Tiba Di Akhir Keputusan

106 12 0
                                    

Diliputi perasaan sebal setengah mati Vinca memutuskan kembali ke paviliun setelah mendengar pesan singkat Indarti yang mengatakan Marc tidak berada di kamarnya.

“Awas kau Marc!” Sambil menggerutu Vinca setengah berlari menapaki jalanan tak beraspal menuju paviliun. Pagi itu, rencananya, ia akan pergi bersama Okan menikmati suasana pagi Minggu. Sebelum kedatangan Marc, dan sebelum kekacauan ini dimulai, hari Minggu adalah satu-satunya hari yang bisa mempertemukan mereka secara intens sebab Vinca selalu sibuk mengurus pasien-pasiennya di Shelter.

“Kenapa selalu gagal, sih. Kalau begini terus Okan bisa marah!” Menepis sesak di dada, Vinca terus mempercepat langkah menuju paviliun yang sudah terlihat bagian atapnya.

Tiga pekan ini mereka selalu gagal menghabiskan waktu bersama. Lagi-lagi karena Marc. Selalu Marc. Vinca tidak habis pikir mengapa ia rela menukar kebahagiannya demi seorang Marc. Sedetik saja kabar tidak mengenakkan dari paviliun sampai ke telinga, Vinca akan buru-buru pulang meskipun tengah menikmati waktu intim bersama Okan.

“Hey Vinc kenapa buru-buru sekali? Apa terjadi sesuatu di paviliun?”dengan nada bicara santai, Marc menyejajarkan diri agar bisa mengikuti ritme langkah Vinca. Selepas berpisah arah dengan Pak Wayan lalu secara kebetulan melihat Vinca tergesa-gesa menuju paviliun, Marc segera menghampiri gadis itu.

Menyadari Marc ada di samping, bukannya senang, dengus nafasnya malah tak terkendali seperti dorongan piston yang menggerakkan roda lokomotif uap secara to-and-fro.

“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah!!!” Vinca mengumpat, Marc seketika menghentikan langkah.

Vinca mengetuk kepala dengan genggaman tangannya, “kau membuat semua jadi BE-RAN-TA-KAN!” ia menaikkan intonasi suara di kata terakhir agar Marc memahami maksud ucapannya.

“Kau ini kenapa? Aku rasa kau tidak meminum wine tadi malam?”

Ritme nafas Vinca mengendur, pelan-pelan, ya, mestinya ia menjelaskan hal yang sudah terjadi di Shalter pada Marc secara pelan-pelan. Tentu Marc tidak mengetahui kalau semua orang di paviliun tengah mencarinya.

“Kau pergi kemana, Marc? Semua orang mencarimu. Kau pergi tanpa izin. Tanpa ‘pengamanan' pula.” Vinca menatap Marc dari ujung rambut hingga kaki tanpa menggunakan topi atau kaca mata sebagai alat penyamaran.

“Aku cuma jogging ke bukit. Kau kan tidak mau mengajakku, lebih baik aku pergi sendiri.” Marc enteng menyampaikan alasan.

Vinca mencopot jaket jeans yang dikenakan, melingkarkannya ke pundak Marc untuk menutupi otot kekarnya, “pulang. Kita harus pulang. Disini tidak aman!”

“Ergh, tidak bakal ada yang mengikutiku sampai ke bukit. Apalagi sampai nekat menerobos rumput ilalang setinggi dirimu.”

“Aku tidak peduli. Kita harus kembali ke paviliun!”

Marc meraih pundak Vinca. Setengah mencengkeram. Wajah kesal Vinca berganti ekspresi keterkejutan.

“Tenanglah Vinc!” tegasnya.

“Tidak ada siapa-siapa disini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku bukan anak kecil yang harus dinasihati. Aku bisa menjaga diri tanpa harus diwanti dirimu!”

Marc mengendurkan cengkeraman. Memberi kesempatan agar Vinca menyadari sikap kecemasan berlebihnya terhadap kondisi Marc.

“Aku berterimakasih atas kepedulianmu. Vinc, tanpamu aku tidak bisa berada dititik ini. Wajar sekali kau mencemaskan diriku, tapi aku mohon, mohon sekali. Jangan melakukannya berlebihan,”

“Apalagi  karena ingin balas jasa dengan keluargaku.”

Vinca mengusap wajah. Menyibak juntaian anak rambut yang menghalangi pandangan. Seketika otaknya memerintah untuk meminta maaf, namun batinnya masih tak berkompromi meskipun atas nama ‘persahabatan’ mereka.

Diiringi kicau Burung Warbler yang bertaut diantara rumpun padi menguning dan sahut-sahutan jangkrik di tengah sawah, perlahan Marc melingkarkan jemarinya ke tangan Vinca sembari mengajak gadis itu kembali ke paviliun.

                              ***

Usia Vinca baru tujuh tahun ketika mendapati kedua orang tuanya terkapar dengan mulut penuh busa di kamar mereka. Teriakan histeris gadis berambut sebahu itu sampai ke telinga Odie, tetangganya yang baru saja pulang dari klub malam sehabis menenggak sebotol wine buah kekesalannya mendapati mantan istri bermesraan dengan pria lain.

Tendangan kakinya menghancurkan pintu kayu yang minim pengaman seperti kebanyakan pintu masa kini. Ia berlari menuju sumber suara. Ke ruang keluarga. Memeriksa kamar demi kamar. Dapur. Sampailah di sebuah ruangan paling ujung asal sumber kegaduhan itu.

Odie menutup mata Vinca. Memeluknya amat erat. Erangan gadis itu kian menjadi. Ia memukul. Menendang. Bahkan menjambak rambut Odie.

“Tenanglah Vinca!”

Sadar dirinya memiliki telepon genggam, Odie segera menghubungi panggilan darurat  untuk memastikan kondisi kedua orang tua Vinca.

Erangan Vinca menghancurkan hati Odie yang carut marut setelah bertemu mantan istrinya. Ia ikut menangis tersedu ketika Vinca berulang kali menyebut Ayah dan Ibunya sambil meminta maaf.

“Ini bukan salahmu Vinca. Bukan. Tenanglah, sebentar lagi polisi akan datang!” Odie kembali memeluk gadis itu. Mencium keningnya. Lantas berusaha membawa Vinca menjauh dari ruangan yang entah sampai kapan akan selalu terbayang dalam memori otaknya.

Singkat cerita, kedua orang tua Vinca dipastikan meninggal karena bunuh diri. Cairan sianida yang ditemukan dalam cangkir kopi menjadi bukti penting peristiwa ini murni direncanakan kedua orang tuanya. Vinca saat itu teramat belia memahami pembicaraan polisi yang tengah memberikan penjelasan kepada para wartawan. Dirinya tergolek lemah dalam pelukan psikiater dan enggan menanggapi wartawan yang secara membabi buta mewawancarainya  tanpa belas kasih.

Roser dan Julia tiba pukul sepuluh malam setelah memastikan kedua anaknya terlelap tidur. Mengenakan mantel usang yang dipakai dari tahun ke tahun keduanya meringsek masuk meskipun barisan polisi menghalanginya demi menghalau warga yang berdatangan.

“Aku pamannya, biarkan aku menemui keponakanku!” Julia mendorong pundak salah satu polisi.

“Tidak bisa Pak!”

“Sebentar saja! Aku ingin melihat kondisinya!” Roser menimpali.

Julia melihat celah kosong diantara barisan polisi yang sibuk mengamankan warga dan wartawan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan Julia menerobosnya dan berlari kencang menuju ke dalam. Seorang polisi menghardiknya dan meminta polisi lain yang berada di dalam ruang kantor menangkap Julia, namun polisi itu urung melakukan ketika mendengar suara Vinca memanggil nama Julia.

Vinca berlari menghampiri Julia. Menangis. Air matanya beberapa kali ia usap dengan kedua tangan. Ia menangis sambil memeluk Julia. Kacau penampilannya. Gadis itu benar-benar sedang terpukul.

“Tenanglah, ada Uncle disini. Semua akan baik-baik saja!”

“Uncle, kenapa? Kenapa dengan ayah ibuku? Aku salah apa?”

“Tidak ada yang salah. Kamu tidak salah apa-apa sayang!”

Vinca menatap Julia, masih berurai air mata, “kenapa mereka meninggalkanku? Kenapa mereka mati?”

Julia hening. Manik matanya menyorot wajah Vinca yang penuh air mata. Ia mengusap rambut Vinca penuh kasih. Membenarkan rambutnya yang terurai berantakan lalu mengajak gadis itu duduk di kursi.

“Mari kita berdoa untuk orang tuamu. Mereka akan senang kalau Vinca mau mendoakan ayah dan ibu.”

“Apakah Tuhan mau mendengar doaku? Aku masih kecil.”

“Tentu saja, Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia pasti mendengar doamu. Mari ikuti Uncle! Kau harus berdoa sungguh-sungguh agar didengar Tuhan!”

                                ***

Di depan monitor yang sengaja di mode sleep Vinca membenamkan kepala tanpa ingin berurusan lagi dengan kegaduhan Marc pagi ini. Dering notifikasi ponsel membuat Vinca kembali duduk di posisi semula. Pemberitahuan email masuk. Vinca menyibak rambut dan duduk tegap agar bisa membuka email yang dikirimkan seseorang padanya.

“Livio Suppo? Vidio?” Kening Vinca mengerut, ia menekan layar ponsel agar vidio dapat terunduh, lantas membukanya di pemutar media.

Seorang pria duduk membelakangi dinding putih. Wajahnya terlihat ramah melambaikan tangan ke kamera. Mata Vinca langsung tertuju pada bordir bertuliskan HRC di bagian dada kiri baju pria itu.

“HRC? Dari tim Marc, kah?” gumamnya.

“Halo Mrs. Vinca, senang bertemu denganmu! Aku Livio Suppo manajer tim Repsol Honda dimana Marc bekerja sama dengan tim pabrikan kami,”

Vinca menjeda vidio, berpikir sejenak, lantas kembali melanjutkan menonton.

“Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih karena sudah bekerja keras untuk kesembuhan Marc. Kebetulan aku sudah menerima beberapa catatan dari Dokter Vitc mengenai kesehatan Marc. Aku cukup tercengang karena grafik kesehatan Marc meningkat sangat pesat, padahal sebelumnya kami tidak bisa menjamin Marc bakal tampil hingga musim depan. Dan, kau tahu, semua orang sedang menunggu Marc. Semua menanyakan keberadaan pembalap hebat itu,”

Vinca kembali menjeda Vidio saat mendengar Marc dan Dokter Vict kembali beradu argumen gara-gara kejadian tadi pagi.

“Hebat dari mana?” desisnya.

Vidio kembali ia lanjutkan, kali ini Vinca menggunakan ear phone agar suara dari luar tidak mengganggunya.

“Melihat catatan kariermu sebagai terapis dan saran Dokter Vitc, aku rasa tidak ada salahnya jika menyuruh Marc kembali ke Spanyol segera, karena aku dan tim tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengajak Marc kembali berlatih di lintasan. Hanya itu saja pesan yang ingin aku sampaikan. Aku menunggu kabar selanjutnya darimu. Oh hampir saja lupa, Marc masih single dan kalian kelihatannya cocok?!”

Vidio itu berakhir dengan gelak tawa Lipio Suppo yang terdengar seperti jokes bapak-bapak. Vinca meletakkan ponsel di meja dan beranjak menuju balkon luar. Pemandangan birunya laut di kejauhan membenamkan pikirannya pada kemungkinan-kemungkinan tertentu seputar kesehatan Marc.

“Diam. Melamun. Memandang laut. Kau kelihatan payah, Vinc!”

Vinca menoleh ke sumber suara. Marc? Refleks tangannya mencomot salah satu sendal yang ia kenakan. “Turun atau aku lempar kau dengan benda ini!”

Marc tertawa girang melihat kemarahan Vinca.

“Heh, turun! Kau bisa merusak kanopiku!”

“What?” Marc mengangkat kedua tangan ke udara, “kau lebih peduli kanopi dibanding aku?”

“Tentu saja! Untuk apa peduli denganmu, kau sudah dilindungi asuransi!”

Marc kembali tertawa karena mendengar jawaban Vinca, “Heh Vinca, pemandangan laut lebih bagus dilihat dari sini. Kemari, duduk di sampingku!” Marc menepuk atap kanopi yang menjadi alas duduknya.

Wajah Vinca mengeras. Tatapan tajamnya langsung membuat Marc masuk ke kamarnya melalui jendela yang langsung terhubung dengan kanopi.

“Ah sial, kenapa dia tidak bisa mesra seperti tadi malam!” Marc menepuk sudut ranjang lantas membenamkan diri di kasur dengan kedua tangan menyilang sebagai bantalan kepala.

“Aku merindukan sosok lembutmu, Vinc.”

                                ***

Dengan gerakan stabil, Vinca menuruni anak tangga untuk menemui Dokter Vict. Secara tidak sengaja mereka bertemu di bawah karena saat itu Dokter Vict pun akan menemui Vinca di ruang kerjanya.
“Kebetulan sekali,” ucap Dokter Vitc melihat Vinca sudah tiba di lantai dasar, “apakah ini sama seperti perkiraanku?”

Vinca mengangguk, “manajer Marc, dia baru saja menghubungiku!”

“Livio? Apa yang dia katakan?”

“Dia ingin Marc segera pulang. Setelah melihat semua catatatan-catatanmu, dia berpikir Marc layak untuk kembali berlatih di lintasan.”

Dokter Vict mengelus dagu. Berpikir sejenak. “Tidak kah ini terlalu cepat?”

Vinca menanggapinya dengan wajah penuh tanya.

“Aku saja sebagai dokter pribadinya tidak mengambil kesimpulan bahwa Marc bisa kembali ke lintasan. Ini akan jadi Boomerang kalau sampai ia bicara pada media bahwa Marc sudah pulih!”

“Lalu apa yang harus aku lakukan? Mengatakan kalau kita masih memerlukan waktu lagi?”

Dokter Vitc menepuk pundak Vinca, memberi isyarat agar mereka membicarakan masalah ini di ruangan lain.

“Aku bisa pastikan kondisiku baik. Aku dan tubuhku, hanya aku yang bisa merasakannya!” Marc dari lantai atas sudah sejak tadi menguping pembicaraan Vinca dan Dokter Vitc. Tatapan matanya dingin. Bahkan pertama kalinya Vinca melihat tatapan Marc sedingin itu. Ia menuruni anak tangga. Bergerak dinamis. Matanya menatap Dokter Vitc intens.

“Tunggu apa lagi, mari kita kembali ke Spanyol!”

Bersambung

Sorry lama nggak update, semoga kalian suka ya, jangan lupa like dan komennya. Terimakasih!

ADIÒS |Marc Márquez Fanfiction|✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang