Setelah menyantap makan siang dan berdiskusi sejenak mengenai terapi psikologinya, Marc meng-iya kan keinginan Vinca untuk melakukan terapi secepatnya. Ia bersama manajer sudah begitu banyak membual mengenai kondisinya saat ini. Marc tidak ingin membuang-buang waktu terlalu lama dengan mengatakan penyembuhan operasi mata memerlukan waktu yang cukup lama. Ia tahu, media di luar sana tentu tidak dengan mudah mempercayai perkataan manajernya. Cepat atau lambat permasalahan ini akan tercium oleh awak media, dan sebelum hal itu benar-benar terjadi Marc harus mempercepat penyembuhan sakitnya dengan cara apa pun.
Terapi kejiwaan tentu tidak asing bagi seorang pembalap seperti Marc. Mengendarai motor berkecepatan 200 km/jam dengan berbagai resiko yang membayangi tentu membuat Marc sesekali perlu melakukan terapi pada dirinya. Mungkin hari ini bisa saja ia berjaya di atas tunggangan kuda besi sambil bersuka ria menyanyikan lagu kebangsaan, tapi tidak ada yang tahu apa yang terjadi di keesokan hari.
Bayang-bayang kematian, cedera berat atau masalah di lintasan bisa menjadi penyebab frustrasi pada seorang riders motogp. Di luar orang-orang melihat Marc seperti anak muda penuh ambisi yang bertingkah kekanakan. Tetapi tidak banyak yang tahu Marc juga seseorang yang kadang merasa takut pada resiko di setiap balapan.
“Perlu kugenggam tanganmu, Marc?” tawar Vinca saat keduanya memasuki galeri lukis di halaman belakang paviliun.
“Hah?” Marc menjawab dengan bodoh.
Vinca lebih dulu menggenggam tangan Marc, “kau akan merasa lebih kuat jika begini!”
Marc menatap Vinca penuh tanya, namun ia cukup enggan bertanya pada wanita itu maksud kedatangan mereka ke galeri ini.
Marc dan Vinca berdiri di pintu utama ruang galeri. Seperti halnya galeri-galeri lain Marc harus mematuhi aturan yang tertulis di papan kecil dekat pintu masuk. Cukup menarik, sewaktu di Spanyol ia biasa melakukan terapi psikologi di ruangan sambil bercakap basa-basi mengenai permasalahannya, namun kali ini Vinca memberikan terapi psikologi berbeda pada seorang Marc Màrquez.
“Apa kau akan memegangi tanganku sambil melihat semua lukisan disini?” tanya Marc.
Vinca berdehem pelan, meng-iyakan.
“Aku tidak begitu suka dengan lukisan. Kau juga pasti tahu sebabnya, bukan?”
Vinca menatap Marc, “kau harus melewati terapi pertamamu dengan baik.”
Marc mendesah tak suka, apa yang sebenarnya dilakukan Vinca padanya? Ia tidak mengerti kenapa dirinya harus menyusuri lorong penuh lukisan yang mirip dengan labirin.
Langkah Marc terhenti di depan lukisan yang menceritakan keindahan pantai Jimbaran Bali. Tangannya meraba keindahan lukisan itu dari balik kaca pembatas. Marc merasa tertarik pada lukisan itu setelah hampir setengah jam lebih berputar-putar di ruang galeri.
“Ada apa?” tanya Vinca seraya mendekat.
“Aku baru pertama kali merasa kagum pada sebuah lukisan, kau lihat, aku benar-benar kagum dengan cara pelukis menggambarkan keindahan pantai ini,” kata Marc sambil meraba bingkai lukisan berwarna emas itu.
“Bukannya di sekelilingmu juga banyak lukisan pantai? Apa mereka tidak menarik?”
Marc melirik lukisan di sebelahnya, “ Ya... mereka juga indah. Tapi tidak seindah lukisan ini,” Marc balik menatap lukisan di belakang, “lukisan ini juga begitu. Indah...tapi hanya menonjolkan keindahan warna saja, tidak dengan makna lukisannya.”
Vinca mengangguk-angguk, tangannya bergerak lincah mencatat hipotesa pada catatan kecil miliknya.
“Kau sedang apa?” Marc tertarik melihat catatan milik Vinca.
Wanita itu buru-buru menutup catatannya, “ kau sudah puas memandangi lukisan itu?”
Marc menjentikkan jari, “ah, ada satu lagi lukisan yang aku suka!” tangan Marc menarik lengan Vinca menuju deretan lukisan lain.
Terhitung ada 100 lukisan dengan beragam tema di dalam galeri ini, semuanya ditata indah pada lorong-lorong pendek yang saling berhubungan.
Sesekali Marc berbisik membaca nama pelukis yang terpampang di bawah lukisan. Okan Lionel, Agustus 2007. Tidak hanya satu, nama pelukis itu banyak ditemui Marc di sepanjang lorong menuju lukisan yang akan ia tunjukkan pada Vinca.“Nah ini dia!” Marc berseru girang, “ lukisan ini juga indah, Vinc. Apa kau kenal dengan pelukisnya? Boleh aku bertemu dengannya?” tanya Marc menggebu.
Untuk sejenak Vinca terdiam mendengar pertanyaan dari Marc, ia mesti mencari kata yang pantas untuk menjawab pertanyaan Marc.
“Aku cukup dekat dengannya,” sahut Vinca setelah hampir setengah menit terdiam, “ kalau kau mau, aku bisa mengajak kalian berdua bertemu.” Tambah Vinca sedikit ragu.
Marc mengusap dagu, “hm... aku ingin dia membuat lukisan untuk ibuku. Anggap saja oleh-oleh selama berlibur di Bali,” Marc tertawa girang.
Satu hal, Vinca lupa mengatakan pada Marc kalau ia dan Okan memiliki hubungan khusus. Marc hanya tahu Okan adalah salah satu pelukis di galeri milik Vinca. Saat ini Vinca memang masih menutupi hubungannya dengan Okan. Ia tidak ingin keluarga Marc menganggap Vinca seperti kacang lupa kulit. Pergi semaunya hanya untuk kebahagiaan diri sendiri.
“Marc,”
Marc yang masih memandangi lukisan segera membalikkan badan.
“ Ya?”
“Aku rasa terapi ini sudah selesai.”
“Hah?” kali ini Marc terperengah mendengar ucapan Vinca, “hanya begitu?”
Vinca mengangguk mantap, “ aku akan bicarakan hasilnya dengan dokter Vitc. Secepatnya juga aku akan mengatakannya padamu,” tangannya memegang pundak Marc. “Kau boleh kembali ke kamar.”
Marc melirik cincin permata di tangan Vinca. Sedikit ragu Marc akhirnya melontarkan rasa ingin tahunya pada Vinca, “ kau sudah menikah Vinc? Kapan? Kau tidak memberitahu ayah dan ibuku? Kau marah pada kami?”
Senyum kecil mengembang dibibir Vinca, cepat atau lambat mereka akan mengetahui ini semua. Tentang kehidupannya selama 10 tahun belakangan. Betapa sulitnya Vinca menata hari setelah tidak lagi tinggal bersama keluarga Marc, bagaimana ia berjuang seorang diri demi bisa bertahan hidup dan menyelesaikan kuliah S2, bagaimana terpuruknya Vinca mengingat trauma masa lalunya ketika kehilangan orang tua hingga ia kembali menemukan arti cinta yang membawanya menjadi Vinca yang sekarang. Marc datang bukan tanpa sebab, mungkin di luar sana Tuhan punya rencana baik, agar Vinca dan Marc bisa berdamai dengan masa lalu meski akhirnya, diujung cerita ini masing-masing dari mereka memilih jalan sendiri-sendiri.
Bersambung
.
.
BersambungTerima kasih ane ucapin buat kalian-kalian yang terus membaca cerita ane. Ane harap kalian bisa kasih masukan buat cerita ini, dan buat yang suka sider bolehlah bantu votenya. Sayang lho kalau penulisnya jadi males nulis gegara lebih banyak yang sider dr pada ngevote. Oke lah sekian cuap-cuapnya. Bye, salam sastra!
Note: Soundtrack buat cerita ini judulnya Que Pasa dari Alvaro Soler. Selamat mendengarkan!! 🎶 🎶
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅
Fanfic"Kau harus istirahat total Marc. Lupakan balapan! kau mesti lebih sering mengecek kondisi matamu. Atau... bagaimana kalau kuhubungi salah satu teman dokterku, kita bisa melakukan operasi tahap lanjut," kata Dokter Vitc menyarankan. Marc meremas kep...