Awal musim semi dihiasi dengan langit yang begitu cerah dan udara segar yang membuat hati begitu tenang. Sama seperti ketika semua musim berubah, hampir semua hal berubah. Mode, tren, makanan, minuman, pilihan tempat untuk berkumpul, bahkan tempat untuk menikmati pemandangan pun berubah.
Chenle selalu menyukai restoran yang ditempatinya sekarang di musim semi. Dari balkon lantai dua restoran ini, dia mendapatkan pemandangan taman kota yang begitu ceria di siang hari. Bahkan terkadang Chenle akan ke sini walaupun dia tidak lapar dan itu dia lakukan hanya di musim semi.
Namun, untuk hari ini dia berkunjung bukan karena untuk menikmati pemandangannya. Sebuah janji temu yang tidak begitu dia nanti membuatnya datang ke sini. Janji temu dengan—
"Kau sudah tiba? Maaf membuatmu menunggu, Sayang."
Suaminya.
Chenle hanya diam, bahkan ketika menerima kecupan ringan di pelipisnya. Matanya memandang pria yang bergerak duduk di seberangnya dan bibirnya menyeringai samar. "Tidak perlu meminta maaf, bukankah itu memang sudah menjadi hal yang kau sukai?" Chenle berucap datar.
Suami Chenle terdiam sesaat sebelum terkekeh kecil dengan nada yang begitu canggung. "Kantorku jauh dari sini, Sayang. Namun, aku tahu ini adalah tempat kesukaanmu. Jadi aku tidak mengubah—"
"Berhenti bicara, Jeno."
Jeno, suami Chenle, menatap Chenle dengan bingung. Telunjuknya menggaruk ujung alisnya dan dahinya berkerut. "Aku... ah, sebenarnya ada apa denganmu belakangan ini?" pria itu bertanya penuh keputusasaan.
Chenle membalas tatapan suaminya sebelum mengalihkan pandangannya. "Tidak ada, hanya bosan." Masih dengan nada datar dia menjawab.
Jeno terkekeh hampa sebelum menarik nafasnya. "Apa kau sudah memesan?"
Telunjuk Chenle menunjuk gelas berembun yang terisi oleh caramel macchiato yang tersisa setengah. Pandangannya masih terarah ke luar, sama sekali tidak memandang Jeno seolah dia benar-benar enggan.
Jeno mengetukkan telunjuknya di atas meja sebelum mengambil menu yang ada di meja. "Akan kupesankan. Hm, sesuatu yang cocok dengan caramel macchiato—"
"Tidak perlu. Aku tidak lapar. Ah, apa yang kau inginkan mengajakku ke sini?"
Jeno kembali menatap Chenle. "Biarkan aku memesan dulu, oke?" matanya melengkung seiring dengan bibirnya yang tertarik lebar.
Chenle hanya memandangi Jeno, mulai dari pria itu bergumam sendiri sembari memilih menu yang ingin dipesan, hingga akhirnya pria itu memanggil seorang pelayan dan memesan.
Chenle masih memandangi pria itu dengan datar bahkan ketika pria itu menatapnya dengan senyuman di wajahnya.
"Kau ingat hari ini hari apa?" Jeno bertanya.
"Satu tahun pernikahan."
Jeno menepuk kedua tangannya, kemudian pria itu merogoh saku dalam jasnya dan sebuah kotak berukuran cukup kecil dikeluarkannya dan diletakkannya di ata meja. Kotak biru berpita itu kemudian dia dekatkan ke sisi Chenle.
Chenle memandang kotak itu tanpa mengatakan apa pun. Satu tangannya bergerak membuka tutup kotak tersebut dan memandang isinya. Sepasang anting yang cukup panjang dan terbuat dari emas putih berbaring di dalam kotak tersebut. Chenle mengalihkan pandangannya kepada Jeno setelah menutup kotak tersebut, "Terima kasih."
Jeno mengangguk. "Senang kau menyukainya."
"Apa masih ada lagi?"
Jeno tampak terkejut dengan pertanyaan Chenle. Pria itu menggaruk ujung alisnya dan tampak sedikit tidak nyaman. "Uh, Sayang, itu—"
"Yang kumaksud bukan hadiah. Apa masih ada yang ingin kau katakan?"
"Ah!" Jeno tampak lebih lega. "Hm, kurasa kita nikmati saja waktu kita."
Chenle menggerakkan tangannya agar dia bisa melihat jam tangannya. Telunjuknya mengetuk permukaan jamnya sebelum berdiri dan tersenyum begitu tipis kepada suaminya. "Maaf, tapi aku ada janji temu setengah jam lagi. Nikmati makananmu."
Chenle mengambil hadiah dari Jeno dan membawanya pergi. Dia merapikan mantel yang tersampir di atas pundaknya dan mengangkat dagunya. Dia tampak seperti angsa, anggun, tapi juga angkuh.
Chenle duduk tenang di dalam mobilnya. Matanya memandang ke luar, sebuah kebiasaan yang tidak pernah hilang sejak dulu.
"Tidakkah hari ini begitu indah, Tuan Muda?"
Chenle tersenyum tipis mendengar pertanyaan supirnya. "Ya, indah."
Hari ini adalah hari yang indah, sayangnya suasana hatinya tidak seindah hari ini. Chenle mengeratkan genggamannya pada kotak hadiah Jeno.
"Ahjussi, apa Ahjussi pernah merasa sangat marah, tapi tidak bisa dilampiaskan?" Chenle bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Saya tidak mengerti perasaan seperti itu. Mungkin karena saya belum pernah merasakannya. Namun, jika Tuan Muda merasa seperti itu, saya mendoakan agar apa pun yang membuat Tuan Muda merasa seperti itu segera menghilang."
Senyum Chenle melebar mendengar perkataan sang supir. Perkataan itu terdengar begitu polos bagi Chenle. Seolah-olah semua masalah yang ada di dunia ini bisa terselesaikan hanya dengan berdoa. Namun, ini sedikit menyegarkan untuk di dengar.
"Apa doa benar-benar bisa menghilangkan itu?"
"Itu apa yang saya percaya. Ketika saya berdoa, biasanya saya akan bercerita tentang semua keluh kesah saya, setelah itu hati saya terasa lebih ringan."
Senyuman Chenle berubah menjadi seringai kecil. "Aku iri dengan Ahjussi."
"Apa yang bisa diirikan dari pria tua ini?" supir Chenle tertawa ringan.
Perhatian Chenle teralihkan oleh dering ponselnya. Melihat nama penting yang tersampir di layar, Chenle mengangkatnya dengan cepat. "Ada apa?"
Chenle menghela nafasnya mendengar kabar dari seberang sana. "Baiklah, terima kasih."
"Apa ada masalah?"
Chenle menggeleng. "Andy Park membatalkan pertemuan. Kita putar balik saja, Ahjussi."
--
Hai! Ketemu lagi sama ChenJi di sini 👋Di bayangan Z Chenle rambutnya kayak waktu rooftop fight dan yap, dia suka pakai anting 😄
Karakter Chenle terinspirasi dari Chowon (Love is An Illusion) dan (sedikit) Annelise Keating (How to Get Away With Murder)
Update setiap hari Rabu
KAMU SEDANG MEMBACA
Ran [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfiction✨A Story by Z✨ "Kau berubah." "Berubah... apa kau bahkan tahu apa yang berubah?" "Kau jadi lebih dingin padaku. Sebenarnya ada apa?" "Lee Jeno, tidak tahu malu." -- "Apa ada masalah, Jisung-ssi?" "Boleh aku meminta saran?" "Jika kau harus melakukan...