Bab 12 Setelah Menepi

4.4K 371 6
                                    

"Aku ini manusia lemah. Butuh waktu tidak sebentar meyakini bahwa hidup bukan hanya untuk mengenangmu. Aku harus bangkit, walau dengan perlahan-lahan."

***

Aryani membuka kaca jendela mobil saat kendaraan roda empat itu berhenti di lampu merah. Tangannya melambai pada perempuan yang menggendong anak kecil dan menenteng barang jualannya. Ada tahu goreng yang dibungkus plastik dan minuman mineral kemasan. Sepuluh bungkus tahu dibeli sembari menambah satu lembar uang kertas warna merah.

Bumi yang melihat aksi bundanya tersenyum. Bukan kali pertama dia menyaksikan kegiatan sedekah pada orang kurang mampu, baik langsung atau lewat beberapa yayasan resmi.

Didikan mulia pasangan itu sejak kecil melekat pula pada ketiga putranya. Bima menghela napas panjang dengan hati yang entah ... setiap kali mengingat kelebatan sang ayah.

"Ibuknya tadi sampai nangis, Bunda," ucap Bumi seraya menekan pedal gas mobil. Segera dia menepis sosok yang dulu menjadi panutannya itu.

"Alhamdulillah, Nak. Kita masih bisa berbagi. Semoga berkah manfaat, aamiin. Ini ke toko dulu, ya. Bunda mau ketemu bude Mei. Nggak enak juga sama anak-anak pada khawatir sama Bunda." Aryani bicara dengan tatapan keluar jendela. Sengaja wajah itu condong ke dekat jendela, hingga angin bebas menerpa wajahnya yang agak tirus.

"Alhamdulillah, masih banyak yang sayang kan, sama Bunda. Aku yakin semua bisa terlewati dengan mudah dan semangat." Tangan kiri Bumi mengepal, lalu diangkat ke atas. Ditolehnya sang bunda yang masih menikmati terpaan angin pagi yang segar.

"Barakallah, aamiin ... kamu pasti juga begitu, kan Mi?"

"Bunda ... aku nggak pa-pa, kok. Eh, tapi masalah apa sih?" Bumi mendadak salah tingkah.

"Rezeki, jodoh, maut, udah ada ketetapannya, kan? Bunda bersyukur kamu bisa menerima putusanmu sendiri." Aryani menepuk lengan putranya pelan. Posisi duduknya menyandar pada bantalan kursi mobil.

Bumi mengaminkan doa perempuan berjilbab cokelat itu. Setelahnya tidak ada pembicaraan lagi di dalam mobil yang melintas jalan utama provinsi. Walau harus diakui, Bumi belum bisa sepenuhnya untuk menjatuhkan pilihan hati pada gadis lain.

*
Kedatangan Aryani di toko roti yang berdiri tak jauh dari pasar kecamatan Jatinom itu, disambut suka cita oleh para karyawan. Mereka tahunya bu bosnya itu mengalami maag kronis, hingga harus istirahat agak lama. Bahkan ada karyawan yang sedari awal ikut menjadi bagian toko memeluk Aryani sambil menangis.

Titik bening pun mengalir sesaat karena keharuan yang tercipta. Aryani mengucapkan terima kasih atas doa-doa yang diberikan untuknya.

Aryani lantas mengajak Mei ke ruang lain untuk menanyakan perihal kakak iparnya. Untuk kedua kali, Mei memeluk tubuh Aryani yang menyusut. Perempuan 50 tahun itu menangis tertahan sambil mengusap punggung karibnya yang tabah.

"Udah Mbak Mei, aku nggak pa-pa. Ada anak-anak yang mendukung, juga kalian semuanya yang ada di tempat ini. Aku harus bersyukur untuk ini, mbak." Aryani melonggarkan pelukan Mei. Air mata yang menetes tidaklah sesakit sebulan lalu.

"Syukurlah. Tapi sampai kapan kamu mau cerita sama keluarga suamimu? Masih kamu bela juga dia? Maaf, Dik. Aku emang nggak layak untuk ikut campur. Sekadar bentuk penguatan, misal butuh teman ... datanglah padaku. Jangan dipikir sendiri, terus kamu sampai sakit kaya gini. Kamu iti ibarat dewi penolong buat karyawan di sini."

"Mbak Mei, jangan berlebihan. Makasih untuk semuanya. Aku ... hanya nggak mau masalah ini melebar. Biar saja Mas Arif yang cerita sendiri."

"Ya, aku yakin kamu bisa melewati semua ini," ucap Mei dengan tepukan lembut di bahu Aryani. "Oh ya, Dik. Belum lama ada yang pesan roti. Katanya temanmu SMA. Malah cerita baru pindah dari Padang. Titip salam pula ke kamu, namanya Pramono. Bener, itu temanmu?"

Aryani mengangguk. "Iya, Mbak. Cerita buat apa pesan roti ke sini?"

"Ada acara keluarga gitu. Sama anaknya perempuan masih SMA, kok."

"Iya, Mbak. Aku tahu. Sebenarnya rada gimana gitu sama dia."

"Kenapa? Menurutku wajar kan, teman SMA mau nglarisi usahamu." Mei agak keheranan.

"Mbak Mei kayak nggak pernah muda aja. Pram itu statusnya duda. Istrinya pergi pas anaknya masih kecil. Biasalah ujian orang nikah. Nah, sekarang dia udah sukses punya usaha di Padang. Anaknya sekolah di Jawa."

Mei tertawa sambil menutup mulutnya. "Oh ... paham aku sekarang. Rupanya ada udang dibalik rempeyek. Wah ... nggak kebayang kalau dia tahu kondisimu sekarang."

"Nggaklah, Mbak. Pram nggak tipe jahat gitu. Dulu sampai pingsan pas dengar aku nikah. Eh, dia nikah malah diselingkuhi. Ya, udah kaya trauma gitu. Dia cerita sama temanku Siska, terus sampai ke aku. Dunia memang sempit, kan?"

Lagi Mei menyetujui ucapan Aryani. Perempuan yang menjadi tangan kanan di usaha Aryani itu pamit keluar. Ada pelanggan yang mencarinya.

Aryani yang terduduk di kursi kerjanya menatap benda persegi di atas meja. Laptop berwarna hitam itu tidak hendak pula untuk disentuhnya.

"Ya, Allah. Mohon bantu hamba. Segitu kuatnya Mas Arif dalam diri hamba..." gumam Aryani lirih. Semangat kerjanya belum pulih sedia kala.

Notifikasi pesan dari ponsel membuat pandangan Aryani beralih. Setelah melihat nana si pengirim yang tidak tersimpan, Aryani pun penasaran membukanya. Karena ada foto pula di layar itu.

[Ar, betul itu suamimukan?]
[Maf, biar gak slah ja. Aku pas di Srabya]

Aryani berganti fokus ke foto. Ada gambar suaminya dan perempuan lain yang telah Arif nikahi. Detak jantung Aryani memompa cepat. Dia tidak langsung membalas pesan tersebut.

Bibirnya bergetar saat menbaca siapa si pengirim, Pramono Raharjo. Lelaki yang baru saja dia bicarakan dengan Mei. Lelaki yang menyatakan jatuh cinta saat hari kelulusan di kelas. Pramono yang pintar, tetapi agak bandel berjanji akan melamarnya bila ketrima sebagai prajurit TNI.

Serasa persendian Aryani bagai lolos dan membuatnya tak berdaya. Entah jawaban apa yang akan dia berikan pada Pramono. Duda satu putra itu telah mengatakan rahasia hatinya pada Siska, Pramono bahkan rela menunggu Aryani sendiri sampai kapan pun.

[Ar, maf kalo salah]
[Smga dia bkan Arif. Lma gak ktmu bsa aja mtaku yg sliwer. Iyakan?]

Pramono menulis pesannya lagi. Ada emoji tangan menangkup dan jempol. Aryani belum hendak pula menjawab.

Saat hatinya ragu atau tepatnya tidak siap memberi balasan pada Pramono, Aryani mendapat telepon dari suaminya. Dia tidak ingin menerima panggilan itu. Sekuat hati melawan sakit, tetap saja ada air mata yang jatuh. Akhirnya, nada dering itu berhenti dengan sendirinya. Arif pasti juga mengerti perasaannya saat itu.

[Ada yg mau aku omongkan sm kmu, Mas. Kalau pulng ke rumah tolong ksih kbar]

Aryani mengirim pesan pada Arif. Tentang niatnya untuk bertanya langsung atas langkah maksiat suaminya. Aryani ingin tahu kenapa Arif sampai melakukan perbuatan keji itu. Setelahnya, tetap pada pendirian semula. Ya, menjauhkan diri dari kehidupan Arif.

"Bun, ada tamu!" Bumi sudah berdiri di depan meja bundanya.

"Mi, kalau pelanggan sama bude Mei bisa. Siapa, sih?" Aryani berdiri dengan tangan memegang ponsel.

"Teman sekolah Bunda. Pak Pram katanya. Dia udah agak lama nunggu. Lha, janjian siang malah datang pagi. Untung aja tinggal paking." Bumi santai bercerita. Tidak paham dengan perubahan wajah ibunya yang terkejut.

***





DI 25 TAHUN PERNIKAHAN (TAMAT VERSI WP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang