Chapter 13 - Mencari Jejak

48 19 3
                                    

Happy Reading!
°°°

Pagi ini kita berkumpul di halaman depan tenda kami, untuk mendengarkan instruksi dari Pak Wowo dan guru lainnya yang akan menjadi pendamping kami pada kegiatan pagi ini.

"Ayo segera kumpul!" teriak Pak Wowo sembari menepuk tangannya.

Beberapa anak lainnya langsung ikut berkumpul dan setelah dirasa sudah berkumpul semua Pak Wowo mulai memberikan arahan dan juga kegiatan apa kali ini.

"Baik, sebelumnya, selamat pagi, kali ini kegiatan kita adalah mencari jejak untuk itu maka Bapak akan kelompokkan kalian berdasarkan teman satu tenda kalian saja, agar mempermudah Bapak, guru lainnya dan juga panitia," jelas Pak Wowo.

"Ada yang ingin ditanyakan?" Pak Wowo mempersilahkan kami untuk bertanya.

Hingga salah satu murid bertanya. "Pak, ini mencari jejaknya tidak jauh-jauh, kan?"

"Tidak jauh-jauh, masih di sekitaran sini saja, kalian bisa ikutin tanda panah di sepanjang jalan dan kalian juga akan dipandu oleh beberapa guru ataupun anggota osis, apakah sudah paham?" Pak Wowo bertanya balik agar semuanya paham dengan apa yang dia sampaikan.

"Paham, Pak." Kali ini kami mengucapkannya serentak.

Aku, Oki dan juga tiga teman satu tenda kami mulai menyiapkan kebutuhan kami selama nanti mencari jejak.

"Aku kasih waktu lima menit buat kita siapin peralatan apa aja yang mau di bawa saat mencari jejak. Bawa aja apa yang benar-benar dibutuhin," tutur Nia.

Aku dan teman lainnya mengangguk. Kami pun kembali ke tenda dan mengambil beberapa barang. Aku hanya mengambil botol berisi air minum dan juga kamera yang aku kalungkan di leher.

Setelah itu, aku kembali ke tempat dimana mereka juga sudah berada di sana lebih dulu.
"Udah, Manda, kamu cuman bawa itu aja?" tanya Oki.

"Udah kok," jawabku.

"Temen-temen bentar lagi giliran kita," kata Indri yang baru saja datang.

Kita pun bersiap-siap. Kelompok kami pun mendapatkan giliran dan dipandu oleh Kak Kendra.

"Ayo, kita lewat sini!" Kak Kendra memandu arah, kami pun mengikutinya dari belakang.

Aku berada di paling terakhir rombongan dan karena aku asyik memotret alam sekitar, membuatku berhenti di pertengahan jalan karena kehilangan jejak mereka.

"Duh mereka lewat arah mana?" tanyaku dalam hati.

Aku pun berjalan santai takut-takut jika salah jalan nantinya.

"Oki!"

"Nia!"

"Indri!"

"Tina!"

"Kak Kendra!"

"Kalian dimana?"

Aku terus meneriakkan nama mereka, berharap mereka mendengar panggilanku. "Hiks, a-aku t-takut sendiri disini."

Aku menatap sekitar tampak sepi, padahal jika memang aku berada di jalan yang benar, mungkin aku bisa ikut rombongan berikutnya.

Karena, kelompok kami berada di kedua paling akhir, ada kemungkinan jika nantinya aku bisa bertemu mereka. Tapi, aku malah berada di jalan buntu, di sisi kanan jurang dan di sisi kiri sungai deras yang mengalir.

Aku mendengar langkah kaki seseorang di belakangku. Aku harap itu Oki atau teman satu tendaku.

"Kamu siapa?" tanyaku padanya dan saat dia berbalik aku benar-benar syok.

"L-lavik." Wajahku memucat seketika. Disini hanya ada aku dan dia saja, tak ada yang melewati jalan ini lagi.

"Hai, ketemu aku lagi." Lavik mendekat ke arahku, membuatku melangkah mundur perlahan.

"K-kamu mau apa-a?" tanyaku hati-hati.

"Seharusnya kamu udah tahu dong, maunya aku itu apa?" jawabnya yang semakin mendekatiku.

Aku memundurkan langkahku lagi. "Jangan sakitin aku lagi, aku mohon," pintaku padanya yang tak digubris.

Dia semakin mendekatiku dan aku memundurkan langkahku lagi.

"Kamu tahu, gak?"

"Aku udah pengen ... banget lihat kamu lenyap dari pandangan mataku, tapi selalu gagal, aku harap kali ini berhasil dan kamu M - A - T - I," tutur Lavik yang mengeluarkan tawa yang membuatku bergidik ngeri.

Dia seperti memiliki sisi lain didalam tubuhnya, dia mau aku lenyap dari dunia ini. Dia melangkahkan lagi kakinya, aku ingin memundurkan diriku lagi, tapi aku sadar jika aku memundurkan diri.

Aku akan terancam bahaya pasalnya dibelakangku ada jurang yang begitu dalam. "Ayo mundur lagi!" tutur Lavik yang menyeringai.

"Lama banget sih." Lavik maju selangkah, membuatnya tepat di hadapanku, hanya sekitar 10 cm jarak antara aku dan dia.

Lavik memegang pundakku. "Aku bantu!" Dia mendorongkan diriku ke dalam jurang.

Aku terperosok ke dalam jurang. Kini, aku berusaha menggapai ranting yang masih kokoh demi bisa kembali ke atas kembali.

"Gimana, baik banget kan, aku?" Lavik tertawa bahagia.

"Duh tapi sayang banget, kok masih hidup, kurang puas aku." Lavik melemparkan batu ke arahku dan tepat mengenai keningku. Darah pun mengalir dan terus mengalir dari keningku yang terluka.

"Nah gini baru sedikit estetik, tapi masih belum puas aku," tuturnya yang berjongkok dan menggenggam pasir di tangan kanannya, setelah itu dia melemparkannya di mukaku.

Membuatku kehilangan keseimbangan. "Lavik udah!" jeritku yang merasakan perih diarea mata.

"Aku gak akan beri sedikit kelonggaran kali ini, kamu harus benar-benar mati, say good bye, Manda." Lavik menginjak tanganku, hingga pegangan tanganku lepas dan aku menggelinding ke dalam jurang yang dalam.

"Ibu, Ayah, Mas Fajar, Oki, maafin Manda!" lirihku yang tergelincir. Aku masih merasakan sakit di sekujur tubuhku.

Luka yang ada di kening semakin merembes keluar, aku sudah tak bisa menahan lagi rasa sakit. Ini benar-benar menyakitkanku, jika memang Tuhan ingin mengambil nyawaku, aku ikhlas.

Karena, aku hidup pun juga percuma, sudah tak ada lagi harapan. Menuju ke atas adalah hal yang sangat mustahil bagiku.

Hanya saja, dibenakku masih ada rasa penasaran, mengapa dia ingun melakukan itu semua padaku?

Setahuku, aku tidak pernah memiliki masalah rumit dengannya. Bahkan, kita jauh dari kata dekat, kita hanya teman sekelas yang dipertemukan dalam tingkat kedua, tapi dia selalu membuatku berada dititik rendah, dikesulitan, diluka yang begitu banyak, bahkan dia jug menginginkan nyawaku pergi.

Jika memang alasannya adalah aku yang tak berguna, mengapa bukan orang tuaku, temanku, atau Mas Fajar saja yang merenggut nyawaku ini, seharusnya merekalah yang berhak marah, benci dan juga dendam.

Karena mereka dekat denganku, berhak untuk itu. Tapi, mengapa dia, mengapa?

Salah aku dimana?
Ini adalah jalan hidupku, mengapa dia mengaturnya?

Aku tidak tahu, harus seperti apalagi, aku sudah pasrah, kakiku terasa nyeri, keningku penuh luka yang terus mengeluarkan darah dan masih banyak luka lainnya.

"Tuhan ... ini menyakitkanku, sangat menyakitkan, salamkan rindu, kasih dan juga segalanya kepada mereka yang menyayangiku, seperti aku menyayangi mereka, aku sudah tak tahan lagi, ini terlalu menyakitkan untukku," batinku.

"Sampai jumpa!" Setelah itu pandangan menggelap, semuanya menggelap, rasa sakit sudah tak bisa aku rasakan lagi.

°°°
Jangan lupa untuk tap vote dan ketik next atau apa gitu di kolom komentar😭

Eh ada nextnya gak yah? 🤭

Being Me ✅ (Cetak Ulang dan Sudah direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang