Bab 8

31 33 14
                                    

"Halalkanlah."

Kata-kata itu terus terngiang di pikiran Azka, di satu sisi ia ingin menghalalkan gadis yang ia sukai sejak SMA itu, tetapi di sisi lain trauma akan perceraian kedua orang tuanya masih selalu menghantui dirinya. Trauma yang terus membuat ia takut untuk hidup berumah tangga.

Azka berdiri memandangi bintang di langit dari balkon apartemennya, bintang yang selalu menerangi gelapnya malam. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati semilir angin yang berembus, membuat kulitnya merasakan kedinginan malam.

"Amira," ucapnya.

Ia terdiam, lalu tanpa ia sadar ia telah menggepalkan tangannya. Menahan amarah yang membuncah. Marah pada dirinya yang tidak bisa menghilangkan masa lalu dari pikirannya sendiri.

Berbagai cara telah ia lakukan, ke psikiater setiap minggunya bahkan mengkonsumsi obat-obatan penenang telah ia lakukan. Namun, semua hanya berhasil dalam sesaat. Trauma itu sering muncul tiba-tiba, seperti sekarang kepalanya mulai merasakan sakit.

Memori pertengkaran kedua orang tuanya itu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak, sejak kecil tidak ada canda tawa yang ia dengar. Hanya pertengkaran, pecahan kaca, caci maki, hingga perceraian kedua orang tuanya itu tiba. Membuat ia benar-benar hancur.

Ustaz Dzikri dan Ustazah Zakiyah yang membantu ia hingga saat ini. Namun, mereka tidak mengetahui trauma yang selama ini menghantui Azka.

Azka mulai menyayat tangannya sendiri, merasakan kesakitan itu secara sendirian. Hingga, pintu apartemennya terbuka. Dini telah berdiri di sana, membawa obat penenangnya.

"Azka!"

Hanya teriakan itu yang ia dengar, teriakan panik. Lalu, ia memberikan obat itu ke mulutnya dan seketika menggelap.

***

Tok! Tok! Tok!

"Dek, ayo salat."

"Iya, Umi. Sebentar."

Amira bergegas merapikan mukena yang telah ia kenakan.

Ting!

Sebuah pesan masuk, Amira hanya melirik dan mengabaikan pesan itu terlebih dari nomor yang tidak berada di kontaknya.

Ting!

Ponselnya kembali berbunyi, terlihat sebuah notifikasi yang membuat ia kebingungan. Padahal, ia tidak pernah memberikan nomor ponselnya kepada orang asing. Apakah Dini ingin mengerjainya? Atau ....

[Jangan lupa, ya. Aku ingin menemuimu besok.]

Amira mengeleng-gelengkan kepalanya.

"Itu bukan apa-apa, itu bukan dia!"

Kata-kata itu terus Amira rapalkan seperti mantra. Berharap dengan ia dengan mengatakan kata-kata itu, dapat membuat dirinya tenang.

"Dek?"

"I-iya, Umi."

Amira menarik oksigen sebanyak mungkin dan mengembuskannnya. Kakinya mulai melangkah keluar kamar. Mendapati sang umi yang sudah berdiri di sana dengan tangan yang di silangkan di dadanya.

"Maaf, yah, Umi."

Wanita paruh baya itu menggeleng dengan cepat. "Enggak mau, 'kan belum lebaran."

"Umi ...."

"Iya?"

"Au, ah."

"Iya. Umi, maafin."

Amira tersenyum bahagia dan memeluk perempuan yang telah melahirkannya ke dunia ini. "Umi, memang Umi yang terbaik sepanjang masa."

Sang umi tersenyum lembut, mengusap puncak kepala putri kecilnya itu

"Ya, sudah. Ayo salat. Keburu Isya, nanti."

Amira mengangguk mantap. "Ayo."

***

Dua jam sebelum, Azka diberikan obat penenang.

Amira!

Perempuan itu benar-benar sudah mengusik pikirannya, tetapi Azka bukanlah lelaki kurang ajar yang akan memikirkan hal yang tidak-tidak pada Amira.

Sebaliknya, ia sekarang memikirkan satu hal, bagaimana cara menghalalkan perempuan itu?

Bagi Azka seorang anak yang pernah melihat dengan kepalanya sendiri, bagaimana perceraian kedua orang tuanya, yang menyisakan pedih mendalam pada hatinya. Tidaklah semudah itu, mengambil keputusan.

Apalagi, menikah bukanlah hal yang main-main. Menikah adalah ibadah sepanjang hidup. Menikah hanya satu kali dan merupakan tanggung jawabnya untuk membuat Amira selalu bahagia.

Jika ada yang bertanya. Apakah ia
trauma? Jawabannya. Iya. Ia merasa ketakutan saat mendengar kata menikah. Ia takut kehidupan pernikahan yang ia jalani, akan berakhir sama dengan pernikahan kedua orang tuanya.

Akan tetapi, jika ia terus memendam perasaan ini. Tidak akan baik bagi dirinya maupun  perempuan itu. Memendam perasaan kepada lawan jenis, yang bukan muhrim bagi dirinya, akan menimbulkan zina hati dan pikiran pada dirinya dan menambah dosa pada perempuan itu.

Azka menghela napas pelan. Sebanyak apapun ia menepis kenangan saat 17 tahun hidupnya di dunia, Azka belum bisa melupakannya.

Masa-masa di mana ia seharusnya merayakan usia 17 tahunnya dengan bahagia, di mana saat berusia 17 tahun untuk pertama kalinya ia mendapatkan KTP dan SIM, usia 17 yang seharusnya diisi bersama teman-teman dan keluarganya.

Namun, usia 17 tahun tidak bisa ia rayakan, 17 tahun bukanlah tempat ia bisa mendapatkan hal yang membahagiakan. Usia 17 tahun adalah puncak neraka terhebat yang telah ia lalui sejak kecil.

Azka yang dulunya tidak pernah menangis. Pada usia 17 tahun ia menangis, memohon kepada kedua orang tuanya agar tidak bercerai.

Usia 17 tahun, ia melihat bagaimana Ayah dan ibunya bertengkar hebat. ayahnya yang bangkrut akibat perjudian dan mendekam di penjara dan ibunya yang menikah kembali dengan lelaki yang Azka tidak ketahui.

Azka sendirian, satu keluarga pun. Tidak ada yang mau menerimanya. Azka terjatuh sendiri, tanpa ada tangan yang menggenggam tangannya yang rapuh. Tidak ada orang yang merangkul dirinya.

Saat hari itu hati Azka benar-benar  menggelap. Sampai akhirnya, cahaya islam menerangi dirinya. Padahal, dulu Azka menganggap orang-orang yang tidak pernah pergi ke club, karaokeaan, dan bersenang-senang adalah kuno, ketinggalan zaman, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, sekarang ia telah sadar, mereka bukanlah orang yang ketinggalan zaman, orang-orang itu bisa saja melakukannya. Namun, mereka lebih menghindari dan lebih mendekatkan diri kepada sang maha pencipta yang lebih membuat hati mereka tenang.

Azka juga merasakan ketenangan itu. Namun, saat kilas balik kehidupannya itu muncul di kepalanya, ia akan merasakan sakit dan mulai menyakiti dirinya sendiri.

Next ❤❤❤

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang