tiga.

270 19 5
                                    

Sekarang, Faza banyak menghabiskan waktunya bersama Reza. Hal ini membuat Raffi yang masih berstatus sebagai kekasihnya sedikit terganggu. Atau sebenarnya tidak.

"Ara, aku mau ngomong." Ucap Raffi serius sambil menggenggam tangan Faza yang sedang berbincang dengan Reza dan Oka.

"E--eh.. aduh, bentar ya, Rez!" Ucap Faza kalimat itu membuat Raffi mendengus sebal.

"Apaan sih, Fi? Lo gak biasanya kayak gini." Faza membuka pembicaraan.

"Ini bukan tentang aku. Tapi kamu. Sejak kamu kenal sama tuh cowo siapa tuh namanya, Teza, Satya," Faza memotong, "Re-za."

"Iya lah siapa lah itu, kamu berubah. Kamu, kamu selalu sama dia. Selalu. Dan kamu ninggalin aku gitu aja?"

"Ya, nggak gitu, lah. Apa sih maksud lo? Sebenernya kemana arah pembicaraan kita?" Tanya Faza.

"Gak usah ngalihin topik. Kamu tau kemana ini menjurus."

"Terus mau lo apa?" Tanya Faza santai.

"Kamu... kamu bener - bener berubah. Dan itu. Sejak kamu kenal dia. Aku serius. Sekarang terserah kamu pilih yang mana." Ucap Raffi.

"Apa sih maksud lo? Gue gak ngerti."

"Aku mau... kita.. break dulu." Ucap Raffi singkat.

"A--apa? Apa sih Raffi, ga lucu."

"Aku serius."

BAM!

kalimat yang terlontar dari mulut Raffi langsung menyerang Faza tepat di dada.

"Fi... apa sih?" Tanya Faza yang otaknya masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.

Tapi, Raffi tidak merespon apa - apa. Ia hanya berlalu pergi meninggalkan Faza yang benar - benar bingung.

"Apa sih? Dia gak biasa kayak gini..." lirih Faza lebih ke dirinya sendiri.

***

RAFFI

"Maaf, Ra ..." gumam gue pelan sambil menjauh.

Sebenernya, ini semua bukan karena cowok itu, dan juga bukan salah kamu, tapi salah aku yang pengecut. Aku yang gak mau salah disini. Ini semua salah aku.

***

FAZA

Raffi lagi kenapa, sih? Gue bener - bener nggak ngerti. Apa dia PMS? Tapi nggak mungkin. Dia kan cowo.

Gue berjalan kembali ke tempat Reza dan kak Oka dengan lemas dan bingung. Oke, sekarang gue tanya, siapa yang nggak bakal bingung kalo tiba - tiba doi minta break tanpa alesan yang jelas? Ini gak masuk akal.

Pikiran gue terbang kemana - mana. Bahkan sampai ke kemungkinan yang terburuk. Yaitu salah Raffi sendiri. Tapi dia coba nyari celah biar ini jadi salah gue? Apa dia kecantol sama cewek lain?

Ah, udah lah. Gue nggak ngerti.

Reza memasang tampang bingung saat melihat ekspresi gue.

Tepat setelah kak Oka pergi, Reza menatap gue dengan tatapan ingin tau.

"Lo kenapa, Za?" Tanya Reza.

"Gapapa" dusta gue. Hei, siapa yang gak bakal berdusta tentang masalah beginian?

Reza tidak bicara lagi, kemudian hening. Kami larut dalam pikiran masing - masing.

"Hm, Rez, hari ini latihannya cukup sampe sini aja, ya. Gue kurang enak badan ..." ucap gue memecahkan keheningan.

"Ooh, oke. Besok gimana latihannya? Di rumah lo atau gue?" Tanya Reza.

"Yaelah, Rez. Itumah gampang. Rumah tinggal nyebrang aja ribet amat."

Reza terkekeh.

"Yaudah, gue duluan, ya!" Ucap gue sambil berjalan ke parkiran.

***

A--apa-apaan ini? Gila. Ini gila. Gue nggak percaya. Apa gue salah liat? Itu ... bukan Raffi kan?

"Itu ... bukan Raffi kan?" Tanya gue.

"Gue ... harus mastiin."

Gue turun dari mobil dan menghampiri sepasang remaja yang saling berangkulan.

Dengan langkah tak pasti dan jantung yang berdegup cepat, gue mulai mendekati pasangan itu.

Tangan gue gemetar saat akan menyentuh bahu si cowok. Berharap itu bukan Raffi.

Deg.

Jantung gue seakan berhenti saat cowok itu menengok.

"R--Raff--i?" Panggil gue terbata. "I--ini ... apa?" Gue masih terbata dan emosi gue mulai tak terkendali.

"APA MAKSUD LO? HA?! RAFFI! JELASIN INI SEMUA!" Pekik gue keras.

"A--ara ... ini ... itu ... emm .. maaf, aku ..." Raffi bahkan hanya terbata - bata gajelas.

Perasaan gue bener - bener bercampuran, kesal, marah, sedih, kecewa. Sungguh perpaduan yang tidak baik.

Gue mengambil tindakan cepat dengan menginjak kaki Raffi dengan segenap tenaga dan mendorong si cewek ga jelas di sampingnya dengan bahu sampai ia jatuh tersungkur.

Hei, gue ternyata gadis kuat! Ahaha, sukurin lo.

Keduanya meringis sakit sedangkan gue tersenyum miring dan meninggalkan mereka. Orang - orang di sekitar gue melihatku dengan tatapan iba sekaligus takut.

Seakan - akan gue adalah harimau ganas yang lepas dari kandang. Eh, nggak gitu juga, sih ... gue kelewat lebay, ah.

Di perjalanan pulang gue menginjak gas dengan keras sehingga kecepatan mobil sangat cepat.

***

a/n

Part ini agak ga jelas, ya gak sih? Mulai mandet, tapi semoga bisa lanjutin cerita ini sampe tamat.

Sabtu, 10 Januari 2015.

Say you like meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang