24. Sana

342 34 4
                                    

"Sana, lo ingat gak dulu lo pernah minta kontak Soonyoung ke gue?" tanya Jeongyeon, entah sadar atau tidak kalau temannya itu sedang sensitif dengan nama laki-laki yang ia sebut.

Jeongyeon tidak menunggu jawaban Sana, dia kembali berucap, "Di hari yang sama, cuma beda menit kayaknya. Soonyoung juga minta kontak lo ke gue."

Sana masih bergeming.

"Kalian padahal sama-sama lumayan terkenal, tapi gak saling tahu. Lucu buat gue. Terus gue pikir Soonyoung mau nyoba lawan ketakutannya, makanya gue dukung dia."

"Segala tentang kalian tuh lucu, bahkan setelah itu kita jadi sekelas. Bahkan lo pernah cemburu sama adik bungsunya Soonyoung. Cuma habis itu semua kayak berhenti? Gue pikir, masa pendekatan kalian gagal. Taunya diam-diam menghanyutkan."

Jeongyeon mendongakkan kepalanya. Lama-lama sedikit kesal karena Sana tidak kunjung membalas.

"Eh anjir, kok nangis, sih?!" Jeongyeon buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk. Sana langsung mengusap wajahnya kasar, memaksa air matanya untuk berhenti keluar.

"Sana, gue pikir kedatangan Soonyoung waktu itu mau ngelurusin semuanya sama lo," ucap Jeongyeon, "tapi, lagi sialnya aja. Wonwoo malah berulah dan ngebuat asrama ini kerasa gak nyaman."

"Je, kita ini kacau banget gak, sih?" ucap Sana dengan pelan, "padahal konfliknya konflik pribadi, tapi sekarang semuanya kayak gak bisa bareng-bareng lagi."

"Kalau kepalanya hilang, maka mati. Soonyoung, ketuanya aja lagi kacau. Gimana kita bisa sama-sama? Tapi, mungkin lo bisa buat dia merasa baikan, Na."

Sana menggeleng. "Gak bisa, Je."

Jeongyeon sedikit memiringkan kepalanya. Bingung. "Lo spesial bu—"

"Enggak, Je. Sekarang gue sama aja," potong Sana, "dia ... dia udah ngelepas gue."

Kening Jeongyeon mengernyit tidak suka. Dia memegang kedua bahu Sana dan berkata, "Gimana bisa dia ngelepas lo gitu aja?!"

"Ini gara-gara gue, Je. Gue kepikiran Jun, gue takut sama hal yang gak jelas. Padahal Soonyoung udah ngelurusin semuanya sama Jun, tapi gue ...." Sana menghentikan ucapannya karena ia tahu ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya lagi. Gadis Desember itu tanpa kata memeluk Jeongyeon yang ada di depannya. Apa yang sejauh ini berusaha ia pendam, pecah detik itu juga.

"Na, seharusnya lo jangan pasrah. Seseorang pantas buat memperjuangan seseorang yang dia sayangi, meskipun akan selalu ada kemungkinan untuk gak memiliki," ujar Jeongyeon seraya menepuk-nepuk kecil punggung Sana. Berharap hal itu dapat menenangkan sahabatnya yang masih terisak.

"Katanya Soonyoung ke psikolog, 'kan? Lo pasti tahu jadwalnya, jadi dampingi dia. Emang, kayaknya gak akan mudah, tapi gue tahu kalian saling sayang."

Setelahnya, Jeongyeon memutuskan untuk tidak berbicara lagi. Ia membiarkan Sana untuk menangis, membiarkan cewek itu untuk mengakui perasaan sedihnya. Perasaan yang selama ini ia abaikan dengan memperlihatkan dirinya yang baik-baik saja.

Setelah merasa lebih baik, Sana menjauhkan dirinya. Dia menatap Jeongyeon dengan ragu. "Lo yakin gue bisa?"

Jeongyeon mengangguk seraya mengukir senyum. "Yakin, dulu aja lo gak ngapa-ngapain Soonyoung ngejar, 'kan?

Senyuman Jeongyeon menular pada Sana, meskipun tidak lebar. Setidaknya, kali ini bukan senyuman terpaksa yang ia tunjukkan. Jeongyeon merasa lebih lega dengan hal itu.

Diam-diam ia mencoba menenangkan teman-temannya satu per satu, selepas Wonwoo malah menelan ludahnya sendiri. Jeongyeon lega, karena Sana adalah orang yang pertama dan apa yang ia lakukan tampaknya cukup berpengaruh.

kosasra; seventwice 96LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang