Bab 4 Hati yang Luka

7.1K 575 14
                                    

"Sesakit hati ini terluka, tetapi tak kan ada dendam yang membara. Allah Swt tidak menginginkan hambanya dalam berjalan dalam kesesatan"

                       ***

Suasana rumah gedong yang biasanya penuh dengan kehangatan penghuninya itu, kini berubah 180 derajat. Selain terasa lengang dan sepi, tidak ada cengkrama yang menyejukan hati. Pun sosok perempuan dengan pandangan yang menenangkan.

Semua peristiwa bagai sebuah mimpi buruk yang menjadi nyata. Menyentakan jiwa dan raga bagai tertimpa bongkahan batu besar yang menyesakan.

Mana kala separuh nyawa telah memilih menjauh karena rasa cinta yang setia. Walau terdengar absurd, tetapi inilah adanya. Aryani pergi karena tidak mau melihat suaminya larut dalam perbuatan salah. Sekali lagi bukan poligaminya yang salah, tetapi akibat dari semua itu Arif harus menutupi dengan sekian cara yang tidak sesuai tuntunan.

Bumi yang datang tepat waktu, lantas menyalami sang ayah. Sikapnya yang dewasa tampak pada penguasaan diri saat menatap sosok ayah yang telah tega membohongi keluarga. Secara sisi anak yang melihat hati bundanya tersakiti, Bumi ingin memberi pelajaran pada pengukir jiwanya itu.

Namun, bekal adab dan ilmu yang ditanamkan bundanya telah mengakar kuat. Akhlak menghormati dan memuliakan orang tua selalu dijaga. Lelaki rupawan yang juga dekat dengan ayahnya itu pun tidak banyak bicara, dan berusaha bersikap seperti biasa. Apalagi Arif juga hanya menanyakan kabar secara singkat.

Bumi membawa bawaan bundanya ke mobil dengan langkah tenang. Apa pun keputusan bundanya, dia akan menyilakan karena semua kembali pada yang menjalani. Bumi dan kakaknya sudah sepakat tidak akan memperkeruh masalah.

Aryani baru saja hendak meninggalkan kamar dengan tas warna hitam cangklong di tangan. Meski berusaha tabah, tak urung kaki terasa berat melangkah. Tidak pernah dia membayangkan kejadian malam itu akan menjadi bagian dari lembaran hidupnya. Selalu saja ada doa terbaik agar senantiasa bersama dengan Arif sampai jazad terpisah. Kurun 25 tahun ternyata bukan kematangan dalam membina sakinah mawadah, melainkan sebuah kehancuran di depan mata.

Jantung Aryani hampir berhenti berdetak tatkala ada rengkuhan kuat dari arah belakang. Arif merangkum dengan mata basah dan terdengar permohonan darinya.

"Dik, jangan begini! Tolong!"

Aryani membiarkan lelaki yang dahulu selalu membuatnya jatuh cinta. Tubuhnya bergeming dengan air mata menderas tanpa suara.

"Kalau kamu nggak mau lihat wajahku, biar aku yang pergi. Kamu nggak bisa meninggalkan rumah kita ini. Aku ... aku yang pergi malam ini."

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa. Aku mohon! Beri kesempatan buat menata hatiku sebulan saja." Aryani tidak pula melepas tangan suaminya. Perasaan sebagai istri mengatakan kalau Arif sedang merindukannya begitu kuat.

"Kenapa nggak bisa? Aku nggak mau kamu kenapa-napa, Dik." Tahan Arif bersikukuh. Biarlah dia terlihat begitu egois.

"Seego itukah kamu, Mas." Batin Aryani bersuara. Perlahan dia membuka matanya dan memohon agar Arif melepaskan tangannya.

"Dik, aku memang salah. Tapi apa nggak bisa kalau kamu nggak pergi." Arif menguarkan rengkuhnya. Tangan itu membalikan tubuh istrinya, hingga saling berhadapan teramat dekat.

Aryani menggeleng cepat. "Tadi siang Ayah udah janji kalau pamit nggak pa-pa. Janjinya tolong ditepati, Yah. Kita ... mungkin aku, ya? Butuh menyiapkan diri dengan keadaan kita saat ini."

"Dik, aku ingin bicara lebih banyak tentang putusanku itu. Aku berharap banget kamu dengar walau kamu nggak terima. Tapi minimal tetaplah di sini!" Arif menunjukan sikap sebagai suami yang masih berhak atas istrinya.

DI 25 TAHUN PERNIKAHAN (TAMAT VERSI WP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang