tigabelas.

209 9 3
                                    

Faza menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Ia masih berpikir kalau itu bukan dirinya.

Apa gue berlebihan ya? Batin Faza.

Suara musik sudah mulai terdengar dari rumah di sebrang rumahnya. Pertanda kalau acara sudah dimulai. Tanpa Faza ketahui, Ia sudah ditunggu sejak tadi.

Reza masih terus celingak-celinguk menunggu tamunya.

"Reza! Apa kabar lo?" Sapa seorang gadis yang sepantaran dengan Reza.

"Eh? Anjir! Gue kira lo nggak dateng!" Seru Reza. Tapi tetap. Gadis ini bukan orang yang sedang ia tunggu.

Reza terlarut dalam obrolannya dengan gadis ini. Sementara tamu yang ditunggunya memperhatikannya dari kejauhan.

"Aduh. Gue kenapa sih? Kok jadi nyesek gini?" gumamnya sambil memisahkan diri dari keramaian.

"Lah? Kenapa gue sedih segala lagi?" tanyanya pada dirinya sendiri, lagi. Sambil menghapus setetes air yang Ia sendiri tidak tahu mengapa air itu menerobos keluar.

Gadis itu terus berpikir apakah ia akan menghampiri Reza yang sedang tertawa lepas--dengan gadis lain di sana.

"Kayaknya firasat gue seharian ini bener. Gue harusnya nggak dateng." Ucapnya.

"Tapi kenapa gue harus sedih ga ikhlas gini? Gue bukan siapa-siapa juga. Kok gue baper?" Ucapnya lagi.

Sekarang, ia merasa bodoh karena berbicara dengan dirinya sendiri.

"Hei, gue kira lo gak dateng ..." ucap Reza sambil duduk di sebelah Faza.

Faza masih terdiam.

"Hoi! Bengong aja. Entar kesambet baru tau rasa!" Ujar Reza sambil menepuk Faza. Faza tersenyum miring. "Dateng lah. Rumah gue deket kok. Paling bentar lagi gue balik." Jelas Faza.

"Yah, kok balik? Ga seru ah." Protes Reza. Faza hanya menyodorkan kado darinya dan tidak mengatakan apapun.

"Eh makasih. Lo keliatan beda kalo begini," puji Reza.

Aduh, ya ampun. Faza sudah bigung bin labil macam abg. Dia kesal. Tapi senang.

Ini buruk.

Faza baper.

"Mhm, gue mau balik ya." ujar Faza sambil berdiri.

"Lah? Baru juga ngobrol. Udah mau balik? Yaelah. Rumah lo deket tinggal nyebrang. Entar juga gue bisa nganterin balik. Masa temennya sendiri ultah, malah ditinggal." Protes Reza.

Temen.

"Iya, Rez. Temen lo ini, capek. Mau balik." sahut Faza dengan sedikit nada kecewa.

"Gue anter?" Tawar Reza.

Nyet. Gimana gak geer. Batin Faza kesal.

"Gausah."

Jujur, Faza merasa dirinya sangat drama hari ini. Terlalu banyak kejadian. Ia bingung harus berpikir apa, melakukan apa.

"Oi, Rez!" Panggil cewek yang Faza lihat bersama Reza tadi. "Hmm" sahut Reza.

Langsung lah Faza berjalan cepat, keluar dari sana. Rasanya sungguh panas baginya. Bagaikan neraka bocor.

Haduh, panas, panaas!

Baru saja ia berjalan menuju gerbang, ibu Reza menahannya, karena akan dilakukan proses pemotongan kue. Akhirnya, terpaksa Faza tetap di sana.

"Aheey! First cakenya buat siapa, Rez?"

"Ehm, buat nyokap, bokap gue lah!" Jawab Reza.

"Terus, yang keduaa?"

"Hmm, nih deh buat yang baru ketemu lagi sama gue. Datengnya jauh. Nih, buat lo Feb," ujar Reza.

Kretek. Kretek.

"Anjir." Umpat Faza lalu berjalan keluar. Kali ini ia benar-benar kesal. Entah mengapa. Kepergian Faza tertangkap oleh sang kakak, Ano. Ano pun mengejar adiknya itu.

Sesampainya di kamar, Faza tergeletak di kasurnya dengan perasaan tidak nyaman. Tak lama, Ano masuk ke kamar Faza.

"Za, lo oke?" Tanya Ano. Sebesit perasaan khawatir terlintas di hatinya. "Ya." Jawab Faza.

"Gue tau lo nggak. Tapi gue tau lo lagi pengen sendiri. Jangan lupa cerita ke gue kalo lo mau," pesan Ano sambil menepuk pundak Faza lalu keluar dari kamarnya.

***

A/n

Aduh maaf, chap ini pendek parah.

Sabtu, 25 April 2015.

Say you like meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang