Kalau saja Marc sedang dalam kondisi terbaik, mungkin dia tidak akan melewatkan sensasi menikmati keindahan panorama alam di sekitar paviliun Vinca. Hanya berjarak 300 meter dari paviliun, mereka disuguhi keindahan pantai Jimbaran yang sudah terkenal hingga mancanegara. Belum lagi dengan suguhan pemandangan lain seperti gundukan sawah yang menyerupai anak tangga, tempat ibadah bagi penduduk setempat juga pusat oleh-oleh murah meriah.
Sepertinya emosi Vinca lebih terkendali dibanding beberapa jam lalu, walaupun dari raut wajahnya masih terlihat ada rasa tidak suka dengan kehadiran Marc. Bukan Marc namanya kalau tidak bisa membuat Vinca tertawa terpingkal. Menghabiskan masa kecil dengan Vinca membuatnya mengingat banyak hal yang disukai wanita itu.
“Vinc kau masih ingat tarian muiñeir?” tanya Marc.
Vinca menatap malas, tarian muiñeir? Ya dia ingat tarian itu. Marc pernah menunjukkan tarian tersebut saat mereka masih remaja.
Marc mengambil posisi berdiri, siap menunjukkan tarian pada Vinca.
“Minggir! Aku mau menyiapkan makan siang,” sergah Vinca.
Marc mengangkat tangan ke atas kepala, “hey Vinc, aku bahkan belum memulai tariannya.”
“Aku sibuk Marc. Ini bukan tempat hiburan, bukankah kau sendiri yang bilang ingin mencari ketenangan? Jangan memancing emosiku selama kau berada disini!” ucap Vinca penuh penekanan khususnya pada kata “disini”.
Tidak ingin membuat Vinca semakin marah Marc segera menyingkir saat wanita itu bergegas menuju dapur.
“Ternyata kau memang sudah berubah Vinc,” gumam Marc seraya menghela napas lemah.
Dibalik rambut cokelat tergerainya, Vinca tersenyum simpul melihat ulah Marc yang tidak ada ubahnya seperti sepuluh tahun lalu.
“Kita hanya butuh waktu Marc. Satu atau dua minggu lagi, setelahnya aku yakin kau dan aku akan kembali berdamai.”
Sampai di dapur Vinca tidak ingin melewatkan kesempatan memasak makan siang bersama asistennya, Indarti. Namun, sambutan Indarti melihat kedatangan Vinca sungguh mengejutkan. Bukannya senang melihat atasannya ikut membantu menyiapkan makan siang, Indarti justru menyuruh Vinca untuk kembali mengurusi pekerjaannya.
“Aku cuma ingin membantumu, Inda,” kata Vinca sedikit kesal karena tubuhnya diseret dari dapur.
“Vinc, kau lebih baik mengurusi tamu-tamumu. Kau tahu kan paviliun ini sedang kedatangan pembalap terkenal? Kau bisa mengajak mereka jalan-jalan di sekitar sini.”
Vinca menatap payah, “aku lebih senang berada di dapur dari pada bertemu mereka.” Kakinya melangkah kembali ke dapur, “ tidak ada salahnya kan kalau aku mulai belajar memasak? Suatu hari nanti aku harus memasak makanan untuk seseorang yang spesial.” Kini tangan Vinca sudah memegang sebuah pisau, ia siap memotong buah atau bahan apa saja yang bisa digunakan untuk makan siang.
Indarti berdecak melihat ulah sahabatnya, “ada apa ini? Aku tidak pernah melihat Mrs. Vinca begitu semangat belajar memasak? Biasanya juga kau akan cepat bosan karena proses memasak makanan tidak semudah mendiagnosis kejiwaan pasien. Atau... jangan-jangan kau suka dengan pembalap itu?”
Pisau yang dipegang Vinca tiba-tiba terjatuh ke lantai, “ jaga ucapanmu Inda! Aku tidak ingin orang itu mendengar pembicaraan kita.” Wajah Vinca mendadak panik, tentu hal ini berbeda sekali dengan kepribadian Vinca sebagai Psikolog yang terkenal tenang dan berkharisma.
“Wah lihat, kenapa pipimu merah begitu Mrs. Vinca,” gurau Indarti.
Vinca terlihat merajuk, ia jadi tak berselera membantu sahabatnya itu memasak makan siang. Vinca melepas celemek dan membantingnya ke atas kursi.
![](https://img.wattpad.com/cover/146741724-288-k988026.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅
Fiksi Penggemar"Kau harus istirahat total Marc. Lupakan balapan! kau mesti lebih sering mengecek kondisi matamu. Atau... bagaimana kalau kuhubungi salah satu teman dokterku, kita bisa melakukan operasi tahap lanjut," kata Dokter Vitc menyarankan. Marc meremas kep...