Lewat setengah jam usai kejadian tadi.
“Mereka pikir aku selemah itu!” Marc menggerutu. Dilemaskannya jari-jemari yang kebas akibat tremor. Lantas mengambil ancang-ancang hendak melakukan gerakan push up.
“Kenapa aku harus bertemu Vinca?” ia sudah diposisi kepala dan kaki sejajar dengan lantai. “Apakah...apakah tidak ada Psikolog lagi selain dia!” Nafas Marc menderu saat kedua tangannya berusaha mengangkat tubuhnya naik-turun.
“Kenapa pula aku tidak bertanya lebih dulu dengan Vitc. Mungkin kejadiannya tidak bakal seperti ini.” Marc membenamkan sebelah pipi ke lantai. Mengatur nafas. “Takdir memang menyebalkan!” Satu tangan Marc sekuat tenaga mendorong tubuhnya ke atas, nafas Marc kian menderu, namun ini sama sekali tidak ada artinya dengan rasa jengkel yang tengah ia rasakan.
Senja berpendar dibalik kaca jendela, biasnya mengenai tubuh Marc yang banjir keringat selepas melakukan gerakan workout. Ia menautkan tangan di kaki kiri yang tertekuk, sedang sebelahnya lagi selonjoran ke lantai. Diantara deru nafas dan pacuan detak jantung yang belum stabil, satu fragmen acak memerangkap ingatan Marc tentang peristiwa masa lalu.
“Tubuhmu lentur sekali, Marc.” Vinca menyandarkan punggung ke tembok. Memperhatikan Marc membungkukkan badan hingga wajahnya mencium kedua lutut.
“Apa tidak sakit?”
Marc menyeringai, di dorongnya badan ke posisi semula, berdiri bersisian Vinca. “Mau coba?”
Vinca menggeleng. Bersedekap. “Pasti sakit!”
Sebelah tangan Marc memegang punggung Vinca, “Kau harus mencoba agar tahu sensasinya!”
Marc terkesiap. Wajah Vinca memenuhi ingatan tanpa bisa ia cegah.
“Kau ingin bolos lagi?” Vinca menatap tajam ke arah Marc yang mencoba bolos sekolah dengan meloncati pagar besi berkarat.
Marc terkekeh, sebelah kakinya masih menjuntai di area sekolah dan siap disambar Vinca jika Marc ngotot ingin membolos.
“Turun atau aku teriak!”
“Psssstttttt jangan berisik!!!” Marc berbisik, satu kakinya yang berada di luar area sekolah kembali memijak ukiran besi bermotif bunga persis di atas kepala Vinca. Vinca mundur dua langkah. Menunggu Marc turun. Sial! salah satu kaki Marc menginjak potongan besi keropos, ia kehilangan keseimbangan, terjungkal menghantam tubuh Vinca yang juga entah bagaimana caranya refleks hendak meraih tubuh Marc.
Jemari Marc menyisir helai rambut yang menutupi pandangan. Satu-dua gerakan lagi mungkin bisa menghentikan ingatannya tentang sosok Vinca. Marc bangkit seraya membuka tangan lebar-lebar. Memperlihatkan barisan otot yang saling tumpang-tindih memenuhi punggung belakang.
Berhitung menggunakan hembusan nafas, Marc melakukan gerakan skipping secara cepat dan terukur. Tangan dan kakinya seirama memainkan tali dengan berbagai varian teknik. Dua puluh kali melakukan gerakan dasar. Sepuluh kali lompat menyilang ke sisi kiri dan kanan. Sepuluh kali jalan di tempat dengan kedua kaki bergantian meloncati tali.
Sambil terkantuk-kantuk Vinca mengelap helm yang besok pagi akan digunakan Marc untuk mengikuti balap motor lokal di Distrik Katalan.
“Lebih baik kau tidur saja,” ucap Marc sembari menghentikan tangan Vinca mengelap Helmnya.
Vinca menggeleng, “Sedikit lagi selesai!”
Marc menghela nafas, duduk dengan memeluk lutut, memikirkan pertandingan besok.
“Kau gugup?”
“Lumayan.”
“Kudengar lawan-lawanmu cukup hebat.”
Marc mengangguk.
“Aku optimis kau bisa meraih hasil bagus. Vinales dan Alex Espargaro bakal bertekuk lutut menghadapimu.”
Marc tersenyum, melirik Vinca dengan ekor mata. Bahagia sekali mendapat dukungan besar dari gadis itu. Jemari Marc menyentuh rambut Vinca, Ia terkesiap, menatap Marc penuh keterkejutan.
“Aku menyukaimu, Vinc.”
Vinca menelan ludah. Berusaha mencerna maksud perkataan Marc.
“Yaa, rasa suka yang wajar. Sebagai pria berusia 14 tahun.” Marc mengangkat bahu.
Vinca masih diam. Tidak bereaksi. Tidak merespon. Sebagai remaja tanggung, rasanya mustahil Vinca tidak merasakan hal serupa ketika berhadapan dengan Marc. Marc yang selalu bergairah saat mengendarai motor. Marc yang tersenyum ceria ketika mendapati Vinca menonton aksi balapnya. Marc yang setia menemani di kamar ketika penyakit typus Vinca kambuh. Marc yang berusaha menyelaraskan kehidupan membosankan Vinca. Dan, Marc yang membela gadis itu kala ia mendapat cibiran anak yatim-piatu oleh anak-anak di sekolah.
Marc berdiri mematung. Sorot matanya memandang jauh ke luar. Entah sedang memperhatikan sisa-sisa matahari senja, atau masih terperangkap dalam ruang pikirannya. Lelaki itu tampak kehilangan arah.
“Laia?” kening Vinca mengerut. Gadis berambut pirang yang dikatakan teman-spesial-Marc itu duduk bersebelahan dengannya.
Makan malam terasa canggung, meskipun kelihatan hangat karena Uncle Julia dan Aunty Roser antusias ingin mengenal lebih jauh sosok Laia, dan Laia tanpa sungkan menjawab pertanyaan orangtua Marc layaknya bicara dengan orangtua sendiri.
Di seberang sana, tepatnya posisi duduk Marc, Vinca menatap pria itu seolah sedang menghadapi musuh bebuyutan. Menu makan malam yang harusnya lezat dinikmati bersama orang tua Marc dan Alex, usai dua bulan ini Vinca memutuskan tinggal di asrama demi menghemat ongkos pulang-pergi, justru menjadi awal hancurnya hubungan Marc dan Vinca sejak nama Laia terseret dalam hubungan mereka.
Aroma parfum model itu berangsur lenyap dari penciuman. Tapi wajahnya, manik matanya, cara ia tersenyum dan pelukan penuh gairahnya pada Marc sebelum menaiki taksi membekas kuat diingatan Vinca.
Berjalan dengan kaki lemas, Vinca terhuyung-huyung menapaki anak tangga untuk mencapai puncak bangunan benteng kuno demi menghalau perasaan ‘aneh’ yang ia rasakan.
“Apa yang terjadi?”
“Kenapa terasa sakit?”
Kedua tangan Vinca menimpuk kepala, pipi dan bagian badan lain agar memastikan dia tidak sedang bermimpi.
“Marc, kau pasti sedang mengerjai ku.”
Sergahan tangan Marc menahan Vinca menyakiti tubuhnya lebih lanjut. “Kenapa kau meninggalkan rumah tanpa izin? Semua orang mencarimu!”
“Siapa Laia?”
Marc diam.
“Marc, siapa Laia? Kenapa dia begitu dekat denganmu.”
Marc menelan ludah.
“Kau berjanji mencintaiku, kenapa malah begini?”
Hening. Suara jangkrik di kejauhan saling sahut-menyahut.
“Kenapa kau diam saja!” Vinca merengkuh kerah baju Marc, meremasnya sangat kuat. Marc menarik tengkuk kepala Vinca. Membuat mata gadis itu mengerling. Ia tengah bersitatap dengan Marc. Ralat. Lebih tepatnya bersitatap dengan pembalap rokkie motogp paling fenomenal di abad ini.
“Marc, apa kau sedang sibuk?” Vinca memutuskan mengetuk pintu kamar Marc karena merasa tidak enak meninggalkannya begitu saja tanpa alasan.
“Marc yang lain sudah menunggu di meja makan, kau ikut makan atau tidak?”
Hening. Tidak ada jawaban apapun.
“Uhm, baiklah, harus aku akui tadi sore aku sedikit terbawa emosi. Kau tahu, aku kadang-kadang masih teringat sosokmu yang dulu. Jadi, ya, kau harus bisa memakluminya kalau emosiku mendadak buruk ketika....”
Decitan daun pintu membuat Vinca terbelalak. Tapi yang justru membuat jantungnya ingin copot adalah mendapati Marc bertelanjang dada memeluk tubuhnya amat erat.
“Aku mencintaimu, Vinc. Sangat!”Bersambung
Yuhhhuu Kamis ceria! Semoga hari ini segala aktifitas yang dijalankan diberi kelancaran Aamiin.
Selamat membaca, jangan lupa vote + komen ⭐🗨️
Terimakasih💐❤️
![](https://img.wattpad.com/cover/146741724-288-k988026.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅
Fanfic"Kau harus istirahat total Marc. Lupakan balapan! kau mesti lebih sering mengecek kondisi matamu. Atau... bagaimana kalau kuhubungi salah satu teman dokterku, kita bisa melakukan operasi tahap lanjut," kata Dokter Vitc menyarankan. Marc meremas kep...