Bab 26 Tak Berkutik Lagi

5.4K 338 23
                                    

Arif bagai mendengar petir di siang bolong tanpa pertanda hujan atau pun badai, saat mendengar perempuan yang terduduk di sisi kanan meja itu memberitahu ada janin yang tumbuh di rahimnya.

Perbuatan terkutuk sebulan lalu terekam kembali dengan gamblang. Ini bukan mimpi buruk layaknya bunga tidur yang melegakan begitu mata membuka. Keringat mulai menetes di dahinya dengan wajah menegang. Antara dua keyakinan yang tidak mudah, yaitu benar dan tidaknya, karena Soraya pernah berjanji tidak menuntut apa pun padanya. Dia menganggap sebagai kecelakaan yang tidak perlu ada nilai tanggung jawab. Lalu apa maksudnya?

Soraya menyerahkan amplop putih yang berisi hasil pemeriksaan USG dari dokter spesialis Obgyn. Mata perempuan itu tampak redup dan sayu.

“Pak Arif ... nggak percaya sama saya?” Keluar juga suara Soraya walau pun lirih. Perempuan itu tidak punya kuasa untuk memaksa lelaki yang sedang berdiam diri itu untuk bertanggung jawab. Toh dia pernah bilang tidak akan menuntut.

“Mbak Soraya, terus terang saya ... saya sudah sangat tertekan setelah kejadian malam itu. Saya nggak tahu jawabannya dengan pertanyaan itu. Huh ... Astagfirullah,” keluh Arif sambil menutup wajahnya dengan ke dua tangan. Tidak pernah serumit dan sesulit ini masalah yang dia hadapi.

“Iya, Pak saya paham. Saya lah yang salah waktu itu, dan saya udah bilang nggak nyesel melakukukan makanya nggak perlu PakArif tanggung jawab. Saya lihatnya pas itu Pak Arif keliatan sangat kangen sama istri, jadi ... jadi saya nggak mikir panjang. Kasihan rasanya, udah sakit malah sendirian di rumah ... “

“Stop! Nggak perlu dilanjutkan, Mbak Soraya!” potong Arif cepat. Lelaki itu paham ke mana arah pembicaraan. Rasa sesal yang tiada berarti memenuhi kepala Arif.

“Ma ... maafkan saya, Pak.” Soraya terisak sesaat. “Saya tahu Pak Arif nggak menyukai saya, tapi sekali lagi saya nggak akan marah sama Pak Arif. Hanya, saya nggak nyangka kok, sampai terlambat datang bulan. Saya ...tiba-tiba takut dan bingung. Saya ... saya nggak tahu mau ngomong sama siapa lagi. Orang rumah belum ada yang tahu, khawatir mereka mencari Pak Arif. Padahal selama ini Pak Arif yang membantu saya banyak hal.” Urai Soraya yang belum ke inti  tujuan untuk apa menemui Arif.

Sore yang disertai gerimis itu memberi suasana yang sangat menyiksa bagi seorang Arif. Suami Aryani yang begitu disegani dan dihormati karena memiliki pribadi yang bisa dicontoh. Namun, saat itu semua berubah 180 derajat. Bagai terik siang sepanjang hari dan lenyap panasnya karena hujan yang tercurah dari langit. Arif sangat paham apa yang bakal terjadi bila aibnya itu dia bicarakan pada istrinya atau pada keluarga besar. Dia pasti disuruh memilih salah satu, dan Aryani sudah pasti akan meminta pisah dengannya. Belum lagi rasa bersalah yang mendera dan sanksi moral di masyarakat yang tak kan hilang walau jasad berkalang tanah.

Tak sanggup Arif memikirkan kemungkinan terburuk dalam hidup dan rumah tangganya yang harmonis, tetapi tak punya alasan cukup untuk menerima Soraya dalam keadaan berbadan dua. Jikalau benar janin itu adalah benihnya, tidak pula ada tuntunan yang mengizinkan perempuan mengandung itu boleh menikah. Jadi, sebuah kesimpulan yang mungkin sangat berat untuk Soraya karena Arif tidak akan menikahi dirinya sampai janin itu lahir ke dunia ini.

“Pak Arif ... nggak perlu menikahi saya!” ucap Soraya yang membuat jantung Arif berdetak lebih cepat. Antara heran dan terkejut yang luar biasa. Sesuatu yang aneh bukan, lalu apa maunya Soraya?

“Apa kamu bilang, Mbak Soraya?” Arif memperjelas dengan tatapan serius. Tampak Soraya mendongak dan menatap Arif dengan wajah memelas.

“Iya, Pak. Saya nggak minta dinikahi, tapi sekedar ada ... maaf pemgakuan kalau janin ini adalah darah daging ... Pak Arif. Biar saya yang nanggung sendiri karena saya yang memulainya. Pak Ari nggak usah khawatir.”

DI 25 TAHUN PERNIKAHAN (TAMAT VERSI WP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang