05. My Way - 🦁👦🏻

238 21 28
                                    

Author: Kilyong
Rating: general audience

   
*

**
    

Hari ini adalah hari sabtu dan cuacanya sangat pas untuk jalan-jalan keluar. Betapa mengenaskannya diriku karena duduk sendiri di balkon kamar tanpa seorang kawan pun. Lebih mengenaskannya lagi adalah kenyataan jika aku memiliki kekasih dan orang itu entah dimana sekarang.

Haha, aku yakin ia pasti sudah bosan dengan hubungan tak lazim yang sudah berjalan selama empat tahun. Hubungan yang merubah dirinya yang awalnya lurus menjadi belok sepertiku.

Empat tahun yang kulalui demi menjalani sebuah hubungan sesama jenis dengan lelaki dari fakultas seni musik bernama Lee Daeyeol rata-rata berisi kenangan indah. Ralat, hanya tiga tahun maksudku. Karena setelah perayaan tahun ketiga kami ia berubah. Berubah menjadi dirinya yang dulu.

Seorang straight. Penyuka perempuan. Penyuka lawan jenis yang tidak menjijikkan sepertiku.

Sejak awal, hubungan kami tidak banyak orang yang tau karena memang awalnya kami adalah teman akrab yang memang kemana-mana sering berdua. Jadi, ketika mereka mendapati kami tengah berkencan pasti hanya berpikiran jika kami tengah hangout biasa. Aku tak pernah masalah dengan itu karena bagaimanapun hubungan kami cukup tabu di negara ini.

Sejujurnya aku tak ingat bagaimana bisa aku menjadi kekasih Daeyeol. Tiba-tiba saja sehari setelah ia mengetahui perasaanku ia langsung berkata jika itu adalah hari jadi pertama kita. Dan yang terbodoh adalah saking senangnya aku hanya menurut tanpa bertanya apakah ia juga mencintaiku seperti aku mencintainya.

Dan lihatlah sekarang, Daeyeol sudah bosan denganku dan mulai mendekati seorang gadis cantik dari fakultas sastra inggris bernama Seo Jisoo sejak 8 bulan yang lalu. Yah, kuakui mereka terlihat lebih serasi saat bersama daripada ketika Daeyeol bersamaku. 

Jadi, ketika Daeyeol mulai menunjukkan kedekatannya dengan Jisoo banyak orang mendukungnya dengan sepenuh hati. Tentu saja di depan mereka aku juga mendukung dan berusaha membantunya mendapatkan perempuan itu meski di dalam hati aku menangis dengan kencang.

Dan yah, aku cukup sadar diri untuk tidak menunjukkan rasa sakitku dihadapan Daeyeol yang pasti akan merasa jijik kepadaku. Jadi aku hanya menyimpan semuanya. Menahan perasaan menyakitkan yang tertanam indah dalam relungku.

Drrt drrt

Aku menoleh begitu mendengar ringtone panggilan yang disertai getaran. Tanpa melihat sang pemanggil, aku menggeser ikon berwarna hijau begitu saja.

"Yeoboseyo?"

"Yeoboseyo, Jaeseok-ah? bisakah kita bertemu sekarang? Aku tunggu di kafe biasanya dalam 30 menit."

Belum sempat memberi jawaban, panggilan itu diputuskan secara sepihak, seolah ia tau jika aku akan menemuinya apapun yang tengah kulakukan. Menghela nafas, aku berganti pakaian dengan pikiran yang banyak namun dengan isi yang sama.

Apakah ini saatnya untuk kami berpisah?

Tapi, aku belum siap. Tak akan pernah siap sebenarnya. Aku masih mencintainya, sungguh. Aku tak peduli jika ternyata dia sudah tak mencintaiku.

Namun benarkah itu?

Yang seperti ini saja rasanya sudah sangat menyakitkan. Hatiku seolah akan mati rasa kapan saja.

Yah, aku harus ikhlas mulai sekarang. Apapun yang dikatakan Daeyeol nanti aku harus menerimanya dan tidak boleh menjadi orang yang egois.

Dua puluh menit berlalu dan kini aku sudah berada di depan kafe. Mendorong pintu disusul suara lonceng dan sambutan selamat datang dari pegawai, aku mencari sosok Daeyeol yang ternyata sudah terduduk di sudut dengan meja yang masih terdapat dua gelas disana. Oh, apakah ia baru selesai berkencan dengan Jisoo? Cerdas sekali, Lee Daeyeol.

Kulangkahkan kakiku yang entah kenapa mulai gemetar ke sudut ruangan. Daeyeol mendongak menatapku saat mendengar suara langkah sepatuku dan tersenyum.

"Wasseo?" Sapanya begitu aku duduk di kursi seberangnya.

"Eoh,"

Hanya itu yang mampu kuucapkan karena entah kenapa tenggorokanku kini tercekat menatap kedua tangannya yang ada di atas meja. Lebih tepatnya di jari manis Daeyeol yang entah sejak kapan cincin perak polos dariku tergantikan oleh cincin emas dengan ornamen di permukaannya.

"Uri ... geumanhaja, Jaeseok-ah."

Tanpa basa-basi lagi kalimat itu meluncur mulus dari bibir Daeyeol. Aku yang tak bisa untuk menatapnya kini hanya menatap kosong gelas yang ada di hadapanku. Aku mencoba menahan airmataku dengan sekuat tenaga, takut jika Daeyeol merasa ilfeel.

"Kenapa?"

Hanya itu yang bisa kuucapkan meski dalam otakku sudah ada banyak pernyataan dan pertanyaan.

"Aku akan menikahi Jisoo bulan depan."

Oh Tuhan, kenapa rasanya sangat menyakitkan? Aku ingin mati saja.

"Kenapa?"

Lagi, hanya kata tanya itu yang keluar dari bibirku. Kulirik Daeyeol yang sepertinya ragu mengatakan alasannya membuatku tersenyum miris.

"Aku-"

"Kau menghamilinya, kan?" Potongku cepat yang membuatnya membelalakkan mata.

"B-bagaimana kau mengetahuinya?"

Aku terkekeh kecil kemudian menyeringai. Persetan jika nantinya dia sakit hati akan sikapku karena sikapnya padaku saja membunuhku secara perlahan!

"Karena kau susah menahan nafsumu. Dulu kau menyetubuhiku hingga ratusan kali dan aku tidak hamil. Dan dia? Tentu saja bisa hamil, bodoh! Kau lupa jika aku ini pria dan dia perempuan?"

Dia seolah tercekat mendengar perkataanku. Aku benar, kan? Pasangan pria tidak akan hamil meski ia bercinta ratusan bahkan ribuan kali. Tapi dengan wanita? Kau ceroboh sedikit saja maka janin akan tumbuh di rahimnya.

"Y-ya, kau benar. Dia hamil. Aku tak bisa mengabaikan itu semua dan harus menjadi pria yang bertanggungjawab." Jawabnya mantap yang membuatku kembali menyeringai.

"Pria bertanggungjawab? Haha, bullshit. Pria bertanggungjawab mana yang menghamili gadis lain saat ia masih mempunyai hubungan kekasih dengan seseorang? Berpikirlah! Meski aku sama-sama pria sepertimu, tapi hargai aku!"

Rasa sakit di hatiku yang tertumpuk kini bercampur dengan amarah yang entah bagaimana muncul dan menguasai. Kulihat wajahnya sedikit memucat namun aku tidak ingin peduli lagi mulai saat ini.

"Ah, sudahlah. Daripada aku emosi lalu membunuhmu aku pulang saja. Selamat untuk bayi dan pernikahanmu. Semoga kau bahagia dan kuharap mulai sekarang kita tidak usah bertemu lagi."

Selesai berujar seperti itu, aku bangkit dan berjalan keluar dari kafe. Aku tak ingin goyah karena saat terakhir kali aku melihatnya, tatapannya seolah tersakiti dan itu membuatku hampir memeluk dan menenangkannya karena bagaimana pun aku paham bagaimana dirinya. Dia adalah orang yang cengeng meski di depan banyak orang ia tangguh seperti singa.

Dan aku juga paham kalimat-kalimat tajamku tadi sudah cukup untuk membuatnya merengek seraya menangis. Namun kutekankan sekali lagi, aku tak ingin peduli padanya mulai sekarang.

Jadi Park Jaeseok, bangkit dan beranjaklah. Hapus rasa cintamu padanya dan jangan pernah berbalik.

𝐌𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang