Bukti Bahwa Aku Masih Mencintaimu

96 8 8
                                        

Sungguh ajaib sensasi wine asal Bali. Sekali tegukkan rasanya belum cukup. Dua-tiga teguk selanjutnya lidah Marc semakin dimanjakan oleh kenikmatan fermentasi anggur Singa raja. Sama halnya minuman beralkohol lain, wine buatan masyarakat Bali juga memiliki efek memabukkan. Marc merasa terhormat bisa mencicipi minuman tradisional yang tersaji di meja makan paviliun Vinca. Apalagi wine ini hanya disajikan dalam acara tertentu saja.

"Berhenti Marc!" Tangan Vinca mengambil paksa gelas ditangan Marc.

"Aku mohon, satu tegukan lagi." Marc mengusap kedua tangan. Bertingkah dramatis dihadapan Vinca.

"Kalau begini kau bisa mabuk!" Vinca menjauhkan botol wine dari hadapan Marc. Dilihatnya kesadaran Marc semakin menurun, Marc menceracau parah saat botol winenya dibawa pergi Indarti.

"Ayolah, kau tidak bisa terus begini denganku Vinca!" dalam posisi duduk, Marc berkacak pinggang sambil memanyunkan bibir, "kau merenggut semua dan membawanya pergi begitu saja!"

Aroma alkohol menyeruak ketika Marc mendekatkan mulut ke wajah Vinca, Vinca bergeming melihat ulah pria mabuk dihadapannya, padahal Indarti sudah mewanti agar tidak menyajikan wine Bali untuk ketiga tamu asal Spanyol itu. Kembali lagi, demi tradisi selama menetap di Bali, Vinca menyajikan wine untuk merayakan membaiknya kondisi Marc.

Hanya dalam pengaruh alkohol seseorang bisa dengan gamblang mengeluarkan unek-unek yang terpendam di dalam hati. Marc tidak sekedar menceracau tanpa maksud. Kata-kata yang diucapkannya lebih kepada beban hidup yang selama ini tidak diketahui banyak orang.

"Tolong tinggalkan kami berdua." Vinca menatap Indarti yang menguping racauan Marc di meja makan.

"Kau bisa mengangkat tubuh Marc sendiri?"

Vinca menggeleng tegas, "dia bisa berjalan dengan kakinya sendiri."

"Mana bisa begitu!" Marc mendengus gusar, " aku butuh kau, Vinc. Bantu aku melangkah melewati semua ini."

"Apa maksudmu, Marc?" Vinca berpura-pura bodoh, tangannya membersihkan noda makanan di baju Marc, membuat tatapan Marc kini terarah pada gadis berdarah Spanyol itu.

"Semuanya gelap. Sungguh gelap. Bahkan ibu saja tidak tahu bagaimana cara membantuku." Marc tergugu. Kali ini ia bertingkah lebih dramatis dari sebelumnya.

Tangan Vinca beralih meraba garis tegas wajah Marc, menatap wajah itu lamat-lamat seperti sepuluh tahun lalu.

"Mungkin mataku bisa sembuh seperti semula. Tapi tidak untuk yang ini." Marc memegang dadanya, " disini tidak bisa disembuhkan. Tidak ada obatnya!" ia menghela napas pasrah. Ulu hatinya terasa nyeri.

"Sebenci itu kah kau denganku, Vinc???"

Indarti menatap iba, tapi tidak bisa berbuat apa pun melihat ekspresi dingin Vinca saat bersitatap dengan Marc. Marc mabuk parah, lebih parah dari ayah dan dokter pribadinya. Kedua pria Spanyol itu juga menceracau tak karuan, bahkan sempat terjatuh saat menaiki tangga dapur.

"Marc bisa pingsan kalau kau biarkan begitu Vinc!" Indarti keluar dari dapur, " kau tidak bisa mengetahui kebenaran dengan cara seperti itu!"

Hening malam membuat suara Indarti terdengar jelas. Vinca memalingkan pandangan, tertuju pada wajah Indarti yang menatap khawatir mantan pasangan kekasih itu.

"Sudah kubilang... tinggalkan kami berdua Inda!" Vinca mengatur deru napasnya yang sedikit tersengal.

"Biarkan aku menyelesaikan semuanya malam ini juga!"

Sudah seharusnya permasalahan Marc dan Vinca berakhir sepuluh tahun lalu. Tapi, saat Marc kembali datang ke kehidupannya, semua yang telah diperbuat Vinca berakhir sia-sia. Malam ini menjadi malam paling menyesakkan bagi Vinca. Melihat Marc mabuk parah, menceracau tak karuan dengan gerakan tubuh menggelinjang seperti orang gila. Jujur, Vinca ingin merangkulnya sambil membisikkan kata-kata ‘Marc, tenanglah! Disini ada aku. Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku ada untukmu. Selalu!”

Tangannya tergerak merangkul Marc, namun perasaan menyesakkan tiba-tiba mencuat dan mengubur rasa iba Vinca pada pria itu. Kerlingan cincin di jari manisnya menampik niat Vinca meluapkan emosi yang selama ini terpendam begitu saja.

“Marc,” panggilnya tanpa sekalipun menatap wajah pria itu.

Marc meski setengah sadar menganggukkan kepala tanda mendengar ucapan Vinca.

“Kita sudah berbeda, Marc. Kau dan aku, kita tidak bisa kembali seperti sepuluh tahun lalu. Lebih baik kau hidup tanpa melihat ke belakang lagi. Lampaui masa lalumu dengan berlari kencang meraih masa depan. Aku adalah garis start yang tidak akan pernah menjadi garis finishmu,”

“Aku bukan tujuan yang selama ini ingin kau raih. Kau..., kau harusnya berkaca, aku hanya wanita biasa yang jauh dari hingar-bingar sorot kamera, dan kau seorang juara dunia yang namanya terkenal di banyak negara. Dengan kesuksesanmu, kau bisa meraih lebih. Kau bisa mendapatkan wanita terbaik. Kau orang baik, Marc. Tuhan pun pasti memberikan wanita terbaik untuk dirimu,”

“Maaf kalau selama ini aku sangatlah egois dengan keluargamu. Aku tidak tahu malu pergi semaunya hanya karena masalah kecil. Harus kuakui, sikapku sangat bodoh karena cemburu melihatmu bersama Laia. Wajarlah! Aku kekasihmu, dan kau milikku. Saat itu aku tidak ingin siapa pun memilikimu selain aku. Haha, Vinca kecil sangat egois. Kau pasti bisa mengerti bukan perasaan seorang wanita saat lelakinya direbut?”

“Sakit...”

Marc menggerung, entah apa dia bisa mendengar ucapan Vinca, Marc sangat-sangat mabuk jika sudah dihadapkan dengan sebotol wine.

.
.
.

Bersambung

ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang