12

1.9K 262 10
                                    

Sama seperti pagi sebelumnya, setelah Jisung menemui Chenle. Pria itu hanya diam, menatap kosong ke depan tanpa mau mengeluarkan suara. Ia hanya diam, membuka mulut saat makan dan tertidur saat waktunya tidur.

Tak ada rona semangat di wajahnya. Jisung seperti manekin hidup. Diajak berbicara pun dia hanya diam. Diam lalu disusul matanya yang tiba-tiba berkaca-kaca.

Seperti itulah Jisung akhir-akhir ini selama di rumah sakit.

Sebagai seorang adik, Yangyang melihat kakaknya seperti itu merasa prihatin. Maka dari itu, hari ini Yangyang berinisiatif mengajak kakaknya alan-jalan di halaman rumah sakit. Sekedar mencari angin dan berjemur agar kondisi kakaknya cepat pulih.

Yangyang mendorong kursi roda kakaknya dengan pelan. Sekali-kali melirik ke arah sang kakak yang hanya diam tanpa mau mengeluarkan suara seperti biasanya.

Jisung menatap kosong ke depan, seakan tak tertarik dengan perjalanan mereka menuju halaman rumah sakit. Tak ada sirat cahaya di matanya yang berwarna cokelat itu. Yang ada hanya sebuah kesedihan yang amat sangat mendalam.

Saat tiba disana, Yangyang berjongkok di depan Jisung yang masih tak  menyadari kehadiran Yangyang. Dan mungkin Jisung juga tak menyadari jika sedari tadi dia tidak lagi di kamar rawat.

Tatapannya benar-benar kosong. Itulah yang yangyang lihat dari sorong mata sang kakak.

Tangan Yangyang bergerak untuk menhan kursi roda Jisung agar tak bergerak.

Hyung.”

Yangyang memanggil kakaknya dengan suara pelan dan lembut. Akan tetap Jisung masih berada di dunianya yang gelap hingga tak mengindahkan panggilan Yangyang.

“Jisung hyung.”

Yangyang memanggil Jisung sekali lagi dan kali ini berhasil membuat Jisung menatap kearahnya.

Jisung melihat ke arah Yangyang dengan tatapan sendunya.

Yangyang tersenyum tipis melihat Jisung akhirnya mendengar panggilannya.

Hanya sedikit respon itu pun sudah membuat Yangyang bahagia. Jisung mendengarnya.

“Hyung ingat. Dulu appa pernah berkata, saat kita merasa sedih dan merasa amat terpuruk, tutup matamu dan rasakan jika Tuhan masih ada bersamamu. Pada sat itu, kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri. Tuhan masih bersama dengan kita.”

Yangyang bercerita sambil mengingat kilasan ceritanya bersama dengan sang ayah saat masih ada. Saat mereka masih bisa bermain bersama. Saat Jaemin mengomel karena tingkah ketiga pria yang ada di rumahnya.

Mengingat kenangan itu membuat Yangyang terbawa perasaan sedih. Ia merindukan ayahnya yang dulu senang menggendongnya di belakang punggungnya.

“Aku ingat. Dulu hyung suka sekali bermain dengan appa sampai-sampai membuatku cemburu. Appa lebih memperhatikanmu daripada aku.”

Yangyang cemberut dengan masih menatap kakaknya sendu. Ia berusaha menghidung sang kakak dengan bercerita mengenang kembali ayah mereka. Tapi melihat Jisung yang hanya diam membuatnya ikut terwawa perasaan sedih.

Yangyang memeluk Jisung. Ia menepuk-nepuk punggung kakaknya. Ia mencoba mati-matian menahan air mata yang menyeruak ingin keluar.

Jisung tersadar. Ia menggerakkan tangannya untuk balik memeluk Yangyang. Adiknya yang sangat ia sayangi. Adiknya yang sangat patuh terhadapnya. Bahkan Yangyang lebih takut padanya daripada ibu mereka. Yangyang bilang, Jisung mirip ayah mereka yang semua kata-katanya tidak bisa di ganggu gugat.

Jisung menutup matanya. Cairan bening itu mengalir di atas pipi Jisung hingga menetes di hidung mancung pria tersebut.

Sedari tadi ia mendengarkan apa yang Yangyang katakan.

Love And Revenge [jichen] - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang