Bab 6 Haruskah Marah?

6.1K 526 6
                                    

Dokter Anisa menyerahkan resep pada Bumi setelah selesai memeriksa kondisi Aryani. Keterangan dokter berjilbab itu, cukup signifikan mengingat masalah yang lama dipendam bundanya.

Selain asam lambung yang meningkat, juga detak jantung yang tidak normal disertai nyeri di bawah dada. Selama masih teratasi di rumah, dokter Anisa menyilakan perawatan mandiri. Namun, tidak menutup kemungkinan bila mendadak beresiko, beliau meminta segera membawa Aryani ke rumah sakit.

"Lekas sehat, ya Ibu. Semoga karena kelelahan dan terlambat makan aja. Jangan sungkan kalau ada keluhan bisa langsung menghubungi saya. Ibu beruntung banget punya jagoan yang perhatian gini." Dokter Anisa menyalami Aryani dengan santun. Kemudian melirik pada Bumi yang masih berdiri di samping ranjang.

"Makasih, Dok doanya. Saya juga beruntung ketemu dokter yang cantik dan sabar. Oh ya, Bumi tolong dokter Anisa di antar, Nak!" Aryani tersenyum  pucat di pembaringan.

"Makasih, nggak usah diantar. Saya bisa sendiri. Permisi dulu Ibu, assalamualaikum."

Aryani mengangguk sambil membalas salam. Sekilas kemudian menyuruh Bumi
untuk tetap mengantar dokter Anisa. Sebagai bentuk menghormati tamu dan sekaligus dokter yang menolong.

"Dokter, sekali lagi terima kasih," ucap Bumi setelah sampai di teras rumah. Kedua tangannya menangkup di dada.

"Sama-sama, Mas. Oh, ya maaf sebelumnya kalau boleh saya pesan, bundanya sering diajak ngobrol, ya." Senyum ramah dokter Anisa terbit.

"Maksud Dokter, bunda kesepian begitu?" Kerutan tampak di dahi Bumi.

"Mas Bumi, sakitnya bu Aryani kalau dari fisik jelas pola makan yang kurang tertib. Bu Aryani perempuan yang tangguh. Tadi sempat bicara sekilas kalau sedang belajar berdamai dengan keadaan. Maka, saya pikir kalau bu Aryani di posisi sedang nggak baik-baik saja. Mas Bumi tentu lebih paham maksud saya, kan? Yah ... tadi saya dulu, sih yang tanya ke ibu. Yakin, in sya Allah masalah selesai walau mungkin nggak seperti harapan."

Bumi mengangguk paham. Dengan kapasitasnya, dokter Anisa tidak kesulitan menganalisa beban psikis pasiennya. Separah itukah bundaku? rintih hati Bumi dengan helaan napas.

"Makasih, Dok. Saya in sya Allah stanby di rumah. Apa bunda cerita-cerita yang lain?" Telisik Bumi.

Dokter Anisa menggeleng. "Nggak, Mas. Soal sering ngajak ngobrol bukan karena apa-apa, Mas. Biar ibu terhibur dan segera pulih staminanya. Oke, Mas Bumi begitu, ya. Ini saya pamit." Dokter berusia tiga puluh tahunan itu kemudian pergi. Pesannya simpel, tetapi maknanya sangat dalam.

Bumi menyilakan sembari mengucap kembali kata terima kasih. Dia masih berdiri, hingga mobil yang membawa dokter Anisa menghilang.

Helaan napas berat  terdengar dengan pandangan lurus ke depan. Sebagai anak yang berbakti, pesan dokter umum itu akan dilaksanakan. Semisal tanpa diminta pun, Bumi tidak akan membiarkan bundanya dalam keterpurukan. Tanpa sadar tangan Bumi mengepal kuat, saat teringat wajah ayahnya.

"Ayah ... Ayah, apakah aku harus membuat perhitungan? Bunda sakit karena ayah. Bunda menderita karenamu!"

Bertahan agar tidak terbawa rasa hati, Bumi mengucap istigfar berulang-ulang. Menenangkan emosi yang akhir-akhir ini sering menguasai. Setelah sedikit lebih tenang lantas bergegas masuk ke kamar untuk melihat bundanya.

Saat membalikan badan bertepatan dengan deru motor berhenti di garasi. Ternyata Bintang yang datang seorang diri. Dia berjalan dengan tergesa menjajari langkah adiknya begitu kendaraan roda dua terparkir.

Masih mengenakan jaket, Bintang pun segera menemui sang bunda. Penjelasan singkat sang adik sedikit memberinya rasa lega, karena bunda tak perlu dirawat di rumah sakit.

DI 25 TAHUN PERNIKAHAN (TAMAT VERSI WP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang