5: Kau Berani Bertanya?

946 191 2
                                    

"Tidak perlu khawatir, Eommonim." Chenle yang sedang dalam sambungan dengan ibu Jisung melirik Renjun yang datang dengan sebuah kertas di tangannya. Lelaki itu kemudian meletakkan kertas di atas meja dan menunjuk bagian kanan bawah kertas tersebut. Chenle pun meraih pulpennya dan membubuhkan tanda tangannya di tempat yang Renjun tunjuk.

"Ah, kurasa itu akan terlalu cepat mengingat kemarin kita baru saja makan bersama... ah, aku tidak bermaksud seperti itu... baiklah, semoga harimu menyenangkan, Eommonim."

Chenle meletakkan ponselnya setelah sambungannya terputus. Merasa dirinya diperhatikan, Chenle menoleh kepada Renjun dan melemparkan tatapan datarnya seperti biasa.

"Apa?"

"Tampaknya kau jadi lebih dekat dengan ibu Andy Park. Beliau memperlakukanmu dengan baik bukan? Aku senang melihatmu akhirnya merasakan— ah, maaf."

Chenle hanya mengibaskan satu tangannya, secara tidak langsung meminta Renjun untuk tidak membuat perkataannya menjadi masalah.

"Apa Tuan Besar Park sudah mengatakan sesuatu tentang tanggal pertemuan?"

"Ya, minggu depan."

Chenle mengangguk mengerti. Ayah Jisung adalah orang yang lebih sibuk dari siapa pun yang Chenle kenal. Sedikit berbeda dengan anaknya dan Chenle tidak bermaksud untuk menyinggung, tapi memang benar begitu adanya.

"Chenle-ya, apa semalam Jeno tidak pulang?"

Chenle menggeleng. "Dia pulang untuk makan malam, lalu pergi sekitar pukul sebelas malam. Dia bilang ada temannya yang datang dari luar negeri dan dia harus menjemputnya."

"Aku bertanya karena aku melihat mobilnya pergi ke arah berlawanan dari arah rumah kalian semalam. Kupikir kau tidak tahu dia keluar. Kalian bertengkar?"

Chenle mendengus seraya tersenyum sinis. "Tidak, tapi apa yang orang-orang harapkan dari perjodohan?"

"Tapi dia selalu memanggilmu 'sayang'. Kupikir kalian baik-baik saja."

Chenle memijat batang hidungnya. "Kami baik-baik saja. Hyung, bisa beri aku ruang?"

Renjun pun pergi.

Chenle menghela nafasnya, menariknya, dan menghembuskannya kembali. Tangannya diletakkan di atas sandaran tangan dan menopang dahinya. Ada banyak pikiran yang menghinggap di kepalanya hingga rasanya sedikit sulit untuk bernafas.

Chenle bangun dan berbalik untuk menatap ke luar. Dadanya naik turun dengan cepat, nafasnya tidak stabil. Namun, perlahan-lahan, Chenle mendapatkan kembali ketenangannya.

"Hoejangnim." Suara Renjun terdengar dari balik pintu. Sepertinya temannya itu sengaja tidak menutup pintu dengan rapat ketika keluar.

"Tuan Muda Lee ingin bertemu."

Tuan Muda Lee, suaminya, Jeno.

Chenle mengusap wajahnya sebelum berkata, "Biarkan dia masuk."

Renjun membuka pintu dan membiarkan Jeno yang berdiri di sampingnya masuk sendirian sebelum dia kembali menutup pintu, kali ini dengan rapat karena Chenle melemparkan tatapan tajam kepadanya.

"Maaf mengganggu waktumu, Sayang."

"Ada apa?"

"Aku hanya ingin mengunjungimu, itu saja." Jeno dengan santai duduk di sofa dan menyilangkan kakinya.

Chenle duduk di kursinya, sama sekali tidak berniat untuk duduk di sofa. "Tidakkah kau memiliki pekerjaan?"

"Kutinggal sebentar tidak akan masalah. Lagipula—"

Ran [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang