6. Bad boy

336 71 11
                                    

Assalamu'alaikum gais.. Masih stay gaknih.. Maaf ya lama.. Mulai sekarang up tiap minggu yaa..

Warning⚠  harsh words!

[Dilarang keras untuk meniru adegan yang terdapat dalam cerita!]

Happy Reading!

Lyodra menggebrak meja, semakin membuat seluruh atensi teralih padanya. Dia berdiri, menghela napas dalam sebelum mendongak, menatap langsung pada dua manik kecoklatan si pemuda.

Jika semua orang kira dia akan mengalah begitu saja. Maka itu salah besar! Lyodra tak pernah suka jika haknya di rebut paksa!

"Itu tempat duduk Lyora! Kamu jangan seenaknya!"

Sebenarnya dia takut. Namun, dari kemarin pemuda ini terus saja berbuat semaunya, membanting mangkuk dan dengan sengaja melindas genangan air agar dirinya kotor. Lyodra tak tahu dimana letak kesalahannya. Jika masalah kuah soto itu, bukankah dirinya sudah meminta maaf?

Sementara si pemuda hanya menatap datar dengan satu alis terangkat.

"Dan mulai sekarang ini jadi tempat duduk gua," katanya, mengkalim tempat duduk yang di perebutkan itu.

"Jangan seenaknya mengambil hak orang, Kamu nggak pernah di ajari itu sama orang tua kamu, ya?"

Lyodra bisa melihat kilatan amarah dalam manik pemuda itu. Dia sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk seperti akan di tampar atau apapun itu, tetapi si pemuda justru hanya diam.

"Gua nggak peduli."

"Ka, biarin aja kenapa si. Cuma tempat duduk butut doang, ribet lo pada," sela temannya. Xavier.

"Terserah," balasnya malas dan mulai duduk.

Namun, bukannya duduk di kursi, pemuda itu justru tersungkur ke lantai. Lantaran Lyodra tarik dengan paksa hingga ia terjatuh. Semua orang melotot, sedikit menahan tawa.

Sementara pemuda itu menggeram marah, tapi tak bisa berkata apapun saking terkejutnya. Sebelumnya tidak pernah ada yang berani menentang dirinya. Tidak ada yang pernah menentang Alaska Gyanendra sampai di buat malu sampai dua kali.

Tidak sejak hari itu.

Lyodra memeluk tasnya dan duduk di tempat yang sudah Alaska klaim. "Lyora tetap duduk di sini!" katanya berapi-api, meski sedikit bergetar karena sadar telah menjerumuskan diri sendiri ke kandang singa.

Alaska berdiri, mengambil tasnya di lantai, tepat di samping Lyodra. Tangan Alaska bertumpu pada kursinya, terlihat gemeteran, atau memang hanya perasaannya saja, mata mereka saling menatap. Alaska meniup wajah Lyodra tiba-tiba hingga bulu kuduk gadis itu berdiri.

"Om Levi, tolongin Lyoraaa!" jeritnya dalam hati.

Sementara Levi yang sedang memerhatikan dosen pun tiba-tiba bersin, bulu-bulunya meremang. "Angker nih kampus," gumamnya seram.

"Kenapa Levi, ada yang ingin kamu tanyakan?"

Levi kembali pada kesadarannya, ia menggaruk samar pipinya. "Tidak, Pak."

"Kalau tidak ada, diam, kamu bergumam tidak jelas sedari tadi. Cukup hidup kamu aja yang tidak jelas. "

Levi membuat raut wajah protes, kenapa sensi sekali sih? Padahal ia hanya satu kali bersin dan bergumam, tidak seperti yang lainnya, sibuk mengobrol.

Dosen itu membenarkan letak kacamatanya—yang sebenarnya tidak berganti posisi sama sekali. "Kenapa wajah kamu protes begitu?"

Levi lupa jika dosen yang satu ini handal dalam membaca ekpresi atau raut wajah seseorang.

HETEROCHROMIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang