Chapter 5 - Dibully

71 20 9
                                    

"Dinding kepercayaan diri ini rubuh seketika, mungkin esok takkan lagi ada kepercayaan ada diriku lagi."

-Sabrina Amanda

°°°

Pagi ini, aku berangkat lebih awal dan sekolah masih sangat sepi hanya ada aku di kelas.

Aku berangkat lebih awal, karena ayahku akan pergi keluar kota bersama Ibu dan juga Mas Fajar. Aku tak mau menunggunya di rumah karena akan jauh lebih membosankan.

"Udah jam setengah tujuh tapi mereka belum ada yang berangkat," ocehku.

"Apa aku kecepetan, yah." Aku memainkan ketukan tangan dan menidurkan kepala di meja.

Hingga aku mendengar suara langkah kaki yang memasuki kelas. Aku harap itu Oki, baru saja aku ingin mendongak. Namun, tiba-tiba kepalaku di cengkram dan ditekan oleh seseorang.

"Sakit," rintihku.

"Harusnya kamu mati sejak awal!" bentaknya.

"K-kamu siapa?" tanyaku padanya karena aku di tekan ke meja dan itu rasanya sakit sehingga aku tidak bisa bergerak bahkan untuk melihat siapa dia.

Tapi dari suaranya, aku seperti mengenalnya.

"Sok banget kamu!" desisnya.

Kali ini aku yakin dengan siapa orang yang melakukan ini padaku. "L-lavik."

"Nyadar juga akhirnya," pekiknya.

"Lepasin aku, Lavik, ini sakit banget," pintaku.

"Please lepasin." Aku benar-benar memohonnya karena ini sakit sekali.

"Gak akan!" bentaknya yang membuatku terisak dalam diam.

"S-sakit b-banget," gagapku.

"Gak peduli!"

"Mau kamu teriak sekali pun aku gak akan lepasin," lanjutnya.

"S-sakit hiks." Aku terus merintih.

"Sakit, ya, kasian." Lavik cekikikan.

"M-maafin a-aku kalo ada salah sama kamu, hiks ... hiks," lirihku.

"Ck, miris." Lavik melonggarkan tangannya itu.

"Aku sebenernya males sih ngadepin orang gak berguna kayak kamu, cuman orang kayak kamu tuh harus dikasih pelajaran biar mikir ... kalo kamu tuh sangat-sangat gak berguna!" Lavik kini menarik rambutku dan mencengkram daguku untuk menghadapkan posisi wajahku untuk melihat wajahnya.

"Kamu gak ada bedanya sama benalu yang cuman nyusahin doang!" sinis Lavik.

Aku terdiam dan merasakan pusing yang luar biasa karena ditekan kepalaku, dijambak dan sekarang dia mencengkram kuat daguku yang menimbulkan rasa perih karena kukunya menusuk ke pipiku.

"Untuk kali ini aku bebasin, berhubung mau masuk kelas, ingat jangan ngadu sama siapapun!" ancamnya yang melenggang pergi ke meja miliknya itu.

Aku gemetar hebat. Namun, aku harus menyembunyikan bekas ulah dari Lavik itu. Tak lama setelah aku membereskan rambut dan juga posisi kacamataku, Oki datang memasuki kelas dan duduk di sampingku.

Kelas masih sepi. Baru ada aku, Lavik dan juga Oki.

"Tumben kamu berangkat pagi, Manda?" Oki menyerngit.

"Hehe, keluargaku lagi pergi ke luar kota jadi aku berangkat lebih awal aja daripada di rumah sendirian," jelasku pada Oki yang mengangguk kecil.

"Oh gitu, terus kenapa kamu ada luka di pipi?" tanya Oki yang membuatku mendadak membisu dan menatap Lavik dari kejauhan.

"Hey jawab!" Oki melambaikan tangan ke arahku.

"Gak papa, ini kayaknya bekas kemarin ke cakar kucing," jawabku yang berbohong.

"Masa kucing bisa bikin gini sih? terus ini bukan luka kemarin deh, coba kamu cerita sama aku," tutur Oki yang membuatku semakin dilema.

Disatu sisi aku ingin bercerita, tapi disisi lain aku tidak mungkin menceritakannya.

"Tuhkan ngelamun lagi!" Oki menyilangkan tangan ke dadanya.

"Enggak kok, Ki." Sebisa mungkin aku mengalihkan obrolan, agar tidak menimbulkan kecurigaan padanya.

"Eh, Ki, nanti pulang sekolah maen ke rumah aku yuk," ajakku.

"Hmm, sebenernya mau sih, cuman aku harus les dulu," tutur Oki.

"Yah." Aku menunduk lesu.

"Nanti ya, kapan-kapan aku maen ke rumah kamu deh," bujuk Oki.

"Siap," ucapku yang mengulas senyum.

Obrolan kami harus terhenti saat wali kelas kami masuk dan mengabsen siswa siswinya.

Aku merasa lega saat atmosfir dimana pertanyaan Oki dilontarkan sudah berakhir.

Satu hal yang membuatku ganjal, mengapa Lavik begitu membenciku dan membully tentang diriku. Padahal, aku tidak pernah mengenal sebelumnya bahkan tidak dekat apalagi menyakiti hatinya hingga dia membenciku.

Apakah memang dipandangannya aku tidak pantas untuk segalanya?

Apa aku tidak berhak hidup? Jika memang aku tidak berhak untuk hidup, mengapa Tuhan memberiku nyawa, nafas dan juga umur hingga hari ini.

Mengapa harus aku yang mengalami ini? Dihina aku tidak masalah, dikucilkan aku tidak masalah, tapi ini tentang menyakiti fisikku yang membuatku sakit sekali.

"Tuhan, aku hanya ingin hidup bebas tanpa ada yang menghakimiku, aku ingin terbang layaknya kupu-kupu, aku ingin menjadi apa yang diriku mau, tapi kau pertemukan aku dengan takdir seperti ini, rasanya aku ingin pergi jauh ... sejauh dimana tak ada mereka semua," batinku.

°°°
Jangan lupa untuk vote, komen dan juga share!

Happy Reading, budjang dan gadhiskuh💃✊

Being Me ✅ (Cetak Ulang dan Sudah direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang