9. Rain

285 67 12
                                    


Assalamu'alaikum! Balik lagi nih, moga aja bisa tiap hari ya.

Oiya, roi up cerita baru. Yuk cek, jangan lupa voment ya. Jan diem diem bae Awokwok.

Warning⚠ harshword!

Happy Reading!


Membully itu, bagi Scarlett adalah kesenangan. Entah dari mana pemikiran itu Scarlett dapatkan, tetapi sejak beberapa tahun lalu, membully seolah menjadi kegiatan yang tak boleh ia lewatkan, dan tak bisa dipisahkan. Bahkan sudah ada belasan siswa yang pindah sekolah sebab tak tahan lagi dengan bullying yang Scarlett lakukan.

Menyandang gelar sebagai putri Kepala Sekolah membuatnya semakin besar kepala, merasa sok berkuasa, berfikir bahwa tidak akan ada yang berani menentangnya membuat Scarlett semakin gencar menjahili mereka yang sudah menjadi targetnya.

Beberapa kali Scarlett telah diberikan surat pelanggaran dari sekolah, beberapa kali pula Ayahnya menceramahi Scarlett agar jangan lagi membully mereka yang masuk ke sekolah karena beasiswa dan mempermalukan citranya sebagai kepala sekolah. Bahkan pernah diskrosing hingga satu minggu lamanya.

Namun agaknya, semua peringatan itu hanya angin lalu bagi Scarlett. Tak ada satupun yang gadis itu indahkan, seakan tak peduli jika karma bisa datang kapan saja.

Pun, Faye dan Laura, bahkan Alaska sudah memperingatkan Scarlett. Namun, lambat-laun mereka pun termakan omongan Scarlett juga. Ikut-ikutan menjahili beberapa murid hingga akhirnya menjadi kesenangan yang terus berlanjut.

Pengecualian untuk Laura dan Alaska, sebelum akhirnya Lyodra datang, menyulut emosi tersendiri bagi pemuda itu.

"Gue nggak nyangka seorang Alaska jilat ludahnya sendiri," ujar Xavier dengan wajah tenangnya seperti biasa. Ia mengambil satu stik pocky dari tangan Faye.

Alaska melirik. "Maksud lo?"

Xavier mendengus. "Lo paling gak suka bully orang, bahkan lo selalu marah waktu Scarlett bully anak beasiswa, tapi sekarang?"

"Bukan urusan lo." Alaska mendengus.

Xavier terkekeh, tak lama raut wajahnya berubah datar. "Nggak semua mata beda warna itu sebuah kutukan."

Cengkraman Alaska pada ponsel mengerat, menghela napas berkali-kali. Mencoba meredam emosinya. "Gue tekanin, ini bukan urusan lo," tegas Alaska tanpa mengindahkan tatapan dari layar ponsel.

Para gadis yang merasakan atmosfer tidak mengenakan ini saling melirik. Setelah beberapa tahun, baru kali ini Alaska dan Xavier kembali berkomunikasi dalam kurun percakapan yang cukup panjang meskipun dengan nada sinis.

"Alaska berhak marah untuk kejadian dikantin waktu itu, Xav." Scarlett menginterupsi. "Si mata anjing itu udah permalukan Alaska, kalau itu terjadi sama lo, mungkin lo juga akan dendam."

Xavier tertawa, beranjak dari sana. Ruangan khusus mereka yang Scarlett minta pada Ayahnya. Sebenarnya, mereka belum pulang sekolah sejak Alaska menarik Scarlett saat pemuda itu menyiram Lyodra tadi.

"Gue nggak mungkin dendam karena hal sepele kayak gitu. Baperan lo pada, cih, mental tempe!"

"Alaska!"

Tanpa aba-aba, Alaska menarik kerah keragam Xavier dengan kuat. Mendorongnya hingga punggung pemuda itu menyentuh tembok. Mata Alaska menajam, penuh emosi yang tercampur dalam tatapannya.

HETEROCHROMIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang