Dalem | part 8

13.5K 844 36
                                    

Ada yang kangen saya update ga?
Yuk, follow akun saya, vote dan komen ya buat yang baca. Wajib! Dosa kalau enggak, saya nggak ridho soalnya. Baca bayar pakai follow, vote dan komen ya.

Thanks buat yang udah ikutin cerita ini sejauh ini.

####""''#####......#####

Pagi ini saya semakin kusut, bukan tidak mandi. Bukan karena itu.

Sejak dek Ratih sayangku ngambek, eh bukan ngambek lagi. Tapi ini sudah marah besar, bahkan jantung saya nyaris copot karena dek Ratih berkali - kali meminta cerai. Rasanya sebagian roh saya sudah terangkat dari tubuh. Saya sangat susah mendapatkan dek Ratih, dan saya tidak pernah berharap dek Ratih lepas begitu saja.

Beberapa minggu kemarin saya sampai tidak berangkat kerja, saya bahkan mengikuti dek Ratih sampai kampusnya. Sudah persis bayangan pokoknya. Kapok saya, tidak mau membuat masalah dengan majikan marco.

Dek Ratih memang mendiamkan saya, meskipun dia tidak pernah menolak  saat saya ajak 'senang - senang'. Tapi dek Ratih mirip patung, tidak bergerak, dan tidak bersuara. Tanpa ekspresi, membuat saya merasa semakin bersalah.

Tapi memang dek Ratih yang terbaik, tidak salah saya begitu mencintainya. Dek Ratih tetap memaafkan saya dua hari yang lalu.

Sayangnya, sekarang dia semakin parah  mood swingnya.  Padahal jeruk bali dek Ratih semakin padat, tambah besar , dan paling menyenangkan dek Ratih tubuhnya sangat sensitif sekarang.

Akhirnya, dek Ratih saya paksa ikut saya kerja. Meski awalnya dek Ratih menolak keras, tapi dia setuju juga. Dek Ratih tidak akan pernah menolak permintaan saya. Dia memang yang terbaik.

Saya tidak lagi berani iseng. Meski semangka, melon, dan pepaya  bangkok berserakan di kantor.  Bergelantungan diobral secara gratis, bisa dicicip gratis. Jeruk bali dek Ratih lebih dari cukup. Sebenarnya sudah tidak pas jika disebut jeruk bali. Punya dek Ratih sudah pantas disebut gunung fujiyama. Besar, panas menggoda, indah.

"Dek, sekarang kelihatan lebih berisi ya badannya," saya serius berkata seperti ini.

Bukan gendut, berisi pada bagian - bagian yang pas, enak dipeluk. Saya suka dek Ratih yang seperti ini. Bukan berarti saya tidak suka tubuh dek Ratih yang kemarin. Saya cinta mati kok sama dek Ratih, hanya saja sekarang empuk, menul - menul kalau kata mertua saya. Duh, gemas saya.

Nah, dek  Ratih melotot, duh salah apa lagi saya?

"Ooh... Jadi saya tambah gendut, iya?!"

Hah?

Saya sampai bengong, kok marah. Kan saya hanya berkata jujur.  Dek Ratih sudah berkacak pinggang, bibirnya mengerucut. Pipinya semakin tembam, pipi atas bukan yang bawah. Kalau yang bawah memang dari dulu tembam dan sempit. Mengurut dengan luar biasa, nah kan saya tidak bisa fokus kalau berhadapan dengan dek Ratih.

"Malah bengong! Maaas!!!!! Jahat kamu," kata dek Ratih melengking tapi matanya sudah berkaca - kaca. Siap tumpah itu air mata dek Ratih.

"Yaaang, bukan gitu. Maksud mas..."

"Aku tambah gendut, tambah jelek. Iya!"

Lah, belum juga selesai menjelaskan, sudah marah begitu. Pipinya sudah banjir air mata, dek Ratih sampai sesegukan begitu. Duh, kacau ini.

"Kamu cantik. Selalu cantik, makin seksi," kata saya tegas. Saya memeluknya meski dia memberontak.

Saya usap - usap kepalanya, saya cium - cium  puncak kepalanya. Wangi khas dek Ratih memang selalu membuat marco tegang.

Saya lagi - lagi dibuat terkekeh geli dengan dek Ratih. Wanitaku ini memang semakin manja, mood swing semakin parah, cemburuan,  dan akhir - akhir ini memang sangat suka dekat dengan saya. Kalau sudah saya peluk begini maunya cium ketek saya. Untung saja saya wangi sepanjang hari. Tapi tetap saja keki kalau ketiak saya dicium sampai hidungnya digesek - gesek biar baunya makin keluar katanya.

DALEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang