kursi yang berada di sebelah kanan ranjang neneknya. Tanpa ia sadari air mata sudah membanjiri wajahnya, yang kian lama kian deras. "Amira sayang nenek," katanya sangat pelan hampir tak terdengar.
Ia teringat bagaimana neneknya itu begitu menyayangi dirinya. Apa pun yang ia inginkan akan dikabulkan. Seorang nenek yang selalu membela dirinya jika kedua kakaknya membuat ia menangis karena kejahilan mereka.
Seorang nenek yang akan memasang wajah garang jika ada yang menganggu dirinya. Namun, sekarang perempuan berusia tujuh puluh tahunan itu terbaring lemah tak berdaya.
"Nenek," panggilnya, meski ia tau panggilan yang ia lontarkan tidak akan di jawab.
Sang umi yang melihat hal itu tidak bisa membendung air matanya lagi, air mata itu benar-benar meluncur dengan bebas, melihat tubuh renta ibunya yang sudah lemah tak berdaya, teringat bagaimana dulu ibunya itu masih muda, perempuan yang benar-benar tangguh. Namun, sekarang menjadi perempuan yang sama sekali tak berdaya.
Kevin dan Devan pun merasakan hal yang sama, kerinduan yang membuncah pada seorang nenek. Nenek yang begitu tulus menyayangi cucunya daripada anaknya. Sedangkan, Abi menahan tangis saat melihat keadaan ibu mertua yang begitu baik pada dirinya.
Sang umi mendekat mengelus punggung putrinya. "Udah, Dek, biar Nenek istirahat dulu."
Amira memutar kepala, menghadap sang umi. "Boleh nggak, Amira tidur sama Nenek?"
"Nggak boleh, Sayang. Biar Umi yang tidur sama Nenek. Adek tidur di kamar aja, ya."
"Tapi, Umi?"
Sang umi menggeleng, tanda ia tidak ingin di bantah. Membuat Amira mengangguk pasrah.
***
Amira meregangkan tangannya, melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajah, menunaikan sholat subuh dengan uminya.
Langkah demi langkah, Amira berjalan menuju ruang salat keluarganya, dengan Umi yang sudah berada di sana. Karena Abi dan kedua kakaknya akan sholat di masjid yang tidak jauh dari rumah. Biasanya mereka berdua ikut ke masjid, tetapi hal itu tidak memungkinkan karena sang nenek masih sakit.
"Umi ...," teriak Amira pelan mendekati perempuan yang sangat ia sayangi, sedang melantunkan ayat suci Al-Quran.
"Tumben, udah siap aja. Tanpa harus Umi gedor dulu."
Amira tersenyum malu. "Lagi semangat, Umi." Amira menyengir menunjukkan deretan gigi putihnya. "Mana Nenek, Mi?'
"Nenek mau salat di kamar aja ... katanya ... sendirian."
Dahi Amira berkerut namun akhirnya ia mengangguk.
***
Azan berkumandang, Amira dan sang umi terdiam mendengarkan azan lalu mulai melaksanakan salat berjemaah.
Gerakan demi gerakan Amira resapi dengan khusyuk. Ia sangat berterima kasih kepada sang Maha Pencipta yang telah memberikannya kehidupan yang baik, keluarga yang menyayanginya, kesehatan jasmani dan rohani, serta rezeki yang berkecukupan.
Telapak tangan kedua perempuan yang berbeda usia itu menengadah. Memohon kesehatan untuk sang nenek.
Amira menyelesaikan do'anya lalu melihat uminya, yang masih berdo'a dengan air mata yang terus berderai. Membuat hatinya berdenyut. Ia sangat tidak suka melihat uminya menangis.
Saat uminya menyelesaikan do'a, Amira langsung mendekap erat tubuh wanita paruh baya yang telah melahirkannya ke dunia ini. "Umi, jangan nangis," cicit Amira pelan. "Nenek ... pasti sembuh."
Next ❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Istikharah Cinta
SpiritualJangan lupa follow ig: @Imajinasi_Ar, ya😁 Blurb Menjadi anak perempuan satu-satunya, tidak semenyenangkan yang ada dipikiran orang-orang. Terlalu dimanja. Hingga tidak bisa mandiri. Hal itu yang dialami oleh Amira. Membuat ia melarikan diri dari ru...