▒᳢𝟷 𝟷 .᳢᳟⇀

80 18 2
                                    


Arlene terkejut ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Jeno sedikit menoleh, dan melirik arlene dari sudut matanya.

"Tapi gue ga jadiin masalah keluarga gue kelemahan kek elu."

Suasana menjadi hening. Keduanya sama sama terdiam menatap lapangan berumput hijau itu.

"Awalnya gue biasa aja meski gue gatau muka ortu gue gimana, karena mereka masih ngasih uang ke madame buat kelangsungan hidup gue.." jeno memulai ceritanya.

"..tapi setelah gue liat biografi pemain baseball kim jungwoo yang bilang dia pertama main baseball sama ayahnya.. gue jadi pengen tau gimana wajah bokap gue."

Arlene mengangguk selagi ia melihat notifikasi dari san yang berkata kalau ia sudah didekat sekolah.

"Gue juga pengen main baseball sama bokap gue. Hhhhhh.."

'Tik tik tik tik'

Jeno menoleh. Ternyata arlene malah chattingan, bukannya mendengarkan jeno. Akhirnya jeno berdecak kesal, lalu beranjak dari tempatnya.

"Eh jeno, maaf ga dengerin." Arlene panik dan ikut berdiri.

Tapi tiba tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti di bahu jalan tepat disamping lapangan.

Keluarlah san dengan setelan kantornya dari dalam mobil memakai kacamata hitamnya. Melihat itu, jeno membungkukan badannya 90°.

"Kamu jeno?" Tanya san to the point.

"I-iya."

"Wanna play baseball with me?" San tersenyum sambil melepas kacamata hitamnya.

"Aaa... saya baru aja mau pulang."

San berjalan menuju bagasi, dan mengeluarkan sebuah tongkat baseball.

"Are u sure, u wanna go home?"

"T-tongkat baseball kim jungwoo????" Mata jeno terbuka lebar begitu melihat tongkat yang baru saja san keluarkan dari tasnya.

"Daddyku suka kim jungwoo juga."

Jeno menatap arlene dan san bergantian dengan mata yang masih membulatnya.

"Biar arlene ambilin bolanya." Ucap arlene pada san, dan ia pergi setelah san mengangguk.

San melempar tongkatnya pada jeno, lalu ia menutup bagasi, dan mengambil kunci yang masih menempel. Setelah menutup pintu mobilnya, ia merangkul jeno untuk berjalan ke tengah lapang.

"Dari kapan suka kim jungwoo?" Tanya san.

"Dari smp." Jawab jeno cuek sambil masih menatap tongkat yang ada ditangannya dengan mata berbinar.

"Cool. Berarti kamu udah jago mainnya ya?"

"Enggak juga."

Mereka memasuki sebuah ring khusus untuk bermain baseball. Ring khusus itu dilapisi jaring yang sedikit tinggi agar bola baseballnya ga terlempar terlalu jauh.

San melepas rangkulannya pada jeno, lalu mulai melipat lengan kemeja panjangnya hingga sikut. Tak lupa ia melonggarkan dasi hitamnya.

"Arlene's coming!!" Seru arlene sambil membawa sekeranjang bola baseball di tangannya.

San menyambutnya tak kalah ceria. Ia tersenyum lebar hingga matanya menyipit, sambil melambaikan tangannya. Jeno sedikit iri melihat interaksi antara anak dan ayah ini.

Setelah memasang sarung tangan baseballnya, san mengambil salah satu bola putih itu dari keranjang yang arlene bawa.

"Okay jeno, udah siap???"

Jeno mengangguk sambil memegang tongkatnya dengan benar.

➿➿➿

"Kalau kamu mau, kamu boleh bawa tongkatnya." Ujar san.

Sesaat mata jeno berbinar mendengarnya. Tapi sedetik kemudian mukanya kembali datar.

"Nah. Aku bisa beli sendiri."

Jeno mengembalikan tongkat itu pada san, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Gengsian." Celetuk san sambil melempar senyum jahil pada arlene.

Wajah arlene kini sedikit cerah. Ia senang melihat jeno yang sempat akrab bersama ayahnya. Tiba tiba san merangkul arlene, dan berjalan menuju mobil.

"Udah dipikirin mau nonton film apa??"

"Netflix, thriller!"

"Leggo!!"

Sesampainya di rumah, arlene langsung mandi dan mengganti pakaiannya. Begitupun dengan san.

Arlene memasak popcorn sedangkan san menyiapkan filmnya. Setelah keduanya selesai dengan urusannya, mereka berdua duduk di sofa drpan tv. Tentu saja dengan semangkuk popcorn besar.

Mereka menyimak filmnya dengan seksama. Hingga,

'Dddrrrrrrtttt!!!'

San meraih ponselnya yang bergetar. Arlene melirik, ternyata yang menelfonnya adalah winter.

"Halo win-- ningning?? Winternya mana?? Dia kenapa??"

San berdiri tiba tiba. Arlene yang melihatnya merasa mulai jengkel.

"Tapi aku lagi sama anakku."

"Hhhhhh okay okay!"

San menutup telfonnya dan menatap arlene.

"Daddy pergi dulu ya, daddy janji gabakal lama kok." Pamitnya sebelum mengecup kening arlene.

Ia pergi setelah mengambil mantel yang digantung didekat pintu. Arlene menghela nafasnya setelah merasakan keheningan.

Ia mematikan tv dan beranjak dari sofa. Tapi,

'Ssssrrrrr..'

Arlene merasakan kejanggalan pada celananya.

Ia menyentuh bagian belakang celananya yang terasa basah.

Saat ia melihat tangannya,



"DADDY I'M BLEEDING!!!!!!"


➿➿➿

➿➿➿

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

➿➿➿

My Perfect Daddy || Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang