Dalem| part 13

5.1K 311 18
                                    

Semesta seakan tidak mendukung saya. Tiba - tiba ponsel saya berbunyi, ternyata dek Ratih sudah menangis mencari saya.

" saya gabung lain kali. Ada urgent," ucap saya sembari setengah berlari.

Untung saya belum masuk, dek Ratih sensitif sama bau.

"Sayang," panggil saya lembut.
Dek Ratih tersenyum meski dengan mata yang masih terlihat agak memerah. Saya tahu, dia masih mengantuk.

"Mas tadi masuk dulu ke dalam. Rencananya mau cepat saja. Eh, kamu bangun. Ya udah ayok bersama ke dalamnya," ajak saya.

Sejak kehamilannya ini,  dek Ratih  memang menjadi lebih manja. Banyak menangis, dan sering mengeluh pusing. Tensinya memang selalu terlalu rendah.  Perutnya sudah mulai agak kelihatan, dan dek Ratih  semakin merasa insecure. Padahal saya berulang kali bilang dia cantik, manis, seksi. Sumpah, dek Ratih makin bahenol. Payudaranya yang bulat besar mirip semangka, pantatnya bulat. Seseksi itu dek Ratih semenjak hamil.

Yup, kalian benar kok. Dek Ratih kesayangan marco memang sangat seksi. Saya bukan mengada - ada. Badannya memang sesuemok itu. Membayangkannya saja membuat marco berkedut meminta jatahnya.

"Masih ngantuk?" Tanya saya lembut, sebab dari tadi saya tidak mendengar dek Ratih menjawab sepatah katapun. Matanya juga masih terlihat agak terpejam meski dia mengerjapkan matanya  beberapa  kali berusaha membuka mata.

"Ndak ngantuk," jawab dek Ratih sambil menguap. Saya hanya terkekeh saja, dia selucu itu. Menggemaskan sekali, dengan mata berkaca -kaca, gayanya mengusap matanya persis anak kecil.  Terlihat sekali dia mengantuk.

Kami berjalan beriringan, dengan mata dek Ratih yang setengah terpejam. Sengaja saya peluk pingganggnya, takut jatuh. Bahaya kalau dia jatuh, menggelinding nanti ditendang orang kan bahaya. Udah mirip bola dek Ratih ini.

"Mas, mau itu," bisik dek Ratih setelah kami sampai di dalam gedung.

Kami bahkan belum menyapa siapapun. Dia sudah menunjuk makanan meskipun dengan mata yang masih 5 watt.

"Mau makan?" Tanya saya memperjelas, ya siapa tahu kan "itu" yang di mau dek Ratih ya "itu" memanjakan marco.

Saya mengedarkan pandangan, tersenyum konyol membayangkan kami bercinta di pojokan gedung dekat panggung pengantin. Dengan mata saya yang bebas memandang tamu. Shit! Membayangkannya saja saya bergairah.

Marco mulai beraksi, sialan!
Saya memeluk dek Ratih dari belakang sembari menghirup aroma khas dek Ratih. Bau dek Ratih secandu ini bagi saya. Saya bisa mati tanpa dek Ratih.

"Mas, mau itu," bisik dek Ratih lagi sembari menepuk - nepuk tangan saya yang sudah melingkar di perut gembulnya.

"Mau apa?" Tanya saya mencoba mengalihkan pikiran saya. Dek Ratih memang candu, saya kecanduan dek Ratih dan ini memang tidak ada obat.

Entah berapa ribu kali saya bilang, dek Ratih sangat menggoda tanpa dia berusaha menggoda saya.

"Roti coklat," bisik dek Ratih pelan.

Bangsat!
Suaranya mendesah begitu, tidak bisakah dek Ratih bersuara yang biasa saja?

"Maaasss, roti coklat yang itu," pintanya manja.

Saya semakin mengeratkan pelukan saya. Bangsat!
Bahkan saya hanya mampu diam setiap dek Ratih memaksa menyebut "cake menjadi roti coklat,  bukan kue, R-O-T-I.

"Iya, kita ambil yuk," ajakku akhirnya setelah pikiranku mulai tenang.

Saya terkesiap saat akan mengambil kue, bagaimana saya tidak kaget.

Saya merasakan ada pepaya bangkok yang menekan punggung saya. Dari baunya saya yakin ini wanita random yang dulu pernah saya tiduri saat saya sedikit "bermain" ketika masih menjadi suami Margareth. Sebelum saya bertemu pawangnya "marco".

Dia menyelipkan kertas di saku belakang saya sambil berlalu. Sebuah trik kuno yang saya yakin dek Ratih tidak akan pernah menyadarinya.

Dia heboh sendiri dengan banyaknya kue coklat di atas meja. Belum lagi, berbagai bentuk kue coklat yang lucu - lucu berserakan dimana -mana. Ini surga buat bumil yang satu itu.

"Makannya duduk, tapi ndak ada kursi," gerutu dek Ratih sembari membawa piring berisi beraneka ragam kue coklat.

Saya sampai meringis ngeri melihatnya, itu sangat banyak. Dan sangat kampungan!

Bangsat!
Saya malu sebenarnya, tapi bagaimana lagi. Istri kecil saya, oh no! Sekarang berubah menjadi istri seumook saya itu memang lugu.

Dia selalu berfikiran spontan dan seringkali persis anak kecil. Apalagi semenjak hamil. Semakin cengeng, dan gampang marah, ngambek.

"Tidak ada kursi, kita cari tempat di pojok," kata saya mencari solusi.

Saya berharap ada yang menawari saya kamar dan saya benar - benar ingin menjenguk anak saya sebentar.

Setelah berputar - putar mengitari gedung, akhirnya kami menemukan tempat lumayan enak buat senderan. Saya sengaja meminta anak buah saya untuk membawakan kursi ke dalam gedung ini.

Tidak perduli banyak sorot mata yang memandang, dek Ratih masih sibuk memakan kuenya.

Ini kesempatan saya,
" Sayang, mas mau kasih selamat dulu. Adek tunggu sini sebentar ya. Habiskan kuenya," ucap saya sembari mengelus rambut panjangnya.

"Iya. Jangan lama," jawab dek Ratih dengan sorot mata menggemaskan. Dia seakan tidak rela saya tinggalkan, tapi sayangnya dia lebih tidak rela jika kuenya ditinggalkan padahal belum habis.

"Tidak lama," jawab saya pelan. Saya cium kening dek Ratih kemudian saya peluk sebentar.

"Mas kesana dulu ya, adek disini saja. Jangan kemana - mana," ulang saya mengingatkan.

Saya bergegas meninggalkan tempat, mengedarkan pandangan. Mencari siapa tahu ada yang memberi kode.

"Hai, beb," sapa si penjaja "semangka jumbo".

Saya tersenyum saja, belahan di lereng gunungnya memang menggoda. Apalagi itu terlihat mengkilat, entah dia menuangkan apa disana.

Tanpa kata, kami sudah paham, saya mengikuti langkahnya entah menuju kemana. Jelas saja, saya mengikutinya setelah berbasa basi sebentar dengan mempelai pengantin.

Melalui ekor mata saya, jelas saya masih dapat menangkap pandang ke arah dek Ratih yang sedang menikmati kue coklat kecintaannya.

Saya sengaja meminta anak buah saya terus melayani dan  memberikan berbagai kue yang berbentuk unik dan lucu agar dek Ratih terlena.

Tenang saja baby, mas hanya melihat sebentar "perkebunan" yang disediakan oleh pengantin. Tidak ada niat lain, marco hanya setia padamu.

"Aaahhh..."

Suara desahannya sumbang, tapi lumayan lah buat ukuran "warteg" begini.

Saya terus meremas dan memelintir semangka jumbonya. Beruntung, operasi plastik sekarang canggih. Ini nyaris sama persis dengan yang asli.

Marco masih saja anteng, dia tidak berniat ganti menu ya?

Saya robek gaunnya dengan kasar, segera saja tanpa saya minta dia sudah memegang marco meski dari luar. Saya langsung menepisnya.

Percuma bangsat!
Marco tidak mau berpaling dari dek Ratih.

Tangan saya merangsek ke dalam "lembah". Tak tanggung - tanggung, tiga jari saya masuk dan mengobrak abrik lembah si penjaja semangka ini.

"Oooh.... Nik..maaaath...."

"Aaaah!!!"

Dia kian menjerit keenakan. Untung saja, kedap suara. Bangsat!

Marco tidak bereaksi!

Saya segera melepaskannya meski dia terlihat sangat emosi. Saya melepaskannya saat dia hampir cum.

Saya bergegas meninggalkannya, hanya dek Ratih yang mampu membuat marco mendamba tanpa ampun.





DALEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang