Dump Station Memory

28 2 0
                                    

"Ouch punggungku!" Dokter Vitc meringis kesakitan ketika Vinca dan Marc memapah pria itu memasuki ruang tengah Campervan.

Di luar, Hiro masih harap-harap cemas memandang ke arah padang rumput luas takut jika sekumpulan kuda liar Itu kembali menyerang mereka.

"Kita sepertinya harus pergi ke klinik terdekat!" Uncle Julia mengusap keringat yang mengucur di kening. Membantu Marc mendudukkan Dokter Vitc di kursi.

"TIDAK! Jangan bawa aku ke klinik. Tolong ambilkan obat pereda nyeri di dalam koper, aku hanya perlu meminum obat itu!"

"Kau yakin kita tidak perlu pergi ke klinik? Aku takut terjadi apa-apa dengan punggungmu!" Vinca menatap miris kondisi Dokter Vitc yang berantakan setelah menjadi bulan-bulanan tendangan para kuda poni liar.

Dokter Vitc mengangguk lemah. Memasang sabuk pengaman. "Lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan. Aku akan mengobati lukaku sendiri setibanya di Cromwell!"

Marc, Uncle Julia dan Vinca saling tatap. Kejadian ini benar-benar mengejutkan mereka, keceriaan melihat sekumpulan kuda poni liar yang berlari bebas di padang rumput luas, berubah menjadi tragedi mengerikan yang cukup membuat bulu kuduk berdiri. Untung saja kuda poni liar itu tidak berniat menyerang balik mereka hingga ke tepi jalan aspal, jika sampai hal itu terjadi, mereka tidak tahu apakah perjalanan ini akan berakhir di Cromwell atau malah berakhir di rumah sakit terdekat.

"Ini, milikmu!" Vinca menyerahkan Baretta-92 ke tangan Hiro.

Hiro yang tengah mengecek kondisi tangki penyimpanan air kotor di samping Campervan lekas meraih benda di tangan Vinca dan menyelipkannya ke balik mantel.

"Maaf sudah menggunakannya tanpa izin!" tambahnya lagi.

Hiro beranjak dari posisinya. Menatap Vinca sambil menyunggingkan seulas senyum. "Kau menembak dengan sangat baik nona!"

Vinca balas tersenyum, menganggap maksud ucapan Hiro sebagai bentuk apresiasi atas keberaniannya menghalau kuda liar yang menyerang Dokter Vitc tadi.

"Kau pernah belajar menembak sebelumnya?"

Vinca menggeleng. "Ini pengalaman pertamaku memegang pistol, Hiro."

Mata Hiro membulat, "Dan kau seberani itu melepaskan beberapa kali tembakan ke udara. Biasanya jangankan melepaskan tembakan, memegang pistol saja para wanita terlihat seperti cacing kepanasan. Menggelinjang. Berteriak-teriak ketakutan. Tapi kau justru melakukannya dengan sangat berani. Penuh keyakinan. Itu patut kuapresiasi, Nona!" Hiro lantas membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.

Vinca dengan gerakan patah-patah juga ikut membungkukkan badan.

"Oh apa ini? Kenapa kalian saling memberi hormat?"

Vinca yang melihat wajah bingung Marc di bingkai pintu, lekas memperbaiki posisi punggungnya. Kembali tegak lurus.

"Tidak apa-apa, Marc. Kita hanya saling mengucapkan terima kasih!" ucap Hiro tanpa melepaskan pandangannya dari Vinca.

"Terimakasih untuk apa? Aaahhh, pasti karena pistol itu ya?" Marc kali ini melemparkan pandangan pada Vinca. Berjalan mendekat dengan tatapan menyelidik. "Dari mana kau punya keberanian menggunakan benda itu, Vinc. Kau pernah mengambil kursus belajar menembak di Indonesia, huh?"

Vinca menggeleng. Sekalipun dirinya tidak pernah berurusan dengan senjata api, baru ketika dirinya terlibat dalam kejadian ini, mau tak mau Vinca memberanikan diri mengambil risiko besar menggunakan pistol tanpa pengalaman sedikit pun.

"Oh kau sungguh hebat!" Marc memeluk tubuh Vinca. Mengelus punggungnya penuh penghargaan. "Untung ada kau, kalau tidak Dokter Vitc bakal mati konyol dihabisi kuda-kuda itu!"

ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang