21. Bintang - 🦁🐰

216 15 6
                                    

Author    : b
Rating    : General Audience



***



Lee Daeyeol menyukai Choi Sungyoon, bahkan lebih dari itu. Permulaan klise untuk sebuah kisah romansa, namun begitulah adanya. Fakta yang tidak pernah ia usahakan untuk disembunyikan kebenarannya, karna bahkan setiap mata yang pernah bertatap ... tau akan itu. Semua benda mati di tiap sudut di bawah atapnya pun menjadi saksi bisu.

Dari seluruh pinta yang pernah terucap dari bilah bibirnya, Sungyoon adalah amin paling sulit untuk diterima semesta. Semuanya tertulis jelas pada lembar takdir yang perlahan membunuh kesabarannya, menarik Sungyoon menjauh dari rengkuhnya. Sejujurnya ada sedikit ketidak yakinan yang merasuk ke ulu hati tentang bagaimana jalan cerita mereka akan berakhir.

Namun Daeyeol tau siapa si pemilik hati, dan tak ada bahkan narasi angkasa yang dapat mengatur skenario romansa mereka. Tidak biarpun tangan mereka dibelenggu caci duniawi.

"Kita bisa rangkai ulang susunan bintang, Sungyoon ... menulis sendiri benang merah yang ada, dan mengatakan pada semua. Katakan bahwa aku, dan kamu, bisa menjadi kita,"

Konyol. Bisik terlontar dari bibir Sungyoon ketika deret kalimat telak menusuk gendang telinga. Mendengar ucapan itu seolah meledeknya bahwa ketakutannya tentang pantangan dunia adalah salah. Mendengar yang lebih tua terus berceloteh, tentang bagaimana dirinya persetan atas takdir yang terus menyeret mereka menjauh. Tidak peduli akan gambar yang terpampang pada kartu hidupnya.

"Kamu yang aku cari, Sungyoon. Siapa yang bisa buat aku berenti?"

Gelengan kepala Daeyeol menjadi jawaban atas pertanyaannya sendiri. Perlahan mempertipis jarak atas raganya dan Sungyoon yang masih bergeming.

"Ga ada yang bisa kontrol kita, Yoon. Dunia bisa kita genggam ... mungkin,"

Choi Sungyoon selalu hadir untuk membalas cinta itu, secara utuh. Alam raya bahkan tak bisa berkata tidak tentang itu. Sungyoon paham benar frustasi yang terlukis nyata di kerut dahi laki-laki di depannya. Melawan dunia benar-benar tidak mudah, mereka sudah melakukan segalanya. Namun lagi, apa yang berubah?

Atau mungkin hanya Daeyeol yang berusaha.

Sungyoon merasa kecil, ketika pergelangannya terikat kuat oleh nyalang mata orang-orang dan sarkasme yang terus terlontar. Hingga perut tergelitik saat Daeyeol mendeklarasikan mimpinya seolah itu hal mudah. Mungkin, semua memang mudah. Namun hanya ketika mereka berada dalam dekap satu sama lain, di balik lindungan tembok bercat putih itu.

Ingin rasanya Sungyoon memberontak garis takdir, melepaskan diri dan berlari kembali pada Daeyeol, rumahnya. Namun langkah semakin kehilangan kecepatan, dan tubuh yang limbung, hilang keseimbangan. Ada gunung besar yang menjadi penghalang mereka, gunung yang mustahil untuk di daki dan ditelusuri hingga kaki.

"Tapi ada pintu yang ga bisa kita lewati bersama, Kak. Pintu yang bawa Kamu akhirnya sadar, perjuangan kita ... sia-sia,"

Hatinya nyeri ketika kata "sia-sia" mengalir begitu saja keluar dari rongga mulutnya. Seorang pekerja keras yang tidak mengenal kata impossible kini harus menelan pahit pil kenyataan. Sesuatu yang tidak mungkin, selalu ada di bawah atap kapas putih ini. Tidak mungkin menjadi diri sendiri ketika mencoba jujur pada hati, contohnya. Dan detik inilah mereka sadar betapa jahat dan tak masuk akalnya dunia.

"Sungyoon, Kak Dae, bukan hal mudah untuk jadi kita. Ga ada satupun yang bisa mencampuri tata lukis Tuhan, Kak,"

Kedua pasang manik bertemu tatap, Daeyeol melihat jelas kerapuhan dibalik mata indah yang kini terlihat akan hancur berantakan kapan saja. Genangan di kelopak mata bak debu yang menunggu angin untuk akhirnya jatuh dari tempatnya. Yang lebih tua benci ini, benci melihat laki-laki kuat kesayagannya berserah akan keadaan, laki-lakinya menunjukkan sisi lemah yang selama sembilan tahun terakhir berusaha ia tutup.

"Semua orang ... semua hal ... semuanya. Semua kontrol kita untuk akhirnya jalan dengan arah berlawanan. Mungkin Sungyoon bukan yang Kak Dae cari? Gimana bisa kita tulis ulang indah bintang dan mendeklarasikan dunia jadi milik kita?"

"Sungyoon,"

Tanpa hitungan detik, Daeyeol melangkah cepat membawa Sungyoon dalam peluknya. Mata sabit karna senyumnya justru menurunkan hujan ke pipi yang tak lagi berisi, dan Daeyeol berani sumpah dirinya benci melihat air mata menyedihkan itu. Sungyoon tidak terisak, Sungyoon tidak memberontak, marah, atau menunjukkan kekecewaan yang ia tanam dalam-dalam secara langsung. Dan itu membuat Daeyeol merasakan nyeri hingga ketulangnya.

Ketika Daeyeol mengatakan ingin terbang bersama Sungyoon, bukan berarti untuk akhirnya dilupakan dunia atas validasi mereka. Saat Sungyoon mengungkapkan ingin jatuh bersama Daeyeol, bukan bermaksud untuk akhirnya hancur perlahan bersama. Sekarang semua terasa terlalu tidak mungkin. Bahkan keyakinan kepala yang menyebut bahwa semuanya masih mungkin terjadi, hanya ada seru ragu dari sana. Apa semua ini mungkin? Hubungan mereka, masa depan, cinta, bahagia, apa mungkin?

Sunyi membalut mereka, berusaha meminta detak waktu untuk menyilahkan mereka menulis kembali warna bintang dan benang merahnya. Berusaha meminta jawaban dari kosongnya malam dingin tentang bagaimana mengatakan pada semua bahwa mereka saling memiliki. Berusaha meyakinkan ragu akan keputusan yang semuanya ada dalam genggam. Berusaha menyusun kembali dunia untuk menjadi miliknya.

Choi Sungyoon menyukai Lee Daeyeol, bahkan lebih dari itu. Mungkin pula jadi akhir klise untuk sebuah kisah romansa, namun begitulah adanya. Fakta yang tidak pernah ia usahakan untuk disembunyikan kebenarannya. Sungyoon tau siapa si pemilik hati, tapi bahkan angkasa telah mengatur skenario mereka. Tangan telah terikat, mempersulit hati untuk saling memeluk.

"Mungkin kita dipertemukan untuk bersama ... hancur, Kak,"

𝐌𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang