Suara deru mobil menggerung diantara hempasan ombak dan hembusan kencang angin malam.
Marc sekali lagi mengusap wajah. Menatap lekat-lekat posisi ban mobil yang terjebak ke dalam pasir.
"Buruk, Vinc. Mobil ini harus ditarik!"
Wajah Vinca menegang, lekas dirinya menengok Marc yang tengah berjongkok di bagian belakang mobil.
"Apa tidak ada cara lain?"
Marc menoleh, lantas berdiri kembali. Ia menepuk-nepuk tangannya yang kotor terkena pasir pantai. Segera menghampiri Vinca di dalam mobil. "Tidak ada, Vinc. Posisi ban mobilmu terlalu dalam masuk ke pasir. Percuma kau menekan pedal gas kuat-kuat, yang ada malah mobil ini kehabisan bahan bakar!"
Ah, sungguh sial. Benar-benar sial. Di tengah euforia kegembiraan liburan mereka, ada saja kerikil-kerikil pengganggu yang membuat semua ini jadi kacau balau. Lihatlah, karena kecerobohan Vinca yang tak mau mendengar saran Marc agar menghindari undakan pasir pantai saat memutar mobil menuju arah pulang, mobil mereka malah terjebak ke dalam pasir dan tidak tahu akan bagaimana nasibnya nanti.
"Ini sudah larut malam aku tidak mungkin meminta bantuan Inda." Vinca menatap layar ponsel, lantas tertunduk lesu di atas stir kemudi. "Kita harus bagaimana, Marc?"
Marc yang ditanya juga sedang buntu memikirkan cara agar mereka bisa pulang. Lebih-lebih sekarang, gumpalan awan hitam dengan kilatan petir seperti kumpulan akar bergerak cepat mendekati pantai. Membuat barisan bintang yang semula berkerlap-kelip menghiasi langit, mendadak sirna tertutup keberadaan awan kumulonimbus itu.
Marc mendongak saat tetes-tetes air mulai menjatuhi wajah. Sungguh ia tidak suka hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun, sedang di dalam mobil Vinca kelihatan gusar menghubungi satu-persatu temannya. Meminta pertolongan.
"Ya Tuhan!" Vinca mengusap wajah. Menatap kosong layar ponsel berisi catatan panggilan keluar.
"Aku ada ide!"
Vinca menoleh ke arah Marc. Ide apa?
Kedua tangan Marc mencengkeram kuat pinggiran dek mobil. Loncat ke atas. Tidak ada pilihan lagi. Marc harus mengambil keputusan cepat menurunkan kembali motor trail yang sudah terikat rapi di atas dek. Hanya ini satu-satunya alat transportasi yang bisa membawa mereka secepat mungkin meninggalkan pantai.
"Bantu aku Vinc!" Marc mengumpat keras. Tergesa-gesa melepas tali pengikat motor.
"Kau bercanda. Ini tidak lucu!"
Marc menghentikan pekerjaannya. Menatap tajam Vinca. "Dalam situasi begini kau bilang aku BERCANDA?"
Vinca terdiam.
Marc telah selesai melepas tali pengikat motor. Bergegas menurunkan motor dari atas dek.
"Cepat naik!" Marc meneriaki Vinca kalap. Cuaca di sekitar pantai benar-benar chaos. Langit gelap, angin bertiup kencang, ombak menggulung setinggi tiga meter. Menghempas keras ke arah pantai seperti bersiap menjemput mereka.
"Kau gila? Kau itu masih sakit. Belum dapat izin mengendarai motor dari Dokter Vitc!"
Astaga, ada hal lebih serius dibanding merutuki izin berkendara atau memikirkan cara mengeluarkan ban mobil! BADAI BESAR. Mereka tengah dihadang badai besar yang cepat atau lambat akan tiba di pantai. Entah apakah Vinca masih mengingat pelajaran jenis-jenis awan badai semasa bersekolah dulu, gumpalan awan hitam dengan kilatan petir itu salah satu pertanda akan datangnya badai besar. Marc lebih memilih pergi sejauh mungkin dari pantai ketimbang menunggu badai reda di dalam mobil. Peduli setan Vinca marah besar karena dipaksa duduk di belakangnya. Keselamatan mereka jauh lebih penting dibanding memikirkan nasib mobil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅
Fanfic"Kau harus istirahat total Marc. Lupakan balapan! kau mesti lebih sering mengecek kondisi matamu. Atau... bagaimana kalau kuhubungi salah satu teman dokterku, kita bisa melakukan operasi tahap lanjut," kata Dokter Vitc menyarankan. Marc meremas kep...