Bab 36 Yang Sesungguhnya

8.8K 536 54
                                    

"Tak ada dendam, benci, meski luka itu ada tapaknya. Semburat jingga telah pergi, pun hatiku harus pergi pula."
 

                 ===============

"Apa kabar, Dik?" Arif melihat sekilas pada mantan istrinya. Meski sebentar, dia masih mengingat lekat wajah ayu Aryani yang awet muda.

Tak urung dia pun harus segera mencari pandangan lain saat tubuhnya bereaksi cepat. Semacam serangan demam yang dahulu membuatnya selalu merindukan Aryani.

Jangan sampai  putranya memergoki sikapnya yang berlebihan dengan kedatangan Aryani yang tanpa disengaja itu. Mungkin sebuah kebetulan yang telah tertulis di laukh mahfuz. Memang benar adanya  bila luapan perasaan yang lama diredamnya memuarakan irama jantung yang berdentum bagai tabuhan genderang.

Allah ya taubatu wal ghofaru, ampuni hamba. Sungguh  hamba jauh dari kata mensyukuri nikmat-Mu yang begitu sempurna. Allah, mohon kuatkan hati ini. Semoga hamba istiqomah.

"Oh, alhamdulillah ... aku baik, Mas. Kalau Mas Arif sendiri gimana? Kata Bintang sekarang alih profesi?" Kalem Aryani menjawab. Cenderung lebih santai dalam bicara seperti pada teman lama yang baru berjumpa.

Kamu bisa setenang itu, Dik? Syukurlah ...senyummu cukup melegakan hatiku. Lagi hati Arif bersenandika.

"Kamu cerita sama bundamu, Bin?" Arif beralih pada Bintang yang duduk bersebelahan dengan bundanya.

Bintang menggeleng. Tidak ada cerita apa pun tentang ayahnya yang pergi tanpa meninggalkan jejak, dan kini datang bagai terbawa angin.

"Apa Ayah keberatan kalau aku sama Bunda tahu perjalan Ayah selama ini? Surya bakalan sedih dan kecewa kalau sampai rumah lalu Ayah pergi lagi. Sementara Ayah juga nggak megang handfon pula." Bintang beralasan.

Arif  menghirup oksigen perlahan untuk memenuhi ruang dadanya. Sambil memejamkan mata sesaat, bagai mengumpulkan kembali kepingan-kepingan berserak yang membuat garis hidupnya masuk dalam lumpur dan terperosok begitu dalam.

"Kalau sekiranya, Mas Arif keberatan saya nggak maksa kok. Apalagi kalau ternyata justru efeknya nggak baik." Aryani memberikan usul setelah melihat Arif yang tak juga bersuara. Kasihan juga harus membuka kehidupan baru yang tidak mudah menjalani.

"Oh nggak, Dik. Enggak pa-pa. Aku malah nunggu saat-saat kayak gini. Aku sering berdoa semoga masih diberi jatah umur dan ketemu dengan kalian. Yah ... semua karena dosaku yang besar ..."

"Ayah ...." sela Bintang cepat. Dia tidak ingin masa kelam itu diungkap lagi.

"Nak! Ayahmu ini memang nggak pantas ditiru, nggak bisa jadi contoh. Sepantasnya kalau harus menanggung kesalahan itu. Mumpung masih diberi napas gratis, Ayah terus minta ampun sama Allah. Sekarang bisa duduk bareng gini rasanya seperti mimpi." Jeda sebentar. Arif menatap Bintang yang juga melihat ke arahnya. Ada keharuan di sana.

Tak lama kemudian, Arif bertutur dengan nada suara yang datar. Dimulai  saat membuat keputusan pergi dari rumah Astuti lalu menemui teman lamanya dan menetap di sana. Sama sekali dia tidak menyinggung soal istri sirinya.

Peristiwa demi peristiwa yang terjadi mengalir bagai air yang menuju kesegala arah dan mencari muara. Tiada henti berpacu dengan kehidupan yang tidak pernah terbayangkan. Arif bukan memamerkan sebuah amaliah menuju taubatannya. Namun, dia selalu berharap menjadi pengingat diri, agar selalu ingat dengan dosa-dosanya.

"Suatu waktu, Ayah pernah diusir oleh warga di sana. Seseorang ada yang bersumpah melihat ayah bermaksiat. Ya, akhirnya Ayah pergi dari tempat itu. Bahkan ada yang melempar kotoran hewan pas Ayah berjalan kaki di bulakan sawah. Beruntung tak jauh dari situ ada sungai. Lalu Ayah turun buat bersihin baju yang kotor tadi. Alhamdulillah bisa bersih dan kering."

DI 25 TAHUN PERNIKAHAN (TAMAT VERSI WP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang