Bab 7

33 34 15
                                    

"Kakak ...!" teriak seorang anak kecil berlari dari dalam rumah, sembari memeluk satu boneka Hello Kitty berwarna pink, berukuran sedang.

Azka tersenyum, tangannya ia rentangkan, memberi kode agar adiknya itu segera memeluk dirinya. "Princesnya, Kakak."

Anak kecil itu terkekeh, menatap seorang kakak laki-laki yang sangat ia sayangi. "Kok, Kakak lama banget datangnya?"

"Maafin, Kakak, ya Sayang. Tadi macet."

Anak kecil itu mengangguk, matanya melirik ke arah plastik yang berada di genggaman Azka dengan mata berbinar. Azka yang seolah mengerti pun, segera memberi makanan yang ia belikan tadinya. "Untuk Princes, kesayangan, Kakak. Ohya, mana Abi, Princes?"

Anak kecil itu turun dari pangkuan Azka, dengan tangan menunjuk ke arah pintu kamar yang berada di sebelah ruang tamu.

Azka mengangguk mantap. "Kakak tinggal sebentar, ya, Princes. Mau cari Abi."

Gadis kecil itu kembali mengangguk, perhatiannya sudah teralih pada berbagai camilan yang ada di hadapannya.

***

Langkah kaki yang dibalut sepatu kulit keluaran terbaru dari Testoni, berjalan pelan langkah demi langkah, menghampiri seseorang yang memberikan perubahan terbesar pada hidupnya.

Kedua tangannya ia taruh di saku celana hitam. Azka sudah berdiri tegap di depan sebuah kamar berpintu cokelat. Tangannya mulai mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban, mungkinkah sang Ustaz sedang salat. Azka menurunkan tangannya dan hanya berdiri menunggu sang Ustaz. Tubuhnya ia balik, menatap ke arah depan. Melihat keindahan rumah yang di cat berwarna hijau secara menyeluruh, oleh Ustazah Zakiyah yang merupakan istri dari Ustaz Dzikri.

Sekilas pikiran Azka mulai berkelana, memikirkan seorang gadis yang telah mencuri hatinya sejak lama. Yang ia temui hari ini, dua kali pertemuan dalam sehari dan perempuan itu selalu saja cemberut.

Perempuan dengan tubuh mungil, memiliki bola mata cokelat terang itu, selalu bisa membius dirinya sejak dulu. Tingkah yang lucu, cara ia berbicara, bahkan saat ia cemberut, Azka selalu menyukai gadis itu.

Sekarang perempuan itu telah tumbuh, menjadi perempuan dewasa yang sangat cantik. Perempuan yang selalu membuat dirinya hanya bisa mengaguminya dari kejauhan, padahal dulu banyak perempuan yang mendekati dirinya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat menggetarkan hatinya seperti Amira, adik kelasnya itu.

"Mira, apa kabar?" tanya Azka dalam hati.

Klik!

Pintu kamar terbuka, menampilkan lelaki paruh baya yang sudah berdiri di sana, memakai pakaian koko putih dengan wajah yang masih dibasahi oleh tetesan air wudu.

Azka menghadap sang Ustaz yang telah ia anggap sebagai Ayahnya. "Maaf, Abi. Menganggu."

Ustaz Dzikri, tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Nak. Tunggu sebentar, kita ke ruang tamu di bawah saja."

Azka mengangguk.

***

Ruang tamu yang dihiasi berbagai bunga dari kain flanel, hasil rajutan dari uminya itu selalu saja membuat dirinya merindukan ruangan ini. Ruangan yang menjadi tempat mereka bersama setelah mengaji saat salat Isya.

"Ayo, Nak. Duduk!"

"Baik, Abi."

"Ada gerangan apa ini? Tidak mungkin hanya sekadar ingin bertemu, bukan?"

Azka tertawa pelan. "Enggak, Bi, mana Umi?"

"Umi, ke rumah tetangga sebelah, mau bantu-bantu masak di sana, ada hajatan nanti sore katanya."

"Umi masih aktif saja yah, Bi?"

Ustaz Dzikri terkekeh. Memang benar istrinya itu sejak dulu. Sangat aktif dalam melakukan suatu hal dalam batas wajar dirinya. Ia selalu ke sana kemari tanpa lelah.

"Begitulah, umimu." Sang Ustaz merubah raut wajahnya. "Bagaimana Azka, ada gerangan apa? Jangan bikin Abi penasaran karena tiba-tiba seperti ini."

Azka meneguk ludah, membasahi kerongkongan yang tiba-tiba saja mengering. Lalu, mulai menceritakan semuanya dari awal, kisah tentang perempuan yang ia sukai sejak masa SMA dan pertemuan mereka hari ini. Siapa yang menyangka seorang Azka yang terkenal sangat berandalan saat SMA itu, ternyata menyimpan hati pada seorang gadis sejak lama?

"Bagaimana, Abi."

"Kamu ... yakin dengan perasaanmu?"

Azka mengangguk mantap. "Saya yakin Abi, saya menyukainya."

"Kamu tau, 'kan dalam islam, tidak ada pacaran!"

Azka kembali mengangguk.

"Maka dari itu, Halalkan dia."

Azka menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Ini yang membuat saya bingung, Abi—"

Azka memejamkan mata. "Saya belum, siap menikah."

"Kamu tau, 'kan akibat memendam perasaan terlalu lama pada lawan jenis. Bisa mengakibatkan zina nantinya?"

Azka mengangguk.

"Jangan terlalu lama, Nak. Jika telah yakin. Halalalkanlah. Buang keraguanmu. Shalat Istikharah. Minta kepada Allah untuk memberikan yang terbaik untuk dirimu."

"Baik, Abi."

"Abi tunggu keputusanmu secepatnya, untuk segera melamar atau tidak perempuan itu. Abi juga tidak sabar untuk menimang cucu."

Azka tertawa pelan. "Iya, Bi. Lagipula. Azka masih sangat muda. Masih berumur 24 tahun, sedangkan perempuan itu masih 21 tahun. Dia adik kelas Azka sewaktu masa SMA, Abi."

"Benarkah? Selama itukah, kamu menyukai perempuan itu?"

Azka tersenyum, hingga pupil matanya hampir tidak terlihat. "Iya, Abi."

***

Amira yang telah mengenakan piyama hello kitty kesukaannya, duduk di depan cermin. Memikirkan Dini, sang mantan sahabat yang terus saja berulah.

Memikirkannya saja membuat Amira menahan tangis, persahabatan mereka sangat erat, ia hanya mempunyai Dini yang bersahabat tulus dengan dirinya, tetapi semua hancur seketika karena keteledoran yang ia lakukan.

Amira memejamkan mata, mengingat memori yang membuat persahabatan mereka tidak bisa kembali lagi.

Amira yang masih berusia 17 tahun, berlari sekuat tenaga, napasnya yang sudah terengah-engah tidak ia hiraukan. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar ia bisa segera sampai ke cafe yang ia dan Dini janji, 'kan.

Amira menghampiri meja, yang sudah tidak berpenghuni lagi, ia mengedarkan pandangannya mencari Dini. Namun, nihil. Ia merogoh saku rok yang ia kenakan, mengambil benda persegi panjang yang ternyata ada pesan dari Dini di sana.

[Terima kasih, cukup sampai di sini! Kita bukan sahabat lagi, gue benci sama lo!]

Saat itu, tangis Amira pecah ia terus membujuk Dini, tetapi Dini seolah tidak mendengar dan memilih membully dirinya hingga saat ini.

Jika mengingat sekilas memori itu membuat ia berpikir, ia tau ia salah karena tidak datang tepat waktu, bahkan sahabatnya itu telah menunggu hingga delapan jam lamanya. Ia terlambat juga bukan tanpa sebab.

Amira terdiam ia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Menangisi semuanya. "Maafin gue, Din."

Next❤❤❤

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang