Suara isakan masih terdengar oleh telingaku. Para pelayat dapat menatapku iba. Baru rasanya kemarin kita mengikrarkan janji suci di atas altar. Dan sekarang kamu malah meninggalkanku.
Aku selalu berharap dapat bahagia meski sejenak saja. Tapi, entah mengapa hatiku tidak ingin merasakannya. Ia telah mengeras, menjadi batu karang. Butuh ombak besar yang menghancurkannya. Tapi, apa kau tahu? Sekarang aku mendapat sebuah kebahagiaan. Dari seseorang yang ku panggil suamiku. Namun, takdir sekali lagi bermain denganku.
Flashback~
Tiga bulan lalu semua masih baik-baik saja. Kami berdua tertawa dan tersenyum bersama di atas altar. Semua orang mengucapkan selamat, berfoto bersama, dan memberi hadiah pernikahan. Ya, tiga bulan lalu aku dan 'dia', suamiku menikah. Mengikat janji dan cinta kami dalam hubungan rumah tangga.
Kami dulunya adalah teman sekelas yang suka berkelahi. Kami tidak pernah akur. Bahkan satu sekolah dulu tahu itu. Tapi, setiap salah satu dari kami tidak berangkat ke sekolah pasti akan mampir ke rumah untuk memastikan keadaan satu sama lain. Bahkan karena hal itu satu sekolah selalu menjodohkan kami. Aku selalu mengelak begitupula dengan dia.
Ketika hari kelulusan, dia mendatangiku dan menarik ku ke atas podium. Dia melamar ku dihadapan semua alumni.
"Mungkin ini sangat mengejutkan bagimu, begitu juga dengan diriku. Aku tahu jika aku belum mapan. Aku tidak seperti laki-laki yang menjadi kriteria mu. Tapi yakinlah, bahwa aku akan senantiasa mencintaimu dan memenuhi kebutuhan mu. Untuk saat ini, mari kita saling mengikat dalam tali pertunangan ini.
Aku belum siap menikah dan begitu dirimu. Aku belum mapan, dan aku ingin seseorang menemani dan menyemangati ku. Dan orang yang aku mau itu dirimu", ucapnya sambil membuka kota berwarna merah. Isinya membuatku dan orang-orang yang ada disana juga terkejut.
"Mau kah dirimu menjadi istri dan ibu dari anak-anakku. Menjadi separuh jiwaku, menjadi pelengkap imanku, dan menjadi bidadari surga ku?", Tanyanya.
Aku hanya bisa terkejut, dan ku lihat orang tua ku. Mata mereka seakan berkata 'semua tergantung keputusanmu nan'. Dan sekali lagi aku melihat kearahnya. Jika boleh jujur, sebenarnya aku juga memiliki rasa yang sama dengannya.
"Aku mau", ucapku saat itu. Dia langsung tersenyum dan menyematkan cincin di jari manis ku.
Empat tahun menjalin hubungan LDR tidak menyurutkan cinta kami. Meski melakukan hubungan jarak jauh kami masih saling berkomunikasi dan terkadang kami juga bertengkar. Bukankah hubungan yang baik pasti akan ada pertengkaran kecil? Jadi, hal itu wajar bagi kami yang hampir setiap hari bertengkar dulu. Saat mengingat hal itu selalu membuatku tersenyum dan tertawa.
Lalu, saat hari wisuda ku. Dia bilang jika tidak bisa datang. Aku cukup sedih mendengar itu. Padahal orang tua ku dan orang tuanya bisa menghadiri wisudaku.
Saat aku menaiki podium, tiba-tiba pembawa baki menaruh bakinya di salah satu meja dan menghampiriku. Saat ia membuka topi toga yang dipakai terkejut sekali diriku. Ia adalah tunanganku. Kekasihku yang bilang tidak bisa datang.
"Terkejut?", Tanyanya. Aku hanya bisa terkejut melihatnya ada disini. 'Bagaimana bisa dia sendiri yang bilang jika tidak bisa datang tapi ia malah ada disini???', Itu yang aku pikirkan.
"Maaf membohongi mu. Aku melakukan ini supaya lebih spesial untuk mu", ucapnya. Lalu ia berjongkok dan meraih tanganku.
"Sudah empat tahun, aku sekarang sudah memiliki penghasilan. Mungkin memang ini belum cukup mapan, tapi aku akan bekerja keras untukmu dan keluarga kita. Mau kah dirimu menikah denganku?", Tanyanya.
Semua yang melihat langsung menyoraki kami atau lebih tepatnya aku untuk menerimanya. Aku tersenyum dan dengan mata berkaca-kaca mengangguk sambil memeluknya. Dia yang masih berjongkok hampir saja terjungkal ke belakang karena tidak siap menerima pelukanku.
Flashback end
Saat yang benar-benar bahagia bagiku. Aku menemukan kebahagiaanku. Tapi, saat ini tepat tiga bulan setelah pernikahan kami. 'Dia', pergi meninggalkan ku dengan nyawa lain di dalam perutku.
Duniaku hancur, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Air mataku sudah menjadi kering karena selalu menangis. Ibu dan Mama memelukku sambil membisikkan kata-kata penenang. Mereka bilang jika kau tidak akan kembali lagi. Mereka memintaku untuk mengiklaskan mu. Mereka memintaku untuk tidak menyiksa diri sendiri dan nyawa lain di perutku.
Aku bukannya tak bisa mengiklaskan mu. Tapi, semua itu butuh waktu. Apalagi ada nyawa lain yang ku bawa. Nyawa yang ketika besar akan dengan bangga mengatakan kepada semua orang, bahwa ayahnya seorang pahlawan yang hebat.
Aku harus kuat untuk menjalani hari tanpa kehadiranmu. Terimakasih, karena telah memberiku kenangan yang indah dan penuh dengan kebahagiaan. Terimakasih, telah memberiku sesuatu yang berharga. Aku akan menjaganya, aku berjanji...
Uwh, agak maksa ngga sih ceritanya. Kepala aku lagi pusing mikirin gimana ngelanjutin cerita ini sama cerita sebelah yang baru satu part.😂
Ehm, jangan lupa krisar dan vote ya. Terima kasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Singkat
Short Story"Biarkan secangkir teh menjadi pelepas letih. Biarkan secarik kertas menjadi saksi pedih" Hanya sebuah kisah yang terlintas diselang waktu yang begitu sibuk dihimpit tuntutan hidup. Coba saja untuk membacanya dahulu. Mungkin kamu akan tertarik denga...