Aku tidak tahu sejak kapan melakukannya. Yang aku tahu, sebelum melakukannya aku membaca cerita yang berhubungan dengannya. Karena penasaran aku mulai mencari tahu tentang itu.
Dalam kisah itu si tokoh utama melakukan kekerasan. Hal ini dipicu oleh emosi yang meluap-luap. Kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan rasa putus asa yang berlebih.
Saat itu, yang ku pikirkan. 'Apa dengan melakukan kekerasan dapat melampiaskan emosi?'. Aku sempat bimbang dan berpikir itu hanya dilakulan pada orang yang memiliki gangguan. Tapi, entah mengaka aku tetap mencobanya.
Namaku Cris, usiaku 16 tahun dan aku bersekolah di SMA Puspa Harapan. Aku murid biasa. Tidak terlalu bersinar, dan juga tidak terlalu tenggelam.
Sejak kecil aku sudah ditinggal orang tua ku bekerja. Mereka akan pulang larut, dan langsung beristirahat. Awalnya, semua baik-baik saja saat kakek ku masih hidup. Tapi, semua berubah saat dia meninggal. Aku yang dulu memiliki teman saat di rumah, sekarang teman itu telah pergi. Aku hanya bisa mengingat kenangan ku bersama kakek.
Semakin berjalannya waktu, kesepian terus menerpaku. Disaat kesepian hampir menenggelamkan diriku sepenuhnya. Orang tua ku menarik diriku darinya dengan kabar bahwa aku akan memiliki seorang adik. Kupikir itu akan baik-baik saja. Tapi, sebagai kakak yang masih kecil dan labil itu sangat sulit. Kadang aku berbicara keras padanya. Menolak segala keinginannya, meski setelahnya aku akan melaksanakannya.
Aku berpikir jika aku sudah melakukan semua dengan baik. Tapi, aku salah. Semua hal yang aku lakukan, selalu dianggap salah. Aku pernah dimarahi karena menolak keinginan adikku.
Seingatku, saat itu aku baru saja pulang sekolah dengan keadaan lelah. Adikku memintaku membuatkan makanan. Padahal dia sudah bisa membuatnya sendiri. Aku awalnya menolaknya, tapi melihat dia menangis aku tidak tega dan berujung dengan membuatkannya. Sebelum aku membuatkan makanan itu, adikku pergi ke rumah bibiku.
Setelah makanan itu jadi aku segera ke kamar untuk berganti baju. Tapi, hal yang tidak aki sangka terjadi. Pintu rumah dibuka dengan keras lalu.
"Kamu jadi kakak tidak becus, tidak bisa menjaga adik, cuma bisa membuatnya menangis. Kamu pikir kami yang di rumah tidak cape apa? Sudah jaga adik kamu sekarang kamu cuma disuruh buatin makanan engga mau?," ucap bibiku dengan suara yang keras.
"Udah aku buatin, itu diatas kulkas. Nanti biar aku suapi" jawabku.
"Engga usah! Senang-senang aja kamu sendiri," ucap bibiku dan menutup pintu rumah dengan keras.
Aku hanya bisa menangis. Apa yang bisa dilakukan anak seumuran ku saat itu selain menangis dan manahannya.
Begitulah kehidupan masa kecilku, jika membuat adikku menangis aku akan dimarahi.
Suatu hari orang tua ku bertengkar. Aku tidak tahu apa akar permasalahannya. Tapi, dengan sesuka hatinya. Bibi ku menyalahkanku dan menuduh diriku menjadi penyebab pertengkaran mereka.
"Kamu tuh penyebab ibumu dimarahi ayahmu. Uang terus yang kamu minta," ucapnya dengan menantapku tajam.
Aku hanya bisa diam dan memendam semua dalam hati. Memendam rasa sakit. Aku tidak akan meminta uang jika bukan untuk tugas sekolah. Aku bahkan tidak pernah beli makanan apapun saat di rumah. Aku hanya punya uang saku untukku berangkan dan pulang saat sekolah, dan aku gunakan untuk keperluan di sekolah. Apa aku salah?
Aku lelah. Kedua orang tua ku hanya bisa berjanji padaku. Tapi, mereka tidak bisa menepatinya. Jika hanya ingin memicu semangatku, mereka tidak perlu berjanji. Mereka tidak perlu melakukannya. Itu hanya akan menyakiti ku.
Semua berlalu seperti itu. Aku selalu tersenyum dan memendam semuanya dalam hati. Aku memendam rasa sakit. Rasa kecewa. Rasa lelah. Dan semua rasa lainnya.
Hingga saat ini, saat di mana aku sudah memasuki masa SMA ku. Aku membaca tentangnya. Kekerasan yang dapat meredakan emosi. Aku awalnya cukup ragu untuk melakukannya. Dan berpikir aku tidak akan melakukannya.
Tapi, dihari itu. Semua tugas ku menumpuk. Di rumah sedang ada sebuah masalah. Dan akar masalah itu adalah uang. Aku baru saja keluar dari gerbang sekolahku beberapa menit. Dan, tiba-tiba keinginan tidak ingin pulang datang. Tapi, aku harus tetap pulang bukan?
Sesampainya di rumah, semua sepi. Orang tua ku belum pulang. Adik ku masih di rumah bibi. 'Rumah ku saat ini hanya sebatas rumah. Bukan tempat pulang yang aku harapkan,' ucapku dalam hati.
Keadaan malam itu sangat dingin. Bukan hanya di luar, melakinkan juga di dalam rumahku. Perang dingin sedang terjadi di sana.
Tengah malam aku masih membuka mataku. Tidak bisa tidur, dan semua masalah yang terjadi mulai menghantui diriku. Aku benar-benar putus asa. Aku merasa tidak berguna. Aku yang salah. Aku yang pantas untuk disalahkan.
Jika seandainya aku bekerja. Jika seandainya aku menolak keinginan orang tua ku untuk melanjutkan sekolah. Jika seandainya aku tidak bodoh. Jika seandainya aku tidak pemalu. Jika seandainya aku. Jika seandainya aku. Dan jika seandainya aku yang lain.
Malam itu ku putuskan untuk melakukannya. Ku ambil sebuah penggaris besi di dekatku. Ku singkap lengan bajuku. Ku arahkan ujung penggaris itu di lenganku. Mulai ku goreskan pelahan. Ku tutup mataku dan merapalkan setiap kesalahan yang ku lakukan. Ku nikmati setiap rasa sakitnya. Perih, sakit, dan rasa lega menjadi satu. Malam itu menjadi saksi bisu atas kegiatanku.
Sejak saat itu. Aku mulai melakukan hal yang sama ketika emosi dalam diriku berlebih. Hal itu aku gunakan untuk menenangkan hatiku. Rasa perih yang aku rasakan, akan berakhir dengan rasa lega. Seakan semua masalah yang berada di pundak ku menghilang. Karena, tebusan dari rasa bersalah telah aku lakukan pada setiap goresan di lenganku.
Sejak saat itu pula. Baik di luar atau pun di dalam rumah. Aku selalu memakai baju lengan panjang untuk menutupi lukaku. Luka di lengan, yang berekspresi karena luka di hati.
Aku tidak menyesal. Yang aku sesali, kenapa tidak dari dulu aku melakukannya. Sebenarnya, aku sudah dari dulu ingin melakukan percobaan bunuh diri. Tapi ada saja hal yang mengagalkanku. Bukan rasa takut untuk mati. Hanya rasa takut membayangkan seberapa hancurnya hati orang tuaku nanti.
Aku selalu memikirkan perasaan mereka. Tapi, apa mereka juga melakukan hal yang sama?
End
Hai semua. Maaf ya jarang update. Mungkin, akhir-akhir ini bakal sering update. Mohon dukungannya dengan vote dan krisarnya. Terima kasih....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Singkat
Short Story"Biarkan secangkir teh menjadi pelepas letih. Biarkan secarik kertas menjadi saksi pedih" Hanya sebuah kisah yang terlintas diselang waktu yang begitu sibuk dihimpit tuntutan hidup. Coba saja untuk membacanya dahulu. Mungkin kamu akan tertarik denga...