Sepotong masa lalu dan penyelesaian

76 6 0
                                    

Separuh purnama mengintip di balik tembok kastil L'Ametlla, sinarnya lembut mengenai bangunan tua peninggalan abad ke-11. Udara terasa hangat, barisan bintang abstrak memenuhi langit malam, sekumpulan serangga di balik rumput bersenandung apik, pun juga sepasang burung hantu yang sejak tadi menikmati cahaya bulan di tepi jendela kastil, saling bersahutan membunyikan suara 'Hoo' seolah tidak mau ketinggalan menyaksikan purnama dengan diameter berkali lipat dari biasanya.

Marc dan Vinca saling beradu tatap, satu mencengkeram tengkuk kepala, satu lagi kerah baju, persis seperti musuh bebuyutan yang lama tidak bertemu. Tembok kokoh berbahan dasar batu bata kuno yang disusun melingkar tak bisa berbuat banyak menyaksikan pertengkaran sepasang kekasih itu. Jika pun memungkinkan, bisa saja ia memberi petuah mengenai nasib hubungan mereka. Tembok tetaplah tembok, ia hanya benda mati yang merekam kejadian demi kejadian di tempat ini. Sejak bangunan didirikan, menjadi kebanggaan, hingga berusaha dirusak atas nama kekuasaan. Ia akan tetap bisu dan tuli pada apa saja yang dilihat.

Wajah Marc memerah, tangannya bergetar hebat memegangi tengkuk kepala Vinca. Begitu juga Vinca, matanya kebas, ingin sekali rasanya menangis, namun urung karena tidak ingin dianggap lemah di hadapan Marc.

Suara desahan Marc terdengar dalam, cengkeraman tangannya di tengkuk Vinca mengendur, kakinya mundur teratur beberapa senti ke belakang, Marc sadar dirinya keliru mengambil sikap.

Vinca memanfaatkan momen itu dengan berbalik arah membelakangi Marc. Ujung matanya yang berair diusapnya segera. Menyisakan sedikit isak yang berusaha ia tahan hingga membuat tubuhnya gemetar.

Siapa Laia, Marc?

Bertaruh seratus euro, isi kepala Vinca pasti dipenuhi pertanyaan tentang sosok Laia. Marc mudah saja menebak. Sebagai calon Psikolog, Vinca memiliki rasa ingin tahu besar terhadap banyak hal. Ini bisa dilihat dari berjibunnya buku-buku dan tumpukan kertas yang ia sebut jurnal, yang setiap kembali ke rumah selalu ia sertakan dalam kopernya. Marc sering kali menjadi kelinci percobaan Vinca. Mengisi angket, kuesioner, menjawab berbagai pertanyaan aneh seperti peran kesehatan mental bagi remaja yang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaannya sebagai riders MotoGP.

"Pulanglah Marc, aku ingin sendiri!"

Marc menatap Vinca yang memunggunginya. Menghela nafas. "Kau yakin seorang diri di tempat ini? Selarut ini?"

Vinca bergeming. Masih di posisi membelakangi Marc.

"Aku bisa kena marah Mama jika tidak berhasil membawamu pulang!"

Vinca membalikkan badan. Menatap Marc sebentar lalu menunduk.

"Kita bisa selesaikan masalah ini di rumah. Ayolah, jangan memaksaku berbuat kasar!"

Vinca bersedekap. Mendongak menatap langit malam. Ia tahu air matanya akan tumpah ruah jika terus menunduk.

Marc yang geregetan memberanikan diri mendekati Vinca. " Cukup sudah! Ayo pulang sebelum aku..."

Belum sepenuhnya isi kepala Marc diutarakan, Vinca berseru lantang hingga sepasang burung hantu di jendela kastil terbang berpencar.


"Biarkan aku sendiri, Marc!!!"

Marc hendak bicara lagi, namun tatapan redup Vinca mengurungkan niatnya. Ia menunduk selama semenit. Memilih mengalah dari pada terus-terusan menyakiti hati gadis itu.

Sejak Vinca memutuskan pindah ke asrama demi fokus kuliah, Marc jadi satu-satunya penghuni rumah yang menolak keputusan itu. Ia tidak ingin keputusan Vinca meninggalkan rumah semakin memperlebar jarak mereka. Marc tidak mempunya banyak waktu bersama Vinca. Ia punya kesibukan baru sejak memulai debut di MotoGP. Waktunya, tenaganya, konsistensinya, banyak tersita di lintasan balap. Dan untuk urusan asmaranya, bagaimana Marc dan Vinca bisa kompak jika masing-masing dari mereka teramat ambisius dan egoistis?

Marc gagal menjalin hubungan di usia remaja, dan justru terjebak Companionate love atau cinta persahabatan. Vinca yang ia harap dikemudian hari menjadi orang spesial di hatinya nyatanya sekedar bayangan semu. Marc tidak benar-benar ada di hati Vinca. Gadis itu menutupnya rapat. Entah untuk alasan apa, Marc seakan diterima sekedar teman mengobrol dan berkeluh-kesah. Vinca pulang ke rumah sebulan sekali. Bahkan mungkin dua bulan. Saat itu pun Marc tengah disibukkan jadwal padat balapan MotoGP lintas negara. Mereka hanya bertukar kabar lewat chatting. Itu pun jarang. Ketika di rumah Vinca masih sibuk mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Marc memanfaatkan jeda balap untuk berlatih Motocross untuk pemulihan fisik. Vinca berangkat pagi-pagi sekali menumpang kereta menuju asrama. Marc sebelum sinar matahari pertama menembus jendela kaca sudah lebih dulu berlari kencang menapaki jalanan berbatu melatih otot-otot kakinya agar semakin kuat.

Semenit dalam kelengangan. Marc akhirnya menyerah. Memutuskan meninggalkan Vinca di pekarangan kastil, sendirian, ditemani bulan dengan diameter raksasa, juga suara serangga di balik rumput.

***

Bermandikan keringat dan bau maskulin menyengat, tubuh Vinca terperangkap dalam dekapan peraih juara dunia MotoGP delapan kali dengan nomor motor sembilan puluh tiga.

"Aku mencintaimu, Vinc. Sangat."

Ini kali kedua Marc menceracau dalam dekapannya. Pertama, ketika mabuk payah saat menenggak wine Singaraja. Kedua, tanpa tahu sebabnya apa, Marc kembali menceracau mengatakan ia mencintai Vinca dengan luapan emosi sangat kacau.

Vinca mengelus tengkuk kepala Marc, menjalar hingga pundak, dan bahunya. Lantas melepaskan pelukan Marc pelan-pelan. Menatapnya dalam.

"Marc dengarkan aku." Intonasi suara Vinca mendadak berubah. Menatap Lamat wajah Marc. Marc yang sebelumnya tertunduk tidak berani menatap Vinca akhirnya mendongakkan kepala.

"Aku tahu kenapa Dokter Vitc sampai sejauh ini mengajakmu pergi. Cedera matamu hanya alasan kesekian untuk melakukan perawatan. Kau punya masalah serius. Jiwamu. Aku tidak mengatakan kau memiliki kelainan jiwa. Tapi ini ada kaitannya dengan kesehatan mental yang bermasalah."

"Urusan matamu tidak seintensif yang kupikirkan. Kau masih bisa berjalan normal tanpa perlu dipapah. Bahkan masih bisa joging ke bukit tanpa kaca mata hitam. Ada yang salah dengan jiwamu. Mentalmu. Ini memang terlihat sepele, tapi dampaknya sangat besar. Kapan terakhir kali kau mengunjungi psikolog, Marc?"

Mata Marc mengerjap. Mengingat kapan dirinya mengunjungi psikolog untuk berkonsultasi.

"Apa kau pernah berkonsultasi mengenai tremormu?"

Marc berdehem. Memalingkan wajah. Tidak. Selama ini ia selalu melewatkan sesi konsultasi dengan psikolog. Marc menganggap kondisinya baik-baik saja. Selama gelaran balap berjalan lancar dan bisa mengatasi cedera fisik dengan melakukan terapi, Marc merasa tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.

Vinca mendesah. Gestur Marc menjawab segalanya.

"Dokter Vitc punya alasan membawamu kemari. Ia ingin 'memberi ruang' agar jiwamu bisa beristirahat. Marc, beberapa pekan belakangan analisisku menunjukkan kesehatan mentalmu sedang tidak baik-baik saja. Kau sering panik. Emosimu kadang meledak-ledak. Dan tremor itu. Itu adalah efek dari serangan panik yang sudah lama kau tutup rapat-rapat."

"Aku tahu kau sangat ambisius soal balapan. Kau ingin menjadi yang terbaik. Selalu terbaik. Tanpa cacat. Paling sempurna. Tapi semua orang punya masanya. Semakin kau ingin menjadi yang terbaik, semakin keras juga otakmu memerintah fisik dan jiwamu untuk bekerja ekstra. Yeah, aku tahu fisikmu diatas manusia rata-rata. Lantas apakah jiwamu juga demikian? Tidak. Tidak jika kau masih gemar menyimpan emosi itu sendirian."

"Kau perlu membaginya. Kau bisa cerita ke Alex, Uncle bahkan Auntie. Kau masih punya keluarga yang lengkap. Jika kau merasa hasil balapmu kurang bagus, akui saja. Tidak usah berdalih kau lemah, payah, tidak berguna, semakin pikiran-pikiran itu masuk ke alam bawah sadarmu, semakin mudah serangan panik, tremor dan emosi yang meledak itu menyerang dirimu."

Kedua tangan Vinca beralih memegang pipi Marc. Masih menatap lamat.

"Satu lagi, aku masih mencintaimu seperti dulu. Tidak berubah. Marc, kau adalah orang spesial yang hadir di hidupku. Kau sahabat, keluarga bahkan musuh bebuyutan. Mungkin dulu kita pernah bertengkar hebat dan itu melukai hatimu. Sampai sekarang pun kau masih mengingatnya, kan? Perasaan-perasaan bersalah yang terus menghantui. Salah satunya meninggalkan gadis remaja malam hari sendirian di depan kastil tua? Baiklah, mari kita berdamai saja. Aku anggap kedatanganmu kesini adalah cara Tuhan menyelesaikan permasalahan kita. Kita sudah terlalu dewasa mengingat kisah cinta masa remaja. Bahkan jika dipikir-pikir untuk apa dulu kita melakukannya. Bertengkar. Dasar bodoh!"

Marc terkekeh ringan. Menyeka ujung matanya yang berair. Tidak selayaknya pria menangis di hadapan wanita.

"Menangislah, tidak apa-apa. Sebagai manusia biasa kau juga berhak menangis!"

Marc membenamkan kepala di pundak Vinca. Menangis dalam hening. Membiarkan semua emosinya tercurah di pundak gadis itu.

"Kami akan membantumu pulih. Aku yakin suatu hari nanti kau akan kembali ke lintasan balap dengan fisik prima dan mental yang sehat. Berjanjilah padaku, berjanji kau mau bersungguh-sungguh menjalani perawatan."

Marc mengangguk. Masih membenamkan kepala di pundak Vinca.

"Terima kasih kau sudah memaafkan ku."

Vinca tersenyum. Mendongakkan kepala menatap langit-langit ruang. Perdamaian ini adalah lembar baru dari kisah mereka. Sebuah usaha mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu.

.
.
.
Bersambung


ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang