"Hm? Liburan?"
Chenle mengendikkan bahunya. Hubungannya dengan Renjun sudah kembali normal setelah Renjun bersumpah bahwa dia tidak akan lagi membantu Jisung. Chenle merasa senang mendapatkan temannya kembali.
"Tidak sepenuhnya libur tentu saja."
Renjun mengangguk-angguk. "Biar aku perbaiki kalimatku. Berjalan-jalan dengan ayahmu?"
Chenle mengangguk. "Ya, besok, tapi aku belum tahu ingin ke mana."
"Jika aku adalah kau, aku akan memilih Asia Tenggara dan menikmati matahari di sana."
Chenle menutup file dan tersenyum kecil. "Karena kau menyukai matahari, Hyung. Ayah lebih suka tempat yang sejuk dan jalan-jalan ini tidak perlu sampai ke luar negeri sebenarnya." Chenle menyerahkan file kepada Renjun dan menghela nafasnya. "Tapi ide itu tidak terlalu buruk. Terima kasih."
"Sama-sama." Renjun berbalik dan hendak pergi, tapi lelaki itu kembali memutar tubuhnya dan menatap Chenle. "Sebenarnya aku butuh lebih dari terima kasih. Apa kau kenal atau tahu psikolog yang bagus dalam pekerjaannya?"
Chenle mengangguk. "Hyung butuh? Atau adikmu? Akan kucarikan."
"Jaemin. Dia tampak aneh belakangan ini, mungkin pekerjaannya terlalu berat, tapi aku sudah menangani terlalu banyak hal. Jadi aku ingin menolongnya dengan mencarikan psikolog."
Suasana hati Chenle yang sebelumnya secerah musim semi kini menjadi sedikit kelam. "Kau yakin dia butuh? Mungkin dia hanya sedang tidak bersemangat atau semacamnya."
"Aku khawatir. Bagaimana jika dia berakhir seperti Van Gogh? Itu adalah hal terakhir yang aku inginkan untuknya."
Chenle menyeringai kecil, begitu kecil hingga Renjun tidak menyadarinya. Bayangan bagaimana sedihnya Jeno jika kehilangan Freesia-nya terlukis jelas di kepalanya dan terasa sedikit menyenangkan untuk Chenle. Namun, jika itu benar-benar terjadi, Chenle akan menjadi lebih busuk dari Jeno dan itu adalah hal terakhir yang Chenle inginkan di dunia ini.
"Akan kuhubungi kenalanku."
Senyum Renjun melebar. Tangan lelaki itu bergerak membentuk hati dan memberikannya kepada Chenle. "Terima kasih."
Chenle hanya mengibaskan tangannya dan meraih ponselnya. Tepat saat tangannya menyentuh ponselnya, layarnya menyala dan bergetar. Park Jisung adalah nama yang tertera di sana.
Chenle melirik Renjun yang keluar dan menutup pintu. Sudah berapa lama dia menghindar? Chenle tidak ingin menghindar, tapi juga tidak ingin melihat Jisung. Chenle tidak ingin berteman lagi dengan Jisung.
Ibu jarinya memencet tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinganya.
"Kau mengangkat! Wah, sudah lama sekali." Jisung di seberang sana terdengar begitu senang dan bersemangat. Namun, Chenle tidak merasakan hal yang sama dengan Jisung.
"Jika tidak penting akan kumatikan."
"Jangan! Aku ingin bicara serius. Bisa kita bertemu di restoran waktu itu? Besok, pukul dua belas siang. Ada yang harus kubicarakan."
Chenle melirik jari manisnya. Meski saat itu dia bilang bahwa itu adalah saat terakhir cincin pemberian Jisung melingkari jari manisnya, Chenle terus-menerus mengambil cincin itu dan memakainya ke mana pun dia pergi. Dia sendiri tidak mengerti, tangannya seperti memiliki pemikiran sendiri ketika mengambil perhiasannya.
"Besok tidak bisa. Aku harus ke luar negeri. Jika sangat penting kau bisa mengatakannya sekarang atau menundanya hingga aku kembali."
"Oh? Kalau begitu sekarang saja. Chenle, aku—"
"Hoejangnim, Goo Hoejang membuat kunjungan. Beliau menunggu di ruang tunggu."
Chenle memandang Renjun yang membuka pintu dan mengangguk. "Hubungi aku nanti, ada urusan mendadak."
"Eh? Chenle—"
Chenle mematikan sambungannya dan segera pergi untuk menyambut tamunya. Sebuah kunjungan yang tidak begitu singkat, tapi juga tidak begitu lama. Seusai pertemuan itu, Chenle merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponselnya dengan cepat.
Tidak ada pesan, tidak ada panggilan tidak terjawab, dan tidak ada pesan suara. Chenle melempar ponselnya ke sofa dan pergi untuk duduk di meja kerjanya.
Chenle sudah berpikir dan mengatakan bahwa ini sangat aneh. Sebanyak dan sekuat apa pun dia mencoba mendorong Jisung keluar dari pikiran dan hidupnya, pria itu selalu kembali. Entah itu tiba-tiba muncul di kepalanya atau dalam bentuk Chenle berharap pria itu menghubunginya atau tiba-tiba saja pria itu menghubunginya seperti yang terjadi tadi.
Chenle menghela nafasnya mendengar suara getaran datang dari arah sofa. Tidak, dia tidak akan mengangkatnya, setidaknya tidak hari ini ataupun besok ataupun lusa.
Chenle memencet salah satu tombol di telepon kantornya, "Huang Biseo, tolong masuk."
Renjun hadir tidak lama kemudian. Chenle mengusap wajahnya seraya berkata, "Pesankan dua tiket menuju Jepang untuk besok, usahakan penerbangan pagi. Oh, dan jangan beri tahu Park Jisung apa pun bahkan jika dia memaksa."
Chenle menatap Renjun penuh keseriusan hingga yang ditatap susah payah menelan salivanya. "Jika Hyung berhasil menutup mulut, aku akan memberikan gelang yang kau inginkan selama ini, mungkin lebih."
Mata Renjun berbinar-binar begitu Chenle menyebutkan gelang dan dari sana Chenle tahu Renjun akan benar-benar menutup mulutnya dan tidak memberi tahu Jisung apa pun tentang kepergiannya.
"Dimengerti."
Chenle tersenyum kecil dan memberi tanda kepada Renjun untuk keluar dari ruangannya. Suara getaran kembali terdengar, tapi Chenle tetap mengabaikannya.
"Kau tidak ingin mengangkatnya?" Renjun yang berada di depan pintu bertanya.
Chenle menggeleng, "Nomor tidak dikenal."
Renjun membulatkan bibirnya seraya mengangguk kecil, kemudian keluar. Chenle bersandar dan menghela nafasnya begitu panjang. Energinya seperti menguap entah ke mana. Chenle harap liburan dengan ayahnya dapat membuatnya lebih baik dan membuatnya benar-benar melupakan Jisung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ran [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfiction✨A Story by Z✨ "Kau berubah." "Berubah... apa kau bahkan tahu apa yang berubah?" "Kau jadi lebih dingin padaku. Sebenarnya ada apa?" "Lee Jeno, tidak tahu malu." -- "Apa ada masalah, Jisung-ssi?" "Boleh aku meminta saran?" "Jika kau harus melakukan...