Keesokan paginya.
Entah terbangun pukul berapa, pagi itu Hiro tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk penghuni Campervan. Ia memotong buah, menyiapkan cangkir-cangkir antik untuk tempat minum teh, memanggang roti, membuat guacamole, juga memasak telur setengah matang.
Sebagai mantan anggota militer, Hiro cukup terampil untuk urusan masak-memasak di dapur, ia amat telaten menggunakan pisau saat memotong bahan makanan. Tangan kiri dan kanannya seirama ketika harus digunakan secara bersamaan. Wajah datar tak berekspresinya menandakan ia begitu serius menyelesaikan sesuatu hal yang tengah dikerjakan. Pantaslah jika Honda begitu mengapresiasi kerja Hiro sebagai ajudan dan menyematkan predikat ‘Ajudan Terbaik' padanya selama tiga tahun berturut-turut.
TING!
Dua buah roti berwarna kecokelatan menyembul dari alat pemanggang. Hiro lekas mengambil roti itu dan meletakkannya ke piring. Menatanya sedemikian rupa agar terlihat indah saat disajikan.
Hiro jelas sangat menyukai seni menyajikan makanan, karena di negara asalnya, Jepang, menyajikan makanan tidaklah sekedar meletakkan makanan di atas meja makan saja. Tetapi orang-orang Jepang selalu menyelipkan filosofi tertentu dalam setiap sajiannya untuk mensyukuri nikmat rezeki yang telah Tuhan berikan pada mereka.
Hidung Uncle Julia berkedut-kedut mencium aroma menggugah selera dari arah pantri yang berjarak beberapa langkah dari tempat tidurnya. Perlahan, pria itu membuka kedua mata, menatap pemandangan sekeliling Campervan yang masih remang-remang.
“Hiro, kau kah itu?”
Hiro menoleh, sebelah tangannya memegang teplon berisi telur dadar. “Kau sudah bangun Tuan Julia?”
Uncle Julia mengangguk. Memasang kaca mata. Berjalan ke arah Hiro.
“Kapan kau bangun?”
Hiro terkekeh. Meletakkan kembali teplon di atas kompor, yang semula ia angkat ke atas untuk membalik telur dadar layaknya atraksi para koki handal di restoran.
“Bagaimana tidurmu tadi malam. Nyenyak?” Hiro mengalihkan topik pembicaraan. Membahas soal kapan ia terbangun di pagi hari ini nampaknya bukanlah pembicaraan yang menarik.
“Sangat pulas! Bahkan aku sampai tidak menyadari kau sudah tidak ada di sebelahku.”
Hiro mempersilakan Uncle Julia duduk di kursi sembari menyuguhkan perasan air lemon dan paper mint . Uncle Julia sangat kagum dengan cara Hiro menyambutnya di pagi ini. Begitu hangat. Layaknya perlakuan Ibu Marc dan Alex, Roser, ketika dirinya menikmati suasana pagi hari saat jeda balap di rumah mereka di Cervera.
“Air lemon?” Uncle Julia mengangkat gelas ke udara. Mengamati lemon yang mengambang di dalam air.
“Lemon sangat bagus dinikmati di pagi hari, Tuan. Apalagi tadi malam kau banyak sekali minum wine, kan?”
Uncle Julia menenggak minuman buatan Hiro. Wajahnya seketika mengerut saat pertama kali perasan lemon dan paper mint itu menyentuh Indra mengecapnya.
“Hmmm, tidak buruk!”
Hiro tersenyum. Ikut menenggak segelas perasan lemon dan paper mint.
Dari kamar belakang terdengar derap langkah kaki yang mengarah ke luar. Dokter Vitc dengan masih menggunakan piyama tidurnya berjalan sempoyongan sambil mengucek-ucek mata.
“Selamat pagi, Dok!” Uncle Julia berseru. Menyuruh Dokter Vitc bergabung dengan mereka di meja makanan.
Dokter Vitc menganguk-angguk. Permisi sebentar ke kamar mandi untuk mencuci muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅
Fanfiction"Kau harus istirahat total Marc. Lupakan balapan! kau mesti lebih sering mengecek kondisi matamu. Atau... bagaimana kalau kuhubungi salah satu teman dokterku, kita bisa melakukan operasi tahap lanjut," kata Dokter Vitc menyarankan. Marc meremas kep...