Part Syawal: Belum Ada Kejelasan

2.5K 210 17
                                    

"Tetaplah saling mendoakan, karena setiap doa adalah harapan"
=======================

Aryani meluangkan waktu silaturahmi ke rumah Basroni. Selain lama tidak berkunjung ke tanah kelahiran, dia ingin menyambangi pusara ke dua orang tuanya. Tentu saja ditemani  oleh Surya walau harus menghandel pekerjaan dari jarak jauh. Teknologi memang sangat membantu dalam banyak situasi.

"Bunda, rumah peninggalan almarhum uti masih terawat baik, ya?" Surya menyelonjorkan kaki di dipan beralas tikar anyaman mendong. Meski tampak lelah dia menikmati perjalanan jauh itu.

"Alhamdulillah, Nang. Pakdemu itu orangnya amanah. Dia yang urusi semuanya. Kalau kamu nggak keberatan, Bunda pengen di sini agak lama," ucap Aryani sambil duduk di kursi kayu. Wajahnya mengarah pada Surya yang menempelkan kepalanya di dinding tembok.

"Terus yang jagain, Bunda?" tanya Surya dengan alis hampir bertaut.

"Allah yang jagain Bunda, Nang. Kenapa? Kamu takut Bundamu ini ilang?" Goda Aryani.

Surya menarik sudut bibirnya. "Nah, Bunda sendiri aja nggak yakin gitu masa aku terus bisa tenang di sana."

"Bukan nggak yakin, tapi masa sih, bisa ilang?"

"Bun, di Yogya dan Klaten aja Bunda belum bisa sendiri kalau pergi-pergi. Lhah, di sini apa lagi?  Aku temani aja sampai Bunda mau balik." Lelaki berwibawa itu ganti menegakan tubuhnya.

Aryani tesenyum melihat kekhawatiran putra bungsunya. "Nang, coba kamu udah punya istri. Dia bisa nemani Bunda biar kamu tenang kalau Bunda sendirian. Iya, kan?"

Surya tidak langsung menjawab. Dia menatap lembut perempuan yang dihormatinya itu. Permintaan baik yang entah untuk ke berapa kalinya. Perlahan Surya turun dari dipan lalu melangkah mendekati Aryani. Seperti biasa duduk di samping sang bunda dan memeluknya dari samping.

"Apa Bunda benar ridha aku menikah?" tanyanya pelan.

"Ridha, Nang. Kenapa kamu tanya gitu?" Aryani kurang paham dengan pertanyaan Surya.

"Bun, seperti yang Bunda tahu kalau nikah itu bukan hanya aku dan dia, tapi juga bersatunya dua keluarga. Terus aku punya tugas baru sebagai suami, pemimpin keluarga, ayah, menantu, yang semua itu ada waktu tersendiri. Bunda, aku belum bisa kalau Bunda belum kembali sehat seperti semula. Aku ... aku nggak mau bila setelah nikah malah nggak bisa merawat Bunda. Aku ...."

" Stop! Cukup, Nang! Ini usmud Surya bukan, ya? Ya Allah ya Rabb hamba. Nang, kamu nggak salah ucap barusan? Hei ... jangan bikin Bunda sedih sama cara mikirmu. Kamu jadi kurang yakin  dan berkata seolah-olah itu benar. Bunda emang sakit, tapi bukan berarti kayak gitu sikapmu. Paham maksud , Bunda?"

"Astagfirullah, maaf, udah bikin Bunda sedih." Sesal Surya lantas mencium punggung tangan bundanya. "Khawatir sebagai anak, Bun. Masih wajar, kan?"

"Iya wajar, tapi jangan keterlalyan gitu. Nang, kamu harus yakin. Kalau waktunya jodoh itu datang, kamu nggak bisa menghindar. Lebih baik udah bersiap dulu. Iya, kan?" Usap lembut tangan Aryani di kepala Surya.

"Iya, Bun. Aku ngerti."

"Alhamdulillah ... ini baru anak Bunda," kata Aryani sembari melonggarkan tangan Surya, "Kamu juga paham, kan? Nikah bisa menjadi wajib hukumnya kalau syarat-syaratnya kamu udah penuhi. Ingat, nggak harus dengan dokter Rena. Kamu boleh menentukan pilihanmu sendiri."

Surya mengangguk. Sekian detik dia terdiam dengan pandangan keluar jendela. Seakan sedang mengingat sesuatu, mata tajamnya tak berkedip melihat senja yang hampir menyapa dari ufuk barat.

"Kamu mikirin Bunda lagi, Nang?" Aryani menepuk paha Surya. Dalam hati belum tenang sepenuhnya.

"Eh, Bun. Maaf, aku sebenarnya udah omong-omong sama dokter Rena sebelum kita ke sini."

DI 25 TAHUN PERNIKAHAN (TAMAT VERSI WP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang