Dalem | part 7

14.3K 822 28
                                    

Doble up!!!!

Mana nih vote komen dan follownya?
Yang read wajib follow. Kalau nggak, awas inget dosa ya!

Happy reading!

****___&&******

Suara bising kendaraan sudah tidak terdengar lagi, aku sudah pulang kuliah sejak tadi.

Sebenarnya, kehidupanku mulai membaik. Aku tidak perlu lagi naik kendaraan umum, tidak perlu berdesakan di dalam busway saat akan beraktifitas. Mas Theo sudah menyiapkan supir pribadi dan beberapa bodyguard untuk mengawalku.

Rumah bapak ibu juga sudah diperbaiki, bapak sekarang sudah naik mobil kemana - mana. Kami tidak perlu khawatir uang kuliahku tidak terbayar lagi.

Tinggal di dalam rumah bak istana, dengan puluhan maid, sudah seperti ratu. Ini sama sekali jauh dalam angan aku selama ini.

Bermimpi mendapatkan kemewahan ini saja aku tidak berani. Dan kali ini aku menjalaninya.

Tapi, siapalah aku. Cuma Ratih si gadis desa dengan semua serba pas - pasan ini.

Memiliki suami kaya raya, ganteng, gagah, tentu saja impian semua orang. Tapi aku sadar dia yang sempurna itu hanya menganggap aku sebagai mainan saja.

Aku mungkin bisa menipu ibu dan bapak. Menipu keluarga besar bahkan menipu keluarga besar suamiku. Terutama ibu dan bapak mertuaku. Aku seolah bahagia, dengan mas Theo yang begitu mencintaiku. Walaupun nyatanya tidak begitu.

Di dalam hati mas Theo tidak pernah ada aku, semua hanya dimulut saja. Tidak ada cinta diantara kami. Mas Theo hanya butuh pemuas nafsu saja, karena kebetulan hanya aku yang dapat memenuhi nafsunya.

Entah itu benar atau tidak, katanya miliknya hanya bereaksi terhadapku. Toh, nyatanya dia tetap bermain wanita diluaran sana.

Lagipula, mana ada lelaki sesempurna dia mau dengan wanita seperti aku ini?
Aku hanya gadis desa, keluarga sederhana, bahkan ibu dan bapak hanya tamatan sma.

Aku hanya gadis desa yang sedikit beruntung, sehingga bisa kuliah dan tinggal di kota sebesar ini.

Aku menghela nafas lagi, akhir - akhir ini aku sering marah - marah. Punya suami macam begitu bikin tensi cepat naik. Cepat tua nanti aku tuh, dia yang makin ganteng. Pikiranku semakin kacau saja, padahal aku sudah pusing dengan kuliahku. Dan semakin pusing mengingat tingkah jelek suamiku.

"Sayang, maaf. Saya janji nggak begitu lagi," suara mas Theo terdengar lirih dan pasrah begitu. Membuat aku hampir luluh, hanya hampir dan tidak sampai luluh. Dia itu tobat sambel, dan nggak berubah. Untung saja logika saya masih berjalan dengan baik.

"Sayang, sudah dong marahnya."
Aku seharian diam saja, setelah menyiapkan sarapan untuk mas Theo, aku bergegas pergi masuk lagi ke kamar. Aku masih ingat pesan ibu, bagaimanapun suami harus dimuliakan. Dan aku tetap menyiapkan semua kebutuhannya meski aku sedang dongkol setengah mati sama mas Theo.

"Yang, serius deh. Mas nggak ngapa - ngapain," katanya dengan wajah serius.

Aku lagi - lagi menarik nafas panjang, memejamkan mata dan beristighfar dalam hati. Ini suami kalau dikasih hati minta mati. Sudah dibaikin masih saja ngelaba, playboy cap kadal ya begitu memang. Setiap hari makan hati jadi istrinya, perlu order stok sabar di olshop kayaknya.

"Sana kerja," kataku ketus. Aku melengos melanjutkan langkahku masuk kamar. Malas sekali melihat wajahnya yang sok menyesal itu.

"Ngapain?" Tanyaku saat dia ikut masuk ke dalam kamar. Padahal ini sudah jam sembilan, dia juga sudah berpakaian rapi tapi masih saja belum berangkat kerja.

"Maaf ya dek. Sumpah nggak begitu lagi," kata mas Theo sembari memegang tanganku. Mas Theo sudah berjongkok di depanku. Saat ini aku sedang duduk di pinggir ranjang.

"Mas ndak kasihan yo sama aku?" Tanyaku lirih. Rasanya aku udah putus asa sama kelakuannya yang begini.

"Bukan begitu, sumpah mas cinta mati sama adek. Marco juga cuma bereaksi sama adek. Mas setia banget loh."

Aku cuma geleng- geleng kepala mendengar ucapannya itu, meski dia terlihat serius dengan ucapannya tapi dia itu lelaki kadal. Suka ngelaba kemana - mana. Aku serius dengan dengan pernikahan ini dan berharap banyak dalam pernikahan ini meski aku menikahinya atas paksaan mas Theo di awal. . Aku berharap sekali menikah dan untuk seumur hidup. Tapi kenapa dia begini?

"Perlu adek potong yo tangan mas Theo?" Kataku pelan. Lelah sekali aku menghadapi manusia macam ini.

"Hah? Ya jangan dong dek. Nanti mas kerjanya gimana?"

Mas Theo terlihat gugup, dia bahkan gelagapan tidak karuan. Aku kembali diam, apa cuma aku yang berharap besar pada pernikahan ini?

"Sumpah mas nggak main wanita manapun," katanya dengan tangan terangkat ke atas sebagai tanda sumpahnya. Wajah mas Theo terlihat serius, tapi tetap saja aku tidak percaya. Umur pernikahan kami belum seberapa, dan mas Theo berkali - kali kedapatan berselingkuh.

"Kita cerai saja ya," kataku dengan mata berkaca - kaca. Akhirnya air mataku tumpah saat melihat mas Theo gelagapan dan memeluk aku erat. Berat sekali ternyata menikah itu.

"Sstt... Jangan ngawur ngomongnya!" Seru mas Theo, dia memeluk aku sangat erat. Mencium pelipisku berkali - kali.

"Sumpah sayang, mas setia. Mas nggak pernah ada wanita lain selain kamu. Mas cinta mati sama kamu. Bau parfum wanita lain bukan berarti mas selingkuh sayang," ucapan mas Theo terdengar serius, bahkan tubuhnya bergetar. Mas Theo menangis.

"Sayang, maaf. Nggak bakal dekat wanita lain selain kamu. Mas janji. Jangan bilang cerai, jangan. Mas bisa mati tanpa kamu," aku mengurai pelukannya, aku melihat mas Theo menangis, matanya memerah dan mengeluarkan air mata.

"Tapi mas ndak pernah serius. Mas sering main wanita, mas ndak puas sama Ratih?" Tanyaku putus asa.

Kali ini saya benar - benar pasrah, jika memang takdirnya maka aku siap menyandang status baru. Janda.

"Mas serius. Demi Tuhan, cuma adek yang mas cinta. Marco belum pernah kelain tempat selain ke sini,"

Aku melotot sebal, dalam kondisi serius begini masih saja cari kesempatan. Aku tepuk tangannya keras. Kalau ada sapu mungkin pukul tangannya pakai sapu.

"Tanganmu awas!" Kataku sembari melotot sebal.

"Maaf sayang maaf. Tapi emang beneran kok. Masuknya cuma kesitu marconya dek Ratih."

"Terus yang di resto mas honeymoon itu kamu sebut apa?" Semburku kesal.

"Lah, itu khilaf loh yang. Kan udah janji nggak begitu lagi. Itu juga cuma iseng, cobain doang bisa tegang nggak si marco kalau sama yang lain, gitu."

Aku melotot kesal, astaga!

"Oooh, jadi kalau marco tegang terus mau masuk ke liang got itu, iya?!"

Aku remas itu rudal gak berguna punya mas Theo. Dia sampai menjerit kesakitan, aku tabok saja rudalnya. Terus aku pergi, sepertinya aku perlu menenangkan diri. Punya suami begitu membuat aku cepat naik tensi.

"Aahh!!! Sakit banget yang, masa depan kita ini," kata mas Theo meringis kesakitan.

"Untung ndak ada pisau disini. Kalau ada tak potong punyamu itu!"

"Yaaang, maaf sayang"

"Yaaang"

"Sayaang"

Aku tak menghiraukan jeritan mas Theo, dia terlihat memegang rudalnya sembari meringis dan membungkuk. Aku jadi ngilu sendiri, duh tadi sekeras itu ya aku mukulnya?

Ah, biarlah!
Biar kapok dia.

DALEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang